Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Leonel Messi Tak Layak Dibenci!

5 Desember 2021   13:36 Diperbarui: 5 Desember 2021   15:22 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Regulasi yang dibuat majalah ini telah membatasi beberapa pihak yang merasa diri pantas menjadi juri. Konsekuensinya, kadang-kadang, hasil voting Ballon d'Or diprotes oleh pihak-pihak ini. Saya kira, pembatasan yang dibuat Majalah Sepak Bola Prancis ini wajar-wajar saja. Track record dan prestasi yang telah dicapai Majalah Sepak Bola Prancis ini  membuatnya pantas mendapatkan privilese tersebut. Privilese tersebut diberikan karena prestasi dan kerja keras para jurnalisnya. Privilese tersebut tidak pernah diberikan secara cuma-cuma.


Kedua, soal tuduhan perjudian yang masuk ke wilayah sepak bola.  Beberapa orang menilai bahwa sepak bola kini telah dikontrol oleh kepentingan boss-boss besar di belakang layar. Jika tuduhan ini benar, maka sepak bola tidak lagi menarik. Sepak bola menjadi tontonan yang dipenuhi gimik. Beberapa pihak merasa bahwa ajang sekelas Ballon d'Or pun telah dikontrol oleh pertarungan judi antara boss-boss besar.

Pihak-pihak tersebut  menilai bahwa pilihan para juri telah dikendalikan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Hasil voting Ballon d'Or kemudian dianggap tidak fair. Tudingan seperti ini membuat beberapa pecinta sepak bola meragukan objektivitas hasil voting Ballon d'Or. Toni Kroos dan Iker Casillas bahkan secara jujur menyampaikan kesangsian atas hasil voting Ballon d'Or 2020/2021.

Ketiga, soal keterbatasan jumlah juri. Keterbatasan para juri juga sering kali dipermasalahkan oleh para pemirsa sepak bola. Sebagai penyelenggara Ballon d'Or Award, Majalah Sepak Bola Prancis membatasi jumlah pihak-pihak yang punya hak memilih. Itu berarti, majalah ini punya prinsip dan standar tersendiri atas siapa saja yang pantas menjadi juri Ballon d'Or.

Bagi saya, pembatasan yang dibuat oleh majalah ini wajar. Sebab, mereka memilih orang-orang yang punya prestasi, akses dan minat khusus pada dunia sepak bola, yakni: para pelatih timnas, kapten timnas dan para jurnalis sepak bola terpilih dari berbagai negara. Jadi, editorial Majalah Sepak Bola Prancis tidak mungkin memilih juri dari pemirsa yang hanya tahu sepak bola dari ruang tv.

Keempat, soal perbedaan referensi statistik. Perbedaan referensi statistik yang dibaca pemirsa sepak bola sering kali menjadi sumber pro dan kontra atas hasil akhir voting Ballon d'Or. Beda sumber baca, beda statistik. Beberapa sumber sekadar mencatat jumlah trofi individu dan jumlah trofi kolektif. Tetapi, mereka lupa menulis jumlah shoot on target, menit bermain, kesuksesan dribbling, kepemimpinan di lapangan, jumlah assist, jumlah penciptaan peluang, jumlah kesalahan passing, jumlah kesalahan kontrol bola dan seterusnya. Di samping itu, para juri juga mempertimbangkan attitude para pemain saat jumpa pers.


Saya kira, para jurnalis yang bertahun-tahun meliput dan menganalisa trend sepak bola, para  pelatih dan kapten timnas yang setiap saat bergelut dengan sepak bola paham betul kriteria-kriteria menjadi pesebak bola terbaik. Yang jelas, Majalah Sepak Bola Prancis dihormati, karena prestasinya di bidang publikasi sepak bola dikenal unggul. Itu berarti, kriteria pesepak bola terbaik a la Ballon d'Or nyaris tak terbantahkan.

Kelima, soal sentimentalitas para pemirsa sepak bola. Hasil voting Ballon d'Or kadang-kadang dipermasalahkan oleh para pemirsa yang tahu sepak bola dari kursi penonton, entah di stadion atau di ruang tv. Argumentasi yang keluar dari kepala orang-orang seperti ini cenderung sentimentil ketimbang rasional. Mereka protes karena sang idola kalah dalam perebutan Ballon d'Or. Argumentasi seperti ini nyaris tanpa didasari tradisi membaca yang baik. Mereka merasa lebih pantas menjadi juri ketimbang para pelatih timnas, para kapten timnas dan para jurnalis sepak bola.

Tendensi sentimentil seperti ini akan keluar dalam bentuk kalimat yang menghina dan membenci pemain sebagai pribadi. Misalnya, pecinta Ronaldo  akan membenci Messi saat Messi memenangi Ballon d'Or. Sebaliknya, pecinta Messi akan menghina Ronaldo saat Messi kalah dalam perebutan penghargaan prestisius tersebut. Bagi saya, fokus protes atas hasil akhir voting itu pada mekanisme penilaiannya, bukan  pemainnya.

Hegemoni Ballon d'Or Award

Tudingan negatif atas hasil voting Ballon d'Or lantas tidak membuat ajang ini "turun tahta". Di samping segelintir orang yang meragukan mekanisme penilaian Ballon d'Or, masih banyak orang yang mempercayai Ballon d'Or Award. Bagaimanapun juga, Ballon d'Or tetap menjadi pencapaian yang diperebutkan oleh para pesepak bola terkenal.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun