Mohon tunggu...
Vivi Lestari
Vivi Lestari Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Tanpa Tanda Jasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BPJS Kesehatan dan Kontribusi Kita

14 Desember 2019   21:25 Diperbarui: 14 Desember 2019   21:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suatu ketika, saya mengantar ibu melakukan fisioterapi di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari komplek rumah saya di Kota Wisata Cibubur. Sejak masih di gerbang, kami sudah celingukan cari parkir. Parkir penuh. Motor meluber hingga ke bahu jalan. Memasuki ruang tunggu, saya harus berulang mengucap permisi ketika melangkah di antara kepadatan manusia di situ.

Pemandangan ini kontras beberapa tahun sebelumnya saat saya menyambangi rumah sakit yang sama. Dulu, sepi banget. "Sejak ada BPJS, kondisinya begini," kata staf yang melayani di meja registrasi.

Ketika itu, saya sempat tercenung. Jadi, orang yang berjubel di ruang tunggu itu, selama ini ke mana saja? Betapa banyak orang sakit. Dulu mereka "sembunyi", takut berobat  ke dokter karena tidak punya duit.

Bagi rakyat kecil, BPJS kesehatan itu "malaikat". Sopir saya sangat berterima kasih dengan hadirnya BPJS. Operasi anaknya yang biayanya jutaan, semua dibayar BPJS.  Akan tetapi, rasa terima kasih itu hanya ada pada orang yang pandai bersyukur. Dan nalarnya jalan.

Pada sebagian lainnya, sumpah serapahlah yang dialamatkan ke BPJS kesehatan. Anda tahu siapa yang tak henti menggerutu dan meradang terhadap BPJS? Kelas menengah ke atas. 

Bagi kelas bawah, bisa berobat gratis saja sudah syukur banget. Bahkan ketika mereka harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari. Itu jauh lebih baik ketimbang dulu - yang membayangkan bisa ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter saja tidak berani. Kelas menengah yang paling merasa diperlakukan tidak adil. Karena mereka membayar iuran. Layanan yang didapatkan dinilai tidak sepadan.

Pemerintah macam apa yang mewajibkan orang membayar iuran, tapi tidak bisa memberikan pelayanan yang memadai? Sumpah serapah itu makin mengerikan, ketika sang kelas menengah ini ternyata berdiri di baris oposisi pemerintah.

Belakangan makin santer pemberitaan jika BPJS kesehatan defisit. Nilainya tidak main-main, kabarnya sampai Rp 9,75 triliun. Sejumlah rumah sakit konon sudah mengambil tindakan menolak pasien BPJS.

Bagi yang punya nurani, pasti ketar-ketir. Pengobatan gratis bagi jutaan rakyat miskin terancam macet. Akan tetapi, bagi yang tidak suka pada pemerintah sekarang, kondisi ini menjadi santapan lezat untuk menunjukkan kegagalan manajemen BPJS. Tentu, ketidakbecusan N

Masyarakat kita banyak yang tidak memahami (dan tidak mau berusaha memahami) pelaksanaan BPJS adalah amanat UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Yeahhh, tahun 2004, saudara-saudara.

Empat belas tahun lalu. Ke mana pemerintah saat itu, mengapa amanah UU tentang jaminan sosial di bidang kesehatan tidak dijalankan? Jika pemerintah sekarang mau masa bodoh seperti pendahulunya, dia bisa menangguhkan perubahan PT Askes menjadi badan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun