Jam malam bagi pelajar bukan sekadar bentuk pembatasan, tetapi manifestasi dari tanggung jawab negara dalam menjaga generasi muda dari ekses sosial di luar rumah. Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, menjadi salah satu kepala daerah yang berani mengambil langkah tegas melalui penerapan jam malam bagi pelajar mulai pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik Tahun 2025.
Kebijakan ini tidak hanya menyasar pencegahan kriminalitas, tetapi juga menanamkan kedisiplinan. Ia disertai sanksi administratif yang cukup kuat — mulai dari pembinaan langsung, teguran resmi dari sekolah, hingga opsi karantina edukatif di fasilitas pembinaan jika pelanggaran berulang. Jam masuk sekolah juga dimajukan menjadi pukul 06.30 WIB sebagai bagian dari penyesuaian ritme hidup siswa. Langkah ini menunjukkan konsistensi antara pembatasan dan pendidikan karakter.
Langkah Kang Dedi ini memang menuai diskusi, tetapi patut diapresiasi dari sisi keberanian dan orientasi jangka panjang: melindungi anak-anak dari paparan pengaruh buruk malam hari, termasuk geng motor, pergaulan bebas, bahkan potensi kejahatan.
Sementara itu, Yogyakarta sampai saat ini masih dilanda fenomena klitih — sebutan khas lokal untuk aksi kejahatan jalanan yang kerap melibatkan pelajar, terjadi pada malam hari, dan dilakukan secara acak terhadap korban tak dikenal. Ironisnya, Yogyakarta dikenal sebagai "kota pelajar", tetapi justru menghadapi problem keamanan anak didik yang cukup akut di ruang publik.
Sebetulnya, Yogyakarta juga telah memiliki dasar hukum serupa. Pada tahun 2022, Wali Kota Yogyakarta menetapkan Peraturan Wali Kota Nomor 49 Tahun 2022 tentang Jam Malam Anak, yang secara eksplisit menyatakan bahwa anak dan remaja di bawah 18 tahun dilarang berada di luar rumah pada pukul 22.00 hingga 04.00 WIB tanpa pendampingan orang tua atau alasan yang sah.
Namun yang menjadi persoalan utama bukan keberadaan regulasinya, melainkan kurangnya penegakan dan ketegasan dalam pelaksanaan. Tidak ada sanksi administratif yang jelas, tidak ada sistem pengawasan berbasis komunitas yang aktif, dan tidak ada patroli terpadu yang menyasar titik-titik rawan di malam hari. Akibatnya, peraturan tersebut menjadi tidak lebih dari dokumen normatif — ada di atas kertas, tetapi kehilangan daya tekan di lapangan.
Bahkan dalam beberapa laporan media, kejadian klitih tetap marak meskipun jam malam telah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa aturan tanpa kontrol yang tegas hanya akan jadi formalitas.
Fenomena ini perlu disikapi dengan evaluasi serius. Bila jam malam ingin benar-benar efektif dalam meredam klitih, maka pemerintah daerah harus berani mengambil langkah lebih tegas. Ada beberapa hal yang patut dijadikan pertimbangan:
- Penambahan Sanksi Administratif
Seperti yang dilakukan Jawa Barat, Yogyakarta dapat menambahkan sanksi yang bersifat edukatif namun mengikat secara administratif. Misalnya, pendataan pelanggar oleh Satpol PP, pembinaan wajib di tingkat kelurahan, atau teguran resmi kepada orang tua oleh pihak sekolah. - Penguatan Peran Masyarakat dan RT/RW
Pemerintah dapat mengaktifkan kembali Forum Kampung Panca Tertib (FKPT) untuk menjadi garda pengawasan jam malam. Penjagaan kolektif di lingkungan akan jauh lebih efektif daripada pengawasan sentralistik oleh aparat. - Patroli Malam Terjadwal dan Terbuka
Aparat seperti Satpol PP, Babinsa, dan kepolisian dapat menjadwalkan patroli malam secara rutin di titik-titik yang rawan terjadi klitih, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan karang taruna sebagai mitra. - Evaluasi dan Sosialisasi Ulang Perwal No. 49 Tahun 2022
Sosialisasi peraturan harus diperluas ke sekolah, pengurus RT/RW, dan orang tua murid. Banyak warga masih belum memahami substansi dan konsekuensi dari peraturan ini. - Peningkatan Ruang Aktivitas Positif bagi Remaja
Pembatasan harus disertai opsi. Pemerintah daerah harus memperbanyak ruang publik, wadah seni, dan kegiatan olahraga malam yang positif agar anak-anak punya tempat menyalurkan energi, bukan sekadar dilarang.
Regulasi Tak Boleh Tanggung
Apa yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi di Jawa Barat dapat menjadi cermin untuk Yogyakarta. Sebuah kebijakan tidak akan berjalan baik tanpa ketegasan, sistem pengawasan yang konsisten, dan keterlibatan masyarakat. Jika klitih merupakan gejala dari kelonggaran kontrol sosial, maka jawabannya bukan hanya pada larangan, tetapi juga pada keteguhan dalam penegakan aturan.
Yogyakarta tidak kekurangan regulasi, tetapi barangkali sedang kekurangan keberanian untuk menerapkannya secara maksimal. Jika jam malam dianggap penting untuk menjaga pelajar dari potensi kriminalitas, maka jangan biarkan ia menjadi simbol tanpa fungsi. Pemerintah harus kembali mempertegas pelaksanaan peraturan, memperkuat sinergi antar instansi, dan menjadikan pencegahan klitih sebagai prioritas nyata — bukan sekadar agenda tahunan.