"Aku selalu bertanya-tanya, dari mana asal keberbedaan pada tubuhmu ini." Ia menggeliat bangkit. Duduk di atas ranjang, memasang kembali beha-nya.
"Hmm?" Aku tak berselera membahas itu. Aku pura-pura memejamkan mata, berharap dengan begitu ia tak melanjutkan pertanyaan yang bagiku, sungguh tidak tepat dibahas di atas ranjang. Mengingat rumah adalah jarum yang menyerang isi dada. Dan aku tak ingin merasakan sakit itu. Tidakkah kau tahu, Jelitaku, bahwa bersamamu adalah waktu yang sejenak membuatku lupa kalau selama ini aku tersisihkan, tak dianggap, tak diingin kehadirannya kecuali oleh Ibu dan kakekku?
"Umurku sepuluh tahun ketika aku diperkosa pamanku sendiri," ucapnya, pelan.
"Aku terlalu ketakutan untuk bilang ke orang lain, bahkan mengadukannya pada Ayah atau Ibu." Ia bangkit dari ranjang, berjalan menuju muka jendela kamar yang kami pesan ini. Setelah menyibak tirainya, ia berdiri memandang ke luar. Ke arah kota yang menjelma kotak-kotak persegi dengan bintik-bintik cahaya di permukaannya.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengancam akan membunuhku bila aku berani mengadukan kelakuan bejatnya itu. Kau tahu, berapa lama aku memendamnya?" Ia membalik tubuhnya, memandangku sarat.
Aku sudah membuka mata sejak tadi, sejak kata pertama yang ia ucapkan. Tapi aku tak kuasa menanggapi, aku bergeming.
"Bertahun-tahun. Bertahun-tahun itu pula aku harus menahan tangis tiap sebulan sekali ketika ia datang ke rumah dan mengajakku pergi. Hingga satu benih hidup dalam rahimku di usiaku yang ke-empat belas, hidupku serasa runtuh. Kelakuannya ketahuan. Tapi bayiku tak terselamatkan.
"Semenjak itu, perhatian Ayah dan Ibu seperti ditarik dari kehidupanku. Ia membiarkanku terperosok jatuh, tapi tak juga berusaha menarikku keluar. Sampai aku tiba di titik paling dalam, mereka tak juga hadir."
"Sudah, aku paham." Aku mendekatinya. "Jangan diteruskan. Aku di sini bersamamu." Kurengkuh ia dari belakang. Daguku bertopang di bahunya yang langsat.
Ia menggeliat. "Geli, ah."
"Biarkan saja."