Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyibak Nilai Persaudaraan dalam Tradisi "Kumpul Kope Hae Reba" Manggarai

4 Maret 2021   17:41 Diperbarui: 5 Maret 2021   21:08 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di balik yang kasat mata itu, para pemuda Manggarai menyatukan doa dan dukungan mereka agar sang mempelai laki-laki memiliki keyakinan bahwa ia dapat menjalankan kehidupan barunya dengan baik. Dana hasil kumpul kope bisa digunakan untuk biaya resepsi pernikahan. Bila ada sisanya, dana itu digunakan untuk membeli perlengkapan rumah tangga kedua mempelai.


Motivasi keterlibatan dalam acara kumpul kope ialah persaudaraan. Orang Manggarai sering kali mengatakan, “toe ata bana”. Secara harafiah ungkapan ini berarti “Bukan orang lain”. Pernyataan “Bukan orang lain”hendak  mengatakan bahwa keterlibatan dalam tradisi kumpul kope pertama-tama karena yang akan menikah ini “bukan orang lain”, melainkan saudara mereka sendiri. Jumlah dana yang ‘disumbang’ tergantung dari kesanggupan setiap hae reba (pemuda). Yang terpenting di sini ialah keterlibatan dalam mendukung saudara yang akan menikah.


Kumpul kope secara definitif terjadi setelah ada pertemuan bantang kope (penentuan jumlah sumbangan). Sebetulnya bantang kope ini tidak punya kaitan langsung dengan kumpul kope hae reba. Sebab, dana kumpul kope hae reba sama sekali tidak menuntut jumlah. Yang dimaksud dengan dengan bantang kope sebenarnya ialah penentuan jumlah sida. Sida itu sendiri dalam budaya Manggarai ialah semacam ‘proposal’ dana  nikah kepada keluarga besar untuk biaya peminangan dan pernikahan. Di sana  disampaikan jumlah  sumbangan dari setiap keluarga. Misalnya, dalan bantang kope keluarga menentukan jumlah uang yang harus disumbang oleh anak rona (keluarga dari pihak ibu sang lelaki) dalam rangka mensukseskan peminangan dan pernikahan. Sekali lagi, perlu diketahui bahwa yang terlibat dalam sida hanyalah keluarga kandung. Itu sebabnya, jumlah dana yang diberikan perlu ditentukan. Jumlah itu menjadi keharusan bagi kelurga kandung untuk diberikan saat pertemuan selanjutnya.


Yang membedakan kumpul kope hae reba dan sida dengan demikian adalah motivasinya. Kumpul kope hae reba dimotivasi oleh rasa persaudaraan (persahabatan), sedangkan sida lebih karena ada perasaan ‘satu darah’. Kumpul kope hae reba tidak terbatas pada keluarga, sedangkan sida hanya terbatas pada keluarga. Justru point inilah yang ingin  dibahas oleh penulis. 

Rasa persaudaraan dalam kumpul kope yang tanpa dilihat berdasarkan rasa kekeluargaan genealogis atau satu suku semata. Lebih dari itu, rasa persaudaraan yang dibangun dalam kumpul kope hae reba ialah berdasarkan kekeluargaan yang lebih universal.


Tradisi Kumpul Kope: Aktivitas Sekaligus Produk Kebudayaan


Salah satu produk kebudayaan adalah kesenian. Setiap kebudayaan menghadirkan bermacam-macam bentuk kesenian yang kemudian diyakini sebagai itu yang seni. Salah satu produk kesenian kebudayaan Manggarai ialah parang. Dalam bahasa Manggarai, parang disebut kope. Parang dalam kebudayaan Manggarai tentu saja dimaknai secara berbeda dari kebudayaan lain di Nusantara. Dalam kebudayaan Manggarai,parang memiliki makna yang melampaui fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Kope pasti dimiliki dan digunakan oleh setiap lelaki dewasa Manggarai.
Parang biasanya digunakan untuk memenggal kayu (paki haju), berkebun (babar uma), memotong daging ternak, dan membuat balok rumah (coco balok). Dalam pemahaman orang manggarai tradisional, terkesan tidak jantan bila seorang lelaki dewasa tidak memiliki kope(parang). Lebih dari fungsinya yang tidak lain untuk memotong atau memenggal, ternyata, dalam budaya manggarai parang melambangkan keperkasaan seorang lelaki. Berdasarkan pemaknaan ini, orang Manggarai sering kali mengidentifikasi segala pekerjaan yang menggunakan parang dengan  maskulinitas. Misalnya, pekerjaan untuk memahat balok (coco balok) tidak pernah dikerjakan oleh seorang perempuan. Coco balok (memahat balok) selalu menggunakan kope (parang). Dengan demikian, pekerjaan ini adalah milik kaum lelaki.


Tradisi kumpul kope hae reba dikatakan sebagai produk sekaligus aktivitas kebudayaan, lantaran peristiwa ini tampak secara kasat mata dan dilakukan. Ia tidak tampak ketika tidak dilakukan. Maksudnya, tradisi kumpul kope adalah sebuah aktivitas ketika ada pelaku aktivitas. Dalam tradisi kumpul kope, aktivitas itu berupa pengumpulan dana. Dikatakan sebagai produk, karena aktivitas ini adalah bentuk tanggapan manusia Manggarai terhadap peristiwa pernikahan. Bahwa dalam budaya Manggarai pihak lelaki selalu membutuhkan biaya untuk meminang perempuan. Maka berhadapan dengan kenyataan ini, lelaki Manggarai memiliki kesadaran tentang cara mendukung saudara yang akan menikah, agar pernikahannya dapat berjalan dengan lancar. Di samping itu, aktivitas kumpul kope juga merupakan hasil pemaknaan orang Manggarai terhadap sebuah persaudaraan. Bahwa dengan melakukan aktivitas kumpul kope, mereka sedang mendukung saudara mereka.


Kumpul kope adalah aktivitas yang terus-menerus dilakukan oleh orang Manggarai.”Keterus-menerusan” aktivitas ini bukan berarti setiap saat dilakukan, tetapi, selama orang Manggarai memiliki kemauan untuk menikah, kumpul kope pun merupakan aktivitas yang dimungkinkan dilakukan. Dengan demikian, kumpul kope adalah produk ketika aktivitas ini menjadi sebuah peristiwa. Dalam peristiwa itu ada aktivitas (pengumpulan dana).


Mengapa harus Kope (Parang)?

Tentu saja pertanyaan di atas perlu disampaikan untuk menemukan keterkaitan antara parang (kope) dengan persudaran.Yang pertama-tama perlu diketahui ialah bahwa orang Manggarai menganut sistem patrilineal, di mana kaum lelaki memiliki peran yang lebih dominan ketimbang perempuan. Ini tidak berarti lelaki Manggarai tidak menghargai kaum perempuan Manggarai. Penghargaan terhadap kaum perempuan tampak melalui belis dan terminologi anak wina. Peran kaum lelaki lebih dominan hanya mau mengatakan bahwa kaum lelakilah yang menjadi penanggung jawab utama, pelindung dan tulang punggung keluarga Manggarai. Tugas kaum lelaki ialah mencari nafkah untuk keluarga. Tugas ini pertama-tama didasari bahwa kekuatan fisik kaum perempuan tidak memadai untuk tugas tersebut. Atau dengan kata lain, kekuatan fisik perempuan tidak lebih kuat dari kaum perempuan. Motifnya justru melindungi dan menghargai kaum perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun