Sejak SD kita diajarkan untuk menghafal materi-materi pelajaran di kelas menjelang ujian. Bahkan sampai SMA budaya menghafal itu masih terus dipupuk dalam setiap pelajaran. Setelah lulus perguruan tinggi, saya menyadari bahwa pendidikan itu tidak cukup jika hanya menghafal saja, tetapi perlu juga memahami apa yang diajarkan. Berikut refleksi saya tentang budaya menghafal dan pemahaman yang integral dalam pendidikan, berdasarkan pengalaman saya selama pendidikan dan mengajar di perguruan tinggi:
Menghafal tanpa pemahamanÂ
Tahap pendidikan yang paling awal memang menghafal. Mulai dari menghafal huruf, angka, dan lafal (mengeja). Namun, pendidikan tidak cukup menghafal saja, tetapi perlu juga memahami apa yang dipelajari. Pemahaman inilah aktivitas intelektual yang sebenarnya, karena kita butuh penalaran, logika, dan pengetahuan umum yang dipelajari di luar sekolah.Â
Apabila kita hanya sekedar menghafal saja, apa bedanya kita dengan mesin rekaman yang juga dapat menghafal, malah lebih tepat dari pada hafalan kita.Â
Seorang pelajar yang hanya menghafal tidak akan bisa menjelaskan apa yang ia hafalkan, karena ia tidak memahami pelajaran tersebut dengan baik. Maka dari itu, kita perlu memahami melampaui hafalan belaka.
Pemahaman melampaui hafalanÂ
Pemahaman dapat dilatih dengan menulis ulang apa yang telah kita pelajari atau hafalkan. Seni dalam membuat ringkasan atau catatan pribadi saat belajar menjadi awal dari usaha untuk memahami apa yang dipelajari, bukan sekedar menghafal kata per-kata tanpa makna.
Namun, usaha untuk memahami melampaui hafalan tidak akan terjadi jika soal yang diberikan hanya soal hafalan semua. Perlu ada soal yang menggali pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan dan hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya.Â
Maka dari itu,teknik pengajaran kita juga harus diubah dari mengajar satu arah menjadi pengajaran dua arah, misalnya dengan diskusi dan tanya-jawab.Â
Dari pengalaman saya mengajar, saya lebih suka jika bentuk ujian yang diberikan kepada mahasiswa adalah makalah atau ujian lisan, sebab di sana kita bisa melihat sejauh mana mereka memahami materi yang telah diajarkan dan mereka pelajari secara mandiri. Seandainya pun diadakan ujian tertulis, saya bebaskan mereka untuk open book, karena pertanyaan yang diberikan bukan hafalan tetapi pemahaman mereka tentang materi dan aplikasinya bagi kehidupan sehari-hari.Â