Mohon tunggu...
Zavilla Ramadhina
Zavilla Ramadhina Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Zavilla Ramadhina, seorang mahasiswa yang memiliki hobi ngobrol santai. Kepribadiannya dapat digambarkan sebagai ekspresif, dengan kemampuan untuk mengungkapkan emosi, dia menemukan sukacita dalam berinteraksi dengan orang lain dan berbagi pengalaman serta cerita.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Self Diagnosis vs Self Awareness: Pentingnya Mengenali Diri Sendiri dengan Benar

19 Maret 2024   06:28 Diperbarui: 19 Maret 2024   06:31 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hey sobat! Pernahkah kalian merasa sedang berada dalam permainan detektif, mencoba menghubung-hubungkan gejala yang muncul di tubuh atau pikiran kalian dengan berbagai penyakit yang muncul di pikiran? Atau mungkin, merasa menjadi 'dokter' bagi diri sendiri hanya dengan bantuan mesin pencari dan informasi dari media sosial? Memang, kecenderungan untuk melakukan self diagnosis seringkali terasa menggoda, tapi tahukah kalian bahwa di balik itu semua tersimpan bahaya yang tidak terduga? Mari kita simak penjelasannya!!


Self diagnosis merupakan praktik dimana seseorang mencoba untuk mendiagnosis dirinya sendiri tanpa bantuan dari para profesional atau ahli di bidangnya. Hal ini seringkali didasari oleh berbagai faktor, sementara self awareness adalah proses memahami diri sendiri dengan mendalam, termasuk pemahaman tentang sifat, emosi, dan perspektif individu terhadap lingkungannya.


Penyebab Terjadinya Self Diagnosis


1. Mekanisme Pertahanan Diri: Terkadang, self diagnosis muncul sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari pertolongan atau evaluasi dari luar yang bisa dianggap mengancam.
 
2. Rasa Ingin Tahu yang Tinggi: Kecurigaan akan kondisi kesehatan sendiri sering kali muncul dari rasa ingin tahu yang tinggi dan keinginan untuk mendapatkan jawaban dengan cepat.
 
3. FOMO dan Trending: Adanya tren atau topik kesehatan mental yang sedang populer di media sosial atau masyarakat umum dapat mendorong individu untuk melakukan self diagnosis demi 'mengikuti arus'.
 
4. Pengaruh Media Sosial: Informasi yang tidak teruji kebenarannya di media sosial dapat mempengaruhi individu untuk membuat diagnosis sendiri, terutama jika informasi tersebut menimbulkan kecemasan atau ketidakpastian.
 
5. Ketakutan akan Profesionalisme: Kekhawatiran akan diberi label atau diagnosis yang mungkin tidak diinginkan oleh profesional medis, atau biaya yang tinggi dalam konsultasi medis, bisa membuat seseorang lebih memilih untuk melakukan self diagnosis.
 
6. Stigma terhadap Kesehatan Jiwa: Stigma sosial terhadap gangguan kesehatan mental dan persepsi bahwa pengobatan atau terapi kesehatan mental mahal dan tidak dapat diakses oleh semua orang bisa mendorong individu untuk melakukan self diagnosis.
 
7. Cocokologi: Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain dan membuat kesimpulan berdasarkan persepsi subjektif, tanpa dasar ilmiah yang kuat.

Kesalahan Persepsi dalam Self Diagnosis

1. Kesehatan Fisik: Salah menafsirkan gejala kulit, tubuh, atau masalah seksual tanpa konsultasi profesional, atau mengaitkan orientasi seksual dengan penyakit fisik, seperti gejala penyakit berat.
 
2. Introvert: Mendasarkan label introvert hanya pada ciri-ciri fisik atau perilaku tertentu tanpa penilaian dari ahli psikologi bisa mengakibatkan kesalahan diagnosis, karena sebenarnya introvertisme adalah gambaran tentang bagaimana seseorang memperoleh energi dan mengelola interaksi sosial, bukan sekadar 'pendiam'.
 
3. Depresi/Stres: Membingungkan antara sedih karena hari buruk atau situasi sementara dengan kondisi klinis depresi atau stres yang serius.
 
4. ADHD/Autisme: Membingungkan gejala kelebihan energi atau kurangnya fokus dengan ADHD atau autisme, tanpa memperhatikan ciri-ciri khas dan pengaruhnya terhadap fungsi sosial dan akademik.

Bahaya Melakukan Self Diagnosis

1. Under Diagnosis:Mengabaikan gejala yang sebenarnya serius dan memerlukan perhatian medis dapat berujung pada konsekuensi yang fatal.
 
2. Over Diagnosis: Kecemasan berlebihan karena merasa terkena penyakit serius tanpa konfirmasi medis yang tepat dapat mengganggu kualitas hidup dan menyebabkan stres yang tidak perlu.
 
3. Misdiagnosis:Kesalahan dalam diagnosis bisa mengakibatkan penanganan yang tidak tepat, bahkan bisa memperburuk kondisi kesehatan atau menciptakan masalah baru.

Tips Mencegah Self Diagnosis

1. Konsultasi ke Profesional: Segera temui profesional kesehatan untuk evaluasi yang akurat dan rencana perawatan yang tepat.
 
2. Mengandalkan Sumber yang Kredibel: Hindari mencari diagnosis dari media sosial atau platform yang tidak dapat dipercaya. Berpegang pada sumber informasi yang teruji kebenarannya.
 
3. Menghindari Perbandingan: Jangan membandingkan gejala dengan orang lain karena setiap individu unik dan kondisi kesehatannya bisa berbeda-beda.
 
4. Konsultasikan dengan Ahli: Segera konsultasikan gejala gangguan kesehatan mental kepada ahli untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan rencana terapi yang sesuai dengan kebutuhan individu.

Nah, sekarang sudah jelas, kan, apa itu self diagnosis dan potensi bahayanya? so apakah kamu masih ingin terjerumus dalam praktik yang berisiko ini? Mari kita renungkan kembali, kesehatan kita layak mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, yang didasari oleh pengetahuan dan arahan dari para profesional. Jangan biarkan ketidaktahuan atau ketakutan menghalangi langkah-langkah bijak kita dalam merawat diri sendiri. Ingatlah, setiap langkah kecil menuju kesehatan yang lebih baik adalah investasi yang tak ternilai bagi masa depan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun