Mohon tunggu...
veni Wp
veni Wp Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang yang biasa saja. berjalan di atas kaki sendiri

Menjadi Manusia yang Seutuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Larilah

22 Juli 2019   10:29 Diperbarui: 22 Juli 2019   10:38 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keinginan manusia mengalir dari tiga sumber utama : keinginan, emosi, dan pengetahuan - Plato -

 

Aku melangkah dalam kesendirian. Mencari sesuatu yang tidak aku cari. Hal-hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan. Bernafas dalam getar detak jantung tak beraturan. Terpaan angin yang bahkan selalu aku hindari. Sesuatu ketakutan terhadap hal yang tidak berbentuk sekalipun. Aku menyerah dengan angin. Berjalan tanpa arah yang jelas.

Yang jelas aku akan selalu berlari. Tidak lagi melangkah. Berlari dan berharap tidak akan kembali. Hanya menatap kedepan, menolak sebuah ingatan yang bahkan tidak pernah aku bayangkan. Kenyataan yang terlihat hanya mimpi belaka. Mimpi-mimpi yang menjadi batu sandungan untukku. Aku akan menghindarinya, berlari sejauh yang aku bisa.

Hujan tampak terlihat di ujung sana, menghambat perjalananku. Aku berhenti berlari, tapi tidak berjalan. Bagaimanapun, aku tidak boleh berhenti. Semua akan terus aku jalankan. Tidak ada kata pause dalam otakku. Alam bawah sadarku mengatakan untuk berhenti, setidaknya menarik napas. Berpikir tetap jernih. Ketidaksadaraanku terus melawan dan menginginkan terus berlari.

Air itu menetes membasahi bumi dan aku. Mencoba menenggelamkan setiap luka-luka dalam kenangan. Menghapus debu jalanan menjadi kesejukan. Baju ini telah basah. Tampak tak berbentuk lagi. Terlalu kusut, seperti cuaca saat ini. Mendung tanpa matahari. Terkadang yang selalu aku protes ketika bersinar terik. Namun, kini aku membutuhkan kehangatannya untuk memelukku.

Aku berhenti, sudah terlalu jauh aku berlari. Kini, aku disambut dengan burung-burung camar. Terbang dengan bebas mengepakan sayapnya menuju tempat dia mau. Kebebasan dalam mengekspresikan apa yang dia punya. Tak perlu takut mendengarkan celotehan burung lainnya. Seolah hidup masing-masing.

Terlihat di batas antara birunya langit dan laut, cahaya senja muncul. Menghangatkan dalam dingin yang tidak ingin pergi. Hujan telah menanamkan sisinya yang kelam ke tubuh. Banyak sisi dalam hujan, tapi kenapa seolah kekelaman itulah yang muncul? Aku tidak habis pikir dengan itu semua. 

Seolah tiada hentinya semesta memberikan kata masalah. Kemana aku lari, disitu dia selalu ada. Dia yang bahkan tidak ingin aku temui sama sekali. Zona nyaman dengannya telah berakhir, semua telah hancur dan masih terus mengejar langkah-langkahku. Menarik relung jiwa untuk tetap bertahan.

Gadis itu berdiri dalam damai yang menjelajahi jiwanya. Entah daya tarik apa yang membuat aku mendekatinya. Hembusan nafasnya begitu tenang. Ketenangan yang kini mulai merambat ke relung hatiku. Melebur dengan sang resah dalam tubuh. Mata itu bersinar, berwarna biru laut. 

Dengan senyum yang mampu memberikan kehangatan dalam dingin. Kau menyapa aku, memperkenalkan diri. Hal yang paling dasar dalam suatu hubungan. Shani, namamu sangat sejuk. Seperti wajah yang disana, di tempat terdalam mimpi.

"Kau sedang ada masalah apa?" aku menatap dalam mata itu. Kata bingung hadir dalam otak. "Tidak ada," jawabku dengan tenang menatap senja. Senja, begitu banyak orang mengaguminya jika ia terlihat. Selepas dia menghilang, semua orang tidak mengagungkannya kembali.

"Manusia memang penuh penyangkalan." ternyata dia tidak sediam yang aku pikirkan. Kata-kata terus keluar dari bibir indahnya. Suaranya membuat anomali cuaca dalam tubuh. Air laut menerpa kakiku, namun tidak dengan dia. Seolah kaki itu milik bidadari yang tak mampu untuk dikotori.

"Aku tidak menyangkal, tapi memang aku baik-baik saja. Jangan menjadi manusia yang sok tahu." dia masih tidak menatap aku balik. Dengan setia aku menunggunya. Senyum itu tercipta, "Aku tidak yakin, karena seseorang ke pantai terkadang ingin menenangkan diri." warna biru laut memang membawa ketenangan. Tempat yang begitu indah.

"Tapi itu terkadang kan?" Shani hanya mengankat bahu, dia berbalik bersamaan dengan sempurnanya matahari tenggelam. Senja telah pergi. "Tapi aku yakin, kamu sedang mengindari sesuatu yang tidak nyata namun nyata." dia tetap tidak menatap aku. Perempuan itu menarik roh yang beberapa hari ini bersembunyi. Menghindari segala hal yang tidak disukai.

Aku berdiri dengan emosi dan keinginan. Kedua hal ini bersatu dan tenggelam dalam otak. Semua berasal dari kebaikan jiwa yang penuh nafsu. Tentu itu sebuah kebaikan untuk diriku sendiri. Nafasku berhembus sangat berat. Begitu berat terasa semuanya.

Sepatu yang tadinya putih terlihat bewarna cokelat. Aku tidak mungkin bertahan dalam dinginnya angin laut. Dengan langkah pelan dan pasti, aku menuju ke sebuah rumah yang begitu sederhana. Seorang laki-laki berumur 65 tahun keluar dari rumah. Aku tersenyum kepadanya, ini adalah senyum tulus yang telah lama tidak ingin muncul.

Obrolan mengalir senada dengan deru air laut bertemu dengan pantai. Malam semakin menampakkan kuasanya. Dia berkuasa dengan segala kegelapan. Namun, bintang mampu meredakan kesombongan sang malam. Gadis itu keluar dari bilik rumah kakek Sandi. Dia berjalan membawa kehangatan dalam nampan dan juga jiwanya.

"Silahkan di minum kopi hangatnya. Ini kopi cucu kakek yang paling enak." aku menghirup aroma kopi. Kopi itu masuk ke selaksa rindu kebutuhan diri. Bukan lagi keinginan dalam diri. Segelas kopi ini mengingatkan aku akan sosok dia yang memberikan kehangatan.

"Jadi, kamu kesini untuk menemukan ketenangan?" Shani menatap aku dengan senyum mengejeknya. Perempuan sialan. Aku kalah telak. "Ya, begitulah kek, semua mengikat aku dengan paksaan." Kakek Sandi hanya menganggukan kepalanya. Menatap kembali ke langit malam. "Kamu sebenarnya lari dari masalah dan tidak ingin menghadapinya."

Aku menatap kegelapan, dimana masih terlihat disana masalah itu mulai mendekat. Dia tidak pernah aku tinggalkan. Terus mengejar dan mencoba meraih lenganku untuk menghadapnya. Aku masih menghindarinya dan mencari jalan lain. Jalan yang tidak bisa dia lewati.

"Manusia lemah, laki-laki macam apa kamu!" dia mencoba menguji kesabaranku. "Jangan seperti itu Shani, temani dia, kakek mau tidur dulu." bahkan perempuan itu tidak menatap aku sama sekali. Angin malam menerpa wajahnya dan menerbangkan rambutnya yang tergerai. Bagaimana mungkin aku meninggalkan dia untuk terus berlari.

"Bahkan kau tidak mengenal nama aku." dia masih tidak bergeming. "Aku Boby." Shani begitu menikmati dinginnya malam. Aku sudah mulai menggigil. Dingin telah membuat aku lemah. "Apa kamu tidak dingin? Aku bahkan sudah menggigil."

"Sudah lemah dalam masalah, sekarang kamu lemah soal cuaca." ya bagus kau menatap aku. Tidak akan aku lepaskan. "Kau tidak tahu masalah yang sedang aku hadapi, manusia memang suka berkomentar tanpa mengetahui faktanya." tangannya sangat lembut. Aku menggenggam tangannya menyalurkan kehangatan yang ada dalam dirinya.

"Faktanya memang kamu lemah, masalah itu akan terus mengejar kamu, By, kamu harus sadar itu." dia tidak melepaskan genggaman tanganku. "Dengan kamu menghindar, semuanya tidak akan selesai. 

Ceritalah kalau kamu mau." shani berdiri dengan tegas. Menantang kegelapan malam dan menikmati keindahan bintang. Keberanian membuatnya mendapatkan keindahan yang memang patut dia dapatkan.

"Aku tidak tahu harus berbicara apa." dia hanya mengangguk saja dan masuk ke dalam rumah. Aku tetap setia duduk di kursi kayu depan rumahnya. "Masuk, kamu ingin membuat aku dan kakek terlihat seperti orang jahat? Membiarkan manusia lemah mati karena kedinginan?" sabar By, dia memang gadis lain dari lainnya. Kelembutan yang dibalut ketegasan.

Aku terus berlari dalam gelapnya malam. Tidak ada cahaya untuk menerangi jalanku. Terlihat mereka terus mengejar dan meneriakan namaku. Nafasku sudah tidak beraturan lagi, keringat terus menetes seperti darah yang mengalir. Jantung dipaksa terus bekerja. 

Di depan sana ada cahaya, aku akan sampai kesana, dan semua telah berakhir. Namun, masalah itu mampu meraih tanganku dan menarik kembali ke belakang. Menjauh dari cahaya yang membuat aku tenang.

"Lepaskan aku, jangan memaksa semua kehendak kalian, lepaskan..." aku berteriak berharap mereka melepaskannya. "Hey, kamu kenapa? Ayo bangun By," tiba-tiba ada cahaya lain yang mampu membuat aku berani menghadapi gelapnya malam. 

"By, bangun. Sudah pagi jangan teriak-teriak." Shani terlihat dengan jelas saat aku membuka mata. Keringat membasahi bajuku. "Kamu habis maraton apa? Tidur aja sampai baju basah gitu? Atau dia menemui kamu dalam mimpi?" aku masih mengatur nafas dan mengumpulkan nyawa. Tidak menjawab pertanyaanya. "Kau begitu cantik pagi ini," ucapku seadanya. Cahaya pagi yang mengingatkan akan cahaya dalam malam. Cahaya itu menemani aku dalam menghadapinya.

Shani tidak membalas ucapanku. Dia melangkah keluar dari rumah. Mimpi itu begitu nyata. Dia kini terlihat di kaca jendela menghalangi sinar mentari pagi. Aku segera pergi dari kamar. Dunia begitu tidak ingin aku hidup damai.

"Apa aku tidak ditakdirkan untuk lahir?" aku membasuh muka dan menatap diriku sendiri dalam cermin. Menatap seorang yang tidak tahu diri. "Kau, kau sangatlah lemah, kau telah berani melakukan tapi tidak ingin bertanggung jawab?" dia berbicara kepadaku. "Bagaimana aku bertanggung jawab? Itu dilakukan tanpa sengaja!"

Dia tertawa mengejek, "Tanpa sengaja dalam kondisi sadar? Pikirkan dengan otak yang rasional!" dia menghilang, muncul perempuan itu. Perempuan yang dulu selalu mengerti aku dan membawa aku ke dalam kedamaian. Dia tersenyum begitu manis dan ketika melihatku, senyum itu berubah menjadi sendu. 

"Jangan menunjukan kesedihan itu, jangan." aku mencoba meraih lembut wajahnya. Aku tidak mampu melihatnya seperti ini. Tapi, aku tidak siap untuk kembali bertemu dengannya.

Aku melangkah keluar rumah. Terdengar deburan ombak menerjang pantai. Langit biru begitu sempurna. Kesempurnaan yang sama juga terlihat di wajah Shani. Gadis pantai yang sangat mempesona dengan sikapnya. Langkah kaki membawa aku mendekat dengannya. Aku mencoba melepaskan semua masalah yang ada. 

"Tatapanmu manja namun tidak," Shani menatapku dengan mata tajamnya. Senyum aku ciptakan melihat responnya. "Kamu perempuan, aku tahu dalam diri kamu, kamu membutuhkan hangatnya sebuah pelukan."

"Tidak, seharusnya kamu yang membutuhkannya. Kamu harus menghadapinya. Berhentilah lari, apa yang kamu lakukan sampai tidak ingin bertemu dengan masalah itu?" untuk pertama kalinya aku mendengar dia berbicara panjang. Kata-katanya mampu membuat aku terdiam. Seketika wajah perempuan tercipta di langit biru. Dia kini terlihat tersenyum. "Aku tidak melakukannya, semua hanya kesalahan Shani."

"Ceritalah, aku akan mendengarkannya, laki-laki lemah." terlihat ketulusan di matanya. Aku menatap dalam mata itu, mata yang indah. Namun, mata itu tidak mampu membuat aku melupakannya. "Aku dan sahabat perempuanku melakukan sesuatu hal yang tak seharusnya, layaknya seorang suami istri." mungkin aku tidak masalah dengan orang-orang yang melakukan seks bebas, tapi tidak denganku.

"Dan itu terjadi ketika dia merasakan yang namanya patah hati. Aku menemaninya, sampai kami terbawa suasana. Nafsu dalam jiwaku tidak mampu aku tahan." kau begitu setia mendengarkan ceritaku. Memberikan waktu untuk aku menyelesaikannya. Mengamati setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Bagaimanapun, kamu telah melakukan itu semua. Walaupun kamu tidak sengaja." langit dan laut menarik kamu untuk mendekat. Menantang angin laut yang mampu menerbangkan rambutnya. 

Namun, tidak dengan kesempurnaan di jiwanya. "Lihatlah, langit di ujung sana," aku mengikuti arah pandang matanya. "Mendung bukan? Perempuan itu sedang berjuang menahan semuanya. Dan kamu?" Shani menunjuk wajahku, "Pengecut, pergi dan lari dari dia yang begitu berani menantang semuanya." wajah perempuanku begitu sendu di ujung sana. Dia tidak menarik aku untuk kembali.

"Kembalilah, dia membutuhkanmu untuk bersama melawan kerasnya dunia." aku menggeleng, tetap dalam pendirian. "Ada seseorang yang hidup di dalam tubuhnya, kasihmu telah menghasilkan buah kasih kalian. Mulailah mencintai dia sebagai perempuan bukan sebagai sahabat."

Shani begitu tulus, dia mengatakan sebagai sesama perempuan. Perasaan yang begitu kuat membuat aku sedikit mengingat masa itu. Dia yang begitu ceria dan entah sekarang aku tidak tahu bagaimana dengannya. Aku seperti laki-laki yang tidak tahu diri. "Tapi aku belum bisa memberikan yang terbaik buat dia, aku takut membuatnya tersiksa." ya, aku begitu penakut.

"Dengan kamu lari, semua rasa takut itu hilang? Tidak." Shani berbalik menatap tajam. "Dia akan mengerti kamu dengan kondisi kamu yang saat ini."

"Tapi, kami masih kuliah semester awal. Bagaimana dengan dia? Dia telah hamil."

"Bicaralah dengannya, temui dia, masalah itu tidak akan berhenti mengikuti kamu, By. Dia ada di belakang kamu sampai kamu berbalik dan berani menghadapinya."

Aku tidak berani menengok ke belakang. Terlalu benar kata Shani. Masalah itu tidak mungkin berhenti mengikuti. "Sudahlah, ayo kita ke pantai dulu. Menikmati damainya dunia. Dan aku harap kamu akan segera menemuinya."

Kami berjalan menyusuri pantai. Menaiki batu karang untuk mendapatkan keindahan yang lebih. Terpaan angin menyapu seluruh wajahku. Kelembutannya mengingatkan aku kembali. 

Dia yang selalu membuat duniaku berwarna dengan tingkahnya. Aku tidak bisa tanpa mengingatnya. Dunia ini tidak pernah jauh darinya. Laut lepas dan luas terlukis jelas di depan mataku. Angin semakin kencang. Lembah jurang terlihat sangat dalam.

"Shani, mungkin hari ini terakhir aku disini. Nanti malam aku akan kembali dan menemui dia."

"Baguslah."

***

Aku terbangun dari tidur. Perempuan itu terlihat jelas dalam dekapanku. Wajah cantiknya yang terlihat tenang. Kehangatan tubuhnya mengalir dalam desir darahku. Hidunya membuat aku candu dan tidak ingin jauh. Dunia itu terlihat nyata dan gadis pantai teringang dalam kepala.

"Kau sudah bangun?" aku hanya menganggukan kepala.

"Aku ingin menikahi kamu, Nin." Anin tersenyum dengan tulus. Tubuh polosnya yang terbalut selimut berjalan menuju cermin. "Kamu kenapa? Kita sudah sering melakukan ini dan tidak pernah ada pembicaraan seperti ini."

"Bukan saatnya main-main lagi Anin. Aku tidak mau semua telat, gimana? Kamu ga mau ya?" dia berjalan menghampiri aku yang masih duduk di tepi kasur. Berdiri dan menatap dalam mataku. Tangannya dengan lembut menyentuh pipiku. "Tidak, aku bukannya tidak mau, tapi kalau kamu belum yakin jangan dulu."

Aku menggelengkan kepala. Hubungan bukan hanya untuk senang-senang saja. "Aku telah berani melakukannya dan aku ingin bertanggung jawab sayangku." mata kami masih saling memandang. Anin menyatukan keningnya denganku. Aku memejamkan mata menikmati lembutnya bibir itu. Bibir yang membuat aku candu. Tidak ada nafsu di ciuman kami. Hanya menyalurkan perasaan tulus.

"Aku akan tunggu kamu di rumah dan ketemu mama papa." aku memeluk tubuhnya erat. Tidak ada lagi hal yang perlu aku takutkan. Semuanya sebelum terjadi aku telah melewatinya. Keluar dari zona nyaman dan memulai hal baru. 

Masalah itu memang tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Namun, semuanya akan terlewatkan jika kita bisa mengendalikannya. Keinginan, emosi, dan pengetahuan menjadi hal yang utama dalam hidup. Ketiganya harus kita kendalikan.

"Terima kasih Anin, terima kasih atas segalanya." dan terima kasih juga untuk kamu Shani. Sosok yang bahkan tidak aku kenal sama sekali. Perempuan di dunia yang berbeda terlihat nyata di depan mata. Pantai yang bahkan tidak pernah aku datangi mampu memberikan ketenangan dengan warna birunya.

 

01/-7/2019

-VEDA-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun