Mohon tunggu...
Flower Nice
Flower Nice Mohon Tunggu... Penulis - Author

Flower nice adalah sebuah nama pena dari seseorang yang ingin menyampaikan pesan-pesan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emak, Hari Ini Ratih Pulang

24 Februari 2024   16:40 Diperbarui: 24 Februari 2024   17:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratih, anak Bu Sum yang telah dua puluh tahun merantau di Arab semalam menelpon. Katanya, dia mau pulang pekan depan dan tidak akan kembali lagi ke Arab. Ratih hendak menghabiskan sisa usianya di desa, dekat dengan keluarganya.


"Pulanglah, Nak. Emak sudah rindu sekali," jawab Bu Sum di penghujung telepon.


Sejak menerima telepon dari Ratih, Bu Sum terlihat lebih semringah. Ibu enam anak itu tak sabar untuk bertemu dengan putri sulungnya setelah dua puluh tahun berpisah. Ratih menjadi TKW di Arab sejak usia sembilan belas tahun dan tak pernah sekalipun kembali ke Indonesia.  


Bu Sum mempersiapkan segala sesuatu demi menyambut kepulangan Ratih. Beliau  mengumpulkan kelima anaknya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Kelima adik-adik Ratih itu kini sudah berumah tangga dan masing-masing telah dibuatkan rumah oleh Ratih.


"Nak, pekan depan kakakmu akan pulang. Emak minta kalian bereskan rumah, sekalian dibenahi kalau ada yang kurang. Sesampainya di Indonesia, Emak mau ajak kakakmu melihat rumah kalian masing-masing. Biar dia bangga melihat hasil kerja kerasnya selama ini.



"Ya, Mak, jawab Herman, Adik kedua Ratih. Sedangkan yang lain hanya mengangguk-angguk.


"Emak juga minta tolong kalian siapkan segala keperluan kakakmu setibanya di desa nanti", ujar Bu Sum menambahkan.  


Selama sepekan, keluarga Bu Sum terlihat sangat sibuk. Bahkan, beberapa tetangga dimintai tolong untuk membantu mengecat rumah, menata perabotan, serta memperindah pekarangan.


Kabar kepulangan Ratih dari Arab kemudian tersebar hingga seantero desa. Orang-orang mulai membicarakan tentang Ratih, Sang Bunga Desa yang rela mengorbankan masa mudanya, bekerja di negeri orang demi membantu perekonomian keluarganya.


Dahulu, keluarga Ratih hidup serba kekurangan. Bapaknya hanya buruh tani, sedangkan emaknya tidak bisa bekerja karena sibuk mengurus enam orang anak. Namun, sejak Ratih bekerja di Arab, perlahan ekonomi keluarganya membaik. Orang tuanya bisa membangun rumah permanen yang cukup bagus, adik-adik Ratih semua disekolahkan hingga tamat sarjana. Tidak berhenti disitu, Ratih belum juga mau pulang karena ingin membiayai pernikahan adik-adiknya hingga membantu membuatkan rumah.


Orang-orang turut senang dengan kabar kepulangan Ratih. Bagi mereka, Ratih adalah contoh pahlawan keluarga yang patut disanjung. Saking senangnya, beberapa warga desa yang pernah dekat dengan Ratih telah menyiapkan hadiah untuk kepulangannya nanti.


Hari yang ditunggu tiba. Semalam Ratih menelpon lagi, mengabarkan kalau pesawatnya sudah hendak berangkat. Kemungkinan pagi ini dia sampai di Indonesia dan akan langsung menuju ke desanya.


Bu Sum, adik-adik Ratih dan beberapa tetangga terlihat sibuk memasak. Beberapa saat kemudian, menu makanan kesukaan Ratih telah dihidangkan di meja makan. Mereka lantas mengobrol tentang awal mula perjuangan Ratih mencari nafkah hingga sukses seperti sekarang. Banyak orang berdecak kagum dengan ketulusan hati Ratih. Sebagian juga merasa penasaran dengan wajah Ratih yang dahulu terkenal cantik. Apakah sekarang lebih cantik lagi karena punya banyak uang?


Lama mengobrol, orang-orang mulai bosan. Seharusnya, Ratih sudah sampai di rumah itu tiga jam yang lalu ketika adzan sholat ashar berkumandang. Namun, mengapa belum nampak pula batang hidungnya? Orang-orang mulai cemas. Mereka memastikan ikhwal kepulangan Ratih kepada Bu Sum.
Wanita berambut putih digelung itu menjawab dengan penuh keyakinan kalau semalam putrinya benar-benar menelpon dan mengatakan akan pulang hari ini.


"Ratih bilang kalau tak kuat lagi hidup sendiri di perantauan. Ia rindu pada Emak, Adik-adik, dan desa kita yang rindang," beber Bu Sum, "Ratih juga menangis, katanya ingin sekali berdoa di pusara Bapak. "

Bu Sum meneteskan airmata, teringat kalau putri sulungnya itu bahkan belum pernah melihat kuburan bapaknya karena saat beliau tiada, Ratih berada di Arab dan tidak bisa pulang karena terikat kontrak kerja.


Bu Sum tampak menyesali nasib putrinya itu. Dahulu, ia adalah bunga desa yang diidamkan banyak lelaki. Sekarang, ia pulang saat usia pernikahan telah lewat. Ah, alangkah ironi kehidupannya. Adik-adik yang diperjuangkan kini telah bahagia dengan pasangannya masing-masing, sedangkan dirinya menua seorang diri di tanah orang.


Selesai Bu Sum bercerita, anak lelakinya masuk memberikan informasi kalau kakaknya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Bahkan, nomor telepon yang diberikan ibunya tidak tersambung.  Bu Sum menatap tak percaya dengan perkataan anaknya. Ia mencoba sendiri menghubungi Ratih, namun hasilnya nihil.


Orang-orang bertambah cemas. Beberapa orang terlihat mengulik ponsel mereka, membaca berita-berita hari ini. Mungkin saja ada informasi terkait Ratih seperti terjadi kecelakaan kereta atau pesawat jatuh.


Herman, adik kedua Ratih menghubungi kantor penyalur tenaga kerja yang dulu membawa kakaknya ke Arab. Karyawan yang mengangkat telepon mengaku kalau kantor kurang tahu soal kepulangan Ratih karena menurut kontrak kerja, Ratih baru bisa pulang tiga bulan yang akan datang. Namun, kantor penyalur tenaga kerja yang terletak di pusat kotamadya itu berjanji akan bekerjasama dengan KBRI untuk mencari informasi tentang keberadaan Ratih.


Herman tidak bisa menunggu. Ia langsung menghubungi KBRI di Riyadh dan meminta bantuan untuk menemukan kakaknya. Pihak KBRI meminta waktu hingga satu minggu untuk melakukan pencarian.


Malam semakin larut. Orang-orang yang tadi sore berkerumun untuk menyambut Ratih telah pulang ke rumah masing-masing. Rumah Bu Sum lengang. Ibu berusia enam puluhan itu menatap makanan kesukaan putrinya yang telah dingin di meja. Wajahnya tampak pucat. Hati nuraninya berkata ada hal tak mengenakkan terkait putrinya. Namun, pikirannya mengelak. Ia masih optimis kalau Ratih bakal pulang dalam kondisi baik-baik saja.


Setiap sepertiga malam, Bu Sum bermunajad di atas sajadahnya. Hatinya semakin resah karena lima hari berlalu dan belum ada kabar tentang Ratih. Ia kembali memencet nomor telepon Ratih. Jawabannya sama, nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar. Lantas, siapa yang sepekan lalu menelponnya? Teka-teki ini membuat Bu Sum semakin gundah.


"Emak yakin yang bicara itu Kamu, Nak. Tapi, dimana dan apa yang sebenarnya terjadi padamu?" lirih Bu Sum, "pulanglah, Nak. Apapun kondisimu, pulanglah di pangkuan Emak, Nak."


Bu Sum masih sesenggukan di balik mukenanya ketika telepon genggam Herman berdering. Cepat-cepat ia bangunkan anak ketiganya itu.


"Dari KBRI, Mak!" kata Herman.


Keduanya bersitatap sebentar. Kemudian Herman mengangkat telepon penting itu.


"Selamat malam. Benar, saya Herman, keluarga dari Ibu Ratih Eka Wulandari," jawaban Herman untuk pertanyaan dari seberang sana.


Sebentar kemudian, wajah Herman mendadak pucat. Bu Sum yang ada di sebelahnya ikut tegang, jantungnya berdegup kencang. Herman tanpa sadar melepaskan telepon genggamnya begitu saja, lalu mematung. Ia tak menghiraukan teriakan-teriakan Bu Sum yang menanyakan keadaan Ratih. Tangannya menjadi dingin, lalu limbung di sofa.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini, orang-orang berkumpul di rumah Bu Sum untuk kirim doa pada Ratih yang mati mengenaskan dua minggu yang lalu. Setelah dilakukan otopsi dan olah TKP, polisi menyatakan kalau Ratih yang tengah berbadan dua meninggal akibat racun sianida yang diberikan majikannya.


Sang majikan takut akan hukuman rajam yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi pada warga yang terbukti berzina. Karena itulah, ia tega meracuni Ratih dan calon anak yang dikandungnya. Majikan itu kemudian membiarkan jasad Ratih dimakan anjing untuk menggelapkan barang bukti. Sementara sisa tulang dan daging yang terkoyak, ia kubur di bawah tempat pembuangan sampah. 

Sang majikan kemudian mengatur dokumen dan membeli tiket penerbangan atas nama Ratih, seolah-olah Ratih pulang ke Indonesia. Jadwal yang tertera di tiket itu sama persis dengan hari kepulangan Ratih yang diketahui Bu Sum dari telepon.

Di kamar, Bu Sum memeluk foto putri sulungnya yang diambil saat hendak pergi ke Arab, dua puluh tahun yang lalu.


Sekarang, Kau telah pulang, Nak. Pahlawan keluargaku telah pulang dalam dekapan Emak untuk selamanya.

Bionarasi:
Novia Ikawanti, punya nama pena Flower Nice. Kelahiran Ngawi, 22 November 1989. Berdomisili di Karanganyar, Jawa Tengah. Aktif di facebook @ Flower Nice, Instagram @flowernice89. Tuliskanlah apa-apa yang kamu ketahui. Kelak, semua itu akan menjadi warisan ilmu yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun