Dua Filosof di atas kiranya dapat membantu kita untuk menemukan sifat universalitas persaudaraan dalam tradisi kumpul kope hae reba. Bahwa persaudaraan sebetulnya melampaui persoalan adil-tidak adil, bahagia-tidak bahagia, keluarga-bukan keluarga. Sebab, sejatinya persaudaraan adalah keadilan, kebahagiaan dan kekeluargaan itu sendiri. Keadilan, kebahagiaan dan kekeluargaan berada dalam persaudaraan. Yang namanya persahabatan tidak pernah mengusung ketidakadilan, kebencian dan keinginan mencabut kebahagiaan orang lain.
Perempuan dalam Tradisi Kumpul Kope Hae Reba
Tradisi kumpul kope hae reba boleh dikata sebagai tradisinya lelaki. Pengertian ini memaksudkan bahwa pelaku utama dalam peristiwa kumpul kope ialah kaum lelaki. Kaum perempuan berperan dalam menyediakan konsumsi. Namun, bukan berarti bahwa lelaki Manggarai tidak menaruh respek terhadap kaum perempuan. Konteks tradisi kumpul kope sudah dikatakan sejak awal, yaitu persiapan pernikahan. Dengan kata lain, kumpul kope tidak lain adalah bentuk dukungan atas cinta yang tumbuh dalam dua pribadi, yaitu lelaki dan perempuan. Tradisi kumpul kope - bila dilihat dari maksudnya - tidak terlepas dari perempuan. Para lelaki yang hadir saat peristiwa kumpul kope mendukung sang lelaki untuk merealisasi perasaannya dalam bentuk sumbangsi material dan yang terutama dukungan moral.
Jika halnya demikian, maka seorang perempuan dalam tradisi kumpul kope benar-benar dihargai. Dana yang terkumpul dalam peristiwa kumpul kope dipersiapakan untuk membayar belis. Kehadiran para lelaki dalam kumpul kope menguatkan sang mempelai laki-laki untuk meminang gadis yang dicintainya. Kiranya dukungan itu membuat bahtera rumah tangga mereka bertahan hingga akhir hayat. Dan tentu saja, ada harapan bahwa dengan dukungan itu, kedua mempelai ini saling mencintai hingga ajal menjemput.
Bila dicermati dengan jelas, sebetulnya, kumpul kope membuat eksistensi wanita manggarai di hadapan lelaki begitu berharga. Betapa tidak, untuk meminang sang perempuan, kaum lelaki perlu mengumpulkan “kekuatan” agar proses peminangan dapat berjalan dengan lancer. Hal semacam tidak pernah dilakukan oleh kaum perempuan Manggarai terhadap calon suaminya.
Menggali Semangat Kerja Sama dalam Tradisi Kumpul Kope Hae Reba
Seperti telah dikatakan di awal tadi, bahwa keharmonisan di negeri ini kian dinodai oleh gerakan fundamentalisme agama. Kerja sama sebagai nilai yang amat luhur dilukai oleh kelompok ini. Rupanya, Indonesia memiliki kearifan lokal yang sebetulnya menyibak kekayaan nilai. Tradisi kumpul kope telah mempertegas hal itu. Bahwa kerja sama yang merupakan aktivitas luhur yang khas manusiawi dengan mudah terjadi dalam tradisi ini. Bahkan, kerja sama yang ditampilkan oleh tradisi kumpul kope Manggarai adalah kerja sama untuk mendukung sesama saudara yang akan mengarungi kehidupan berkeluarga. Keluarga menjadi tempat pertama di mana kita kembali dari keterpurukan, kegagalan dan kekecewaan. Kerja sama dalam hal ini sesuatu yang amat berharga.
Bila selama ini kita mendengar konspirasi politik, di mana beberapa elite politik bekerja sama untuk melengserkan lawan politiknya, berbeda dengan tradisi kumpul kope, mereka bekerja sama untuk mendukung cinta yang tumbuh dalam hati sepasang manusia yang ingin membentuk keluarga. Pernikahan tidak lain adalah ungkapan penuh atas pengalaman cinta sepasang kekasih. Dalam tradisi kumpul kope, para lelaki ‘berkonspirasi’ demi kebaikan melulu. Mereka tidak bekerja sama demi nama diri, privilese tertentu, melainkan karena rasa persaudaraan yang teramat kental di lubuk hati terdalam mereka. Mereka sadar betul bahwa membangun keluarga bukan hal muda, maka kehadiran mereka adalah kehadiran yang menguatkan, bukan sebaliknya.
Oleh: Venan Jalang