Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai Pemerintah Non PNS

Tertarik pada isu-isu pembangunan. Berjuang untuk perubahan positif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penguatan Pendidikan Keluarga dengan Metode Self Service

12 Juni 2020   11:26 Diperbarui: 12 Juni 2020   11:21 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini berusaha untuk merespon kebijakan pemerintah Jawa barat yang menunda diberlakukannya new normal bagi sektor pendidikan. Meskipun belum mengetahui kepastian kapan dimulainya proses belajar mengajar di sekolah, namun setidaknya kebijakan tersebut dapat direspon khusus bagi orangtua agar melakukan kolaborasi dengan pendidik di sekolah agar belajar di rumah tetap kondusif dan menyenangkan.

Pendidikan keluarga menjadi prioritas utama manakala pembelajaran di sekolah ditunda dengan dengan waktu yang cukup panjang. institusi keluarga menjadi institusi non formal tempat pendidikan dilaksanakan. Pendidikan menurut  Benjamin Bloom  memiliki tiga ranah. Pertama ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Lalu jika proses pendidikan dilaksanakan dirumah ranah apa saja yang dapat digali dari diri anak dan bagaimana proses tersebut dapat diimplementasikan di lingkungan keluarga

Secara konseptual proses tersebut mudah saja dipelajari, namun dalam praktiknya mungkin saja banyak kendala-kendala teknis yang dijumpai pendidik dalam melangsungkan proses pendidikan di rumah. Belajar di rumah dapat dinilai sebagai inovasi pendidikan dan dapat pula dianggap sebagai masalah disisi lain. saat ini belajar dirumah dimudahkan dengan kecanggihan teknologi informasi. Guru dapat melaksanakan proses belajar mengajar dengan menggunakan aplikasi di rumah masing-masing

Meskipun begitu proses ini harus diperkuat dengan kebijakan pendukung lainnya seperti subsidi kuota internet atau bahkan memasang wifi gratis ke kampung-kampung, masalahnya mungkin saja tak semua keluarga dapat mengakses internet karena masalah finansial, karena pandemic ini telah berimbas ke berbagai hal terutama pendapatan masyarakat. Kedua jika dilakukan dalam jangka panjang belajar dirumah dapat dinilai sebagai masalah karena berkurangnya intensitas sosialisasi dan munculnya rasa bosan .

Pendidik di rumah (Ayah, Ibu atau anggota keluarga lainnya) dan pendidik di sekolah mau tak mau harus melakukan kerjasama untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan menyebabkan menurunnya semangat anak dalam belajar. Selama masa belajar dirumah banyak hal yang harus ditekankan orangtua kepada anak, aspek kognitif barangkali dapat orangtua serahkan kepada pendidik di sekolah dengan metode belajar yang telah ditetapkan dan dibimbing dengan bantuan orangtua, namun aspek lain yang terpenting dan akan efektif jika dilaksanakan dirumah adalah aspek sikap dan emosional.

Secara teoritis dalam mempraktikkan pola asuh, terdapat 3 karakter orangtua yang digagas oleh Baumrind (1971) yaitu otoritarian, otoritatif dan permisif.. Pertama adalah orangtua yang menerapkan pola asuh secara otoritarian yaitu mereka yang menekankan aturan-aturan dan batasan tertentu pada anak. Orangtua dengan pola asuh tersebut menerapkan pola komunikasi yang cenderung tegas dalam target-target pengasuhannya orangtua dengan gaya pengasuhan ini menganggap kepatuhan sebagai hal baik dan menggunakan hukuman untuk mengontrol dan mengekang. 

Gaya kedua adalah gaya permisif, yaitu orangtua yang cenderung santai dan lebih lentur dalam menerapkan aturan kepada anak. Anak cenderung dibiarkan dengan dunianya. Kadang anak dibiarkan membuat aturan sendiri. Yang ketiga adalah gaya pengasuhan otoritatif yaitu orangtua mengarahkan dan mengatur anak tetapi menjelaskan tentang sebab aturan dan larangan yang diberlakukan kepada anak

Menerapkan pola asuh manapun terhadap anak sangat tergantung pada keputusan orangtua, salah satu gaya asuh tak dapat diklaim sebagai yang terbaik dan yang lainnya yang terburuk karena bisa jadi meskipun menerapkan pola asuh yang otoritatif, selama anak mengalami perkembangan dan tidak terlihat mengalami stress dan tekanan maka itu sah-sah saja, karena barangkali sebagian anak ada yang harus disikapi dengan sedikit tekanan supaya mau memulai kebiasaan baik.

Berbicara tentang pendidikan tak salah rasanya jika salah satu tujuannya adalah untuk mencerdaskan anak,. Namun kadangkala mayoritas kita bertumpu hanya pada satu kecerdasan yaitu intelektual, sedangkan jika ditelaah lebih jauh terdapat berbagai jenis-jenis kecerdasan yang sebenarnya dimiliki anak. Anak sulit memahami pelajaran eksaksa bukan berarti dia tidak cerdas, namun dia memiliki kecerdasan dan kemampuan yang berbeda

Howard Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan manusia terbagi kedalam 8 jenis: yaitu kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinesteteik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan bahasa, kecerdasan music, kecerdasan alam. Orangtua dapat memperhatikan kecerdasan apa yang dimiliki anak. Dengan mengembangkan kecerdasan berdasarkan pada bawaan anak, orangtua dapat mendukung minat dan bakatnya secara optimal. 

Jika orangtua kesulitan menganalisis kecerdasan apa yang hendak didukung maka, 1mereka dapat memperkuat kecerdasan emosional dengan membebankan pekerjaan rumah. Misalnya dengan menerapkan aturan "self service" anak dibiasakan untuk melakukan segala hal sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun