Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyibak Nilai Persaudaraan dalam Tradisi "Kumpul Kope Hae Reba" Manggarai

4 Maret 2021   17:41 Diperbarui: 5 Maret 2021   21:08 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kebudayaan Manggarai, parang tidak sekadar berfungsi sebagai pemotong kayu atau pemotong daging. Lebih dari itu, parang memiliki makna simbolis yang melampaui itu, yakni kejantanan pria dewasa Manggarai. Dikatakan demikian, lantaran menurut orang Manggarai, parang memiliki bentuk dan fungsi yang sepadan dengan karakter kaum lelaki. Ia menghancurkan sekaligus melindungi. Menghancurkan, karena ia digunakan untuk membela kayu. Melindungi, karena ia dapat digunakan untuk melindungi diri dari serangan hewan liar. Orang Manggarai memiliki dua jenis parang, yakni kope selek dan kope duat. Melalui ata pecing (dukun), kita dapat mengetahui apakah kope yang kita miliki membawa rejeki atau sial. Cara mengukur apakah kope membawa rejeki atau sebaliknya ialah melalui tradisi kekar, yakni mengukur parang dengan jari tangan atau jari kaki.

Kope selek digunakan untuk berperang dan melamar perempuan, sedangkan Kope duat digunakan untuk berkebun. Menarik bahwa kope selek digunakan dalam dua momen yang sama sekali berbeda, yakni saat berperang dan saat melamar perempuan. Sekali lagi, hal ini berangkat dari pemaknaan orang Manggarai atas sebuah parang dan kaum lelaki. Lalu, mengapa kope selek juga digunakan saat meminang perempuan? Kope diletakkan di pinggang lelaki saat peminangan hendak mengatakan bahwa sang lelaki pelamar adalah pribadi yang sudah siap lahir dan batin, bertanggung jawab, berwibawa, jantan, berani, dan tangguh serta pantang menyerah. 

Kope yang dipakainya mewakili keyakinannya untuk menjadikan gadis yang dipinang untuk menjadi istrinya. Hal ini kemudian membuat kita paham, mengapa kope (parang) diletakkan pada pinggang lelaki saat acara peminangan. Lelaki yang mengenakan kope (parang) pada pinggang saat peminangan hendak mengatakan bahwa lelaki itu adalah seseorang yang berani dan bertanggung jawab atas hidup sang gadis yang dipinang. Ia mau berjuang demi sang calon istrinya. Setidaknya penjelasan ini membuat kita mengerti mengapa kope selek dipakai secara simbolis dalam peminangan.

Bila parang menggambarkan karakter seorang lelaki, maka tradisi kumpul kope tidak lain adalah peristiwa di mana kaum lelaki berkumpul bersama untuk menyatukan kekuatan mereka dalam rangka mendukung saudara mereka yang akan menikah. Mereka berkumpul dalam semangat persaudaraan yang tinggi. Mereka datang tanpa membawa kekuatan tandingan, melainkan membawa kekuatan moral bagi saudara mereka. Bila dalam perang kekuatan kaum lelaki dikumpulkan untuk melawan musuh, lain halnya dalam momen kumpul kope, kekuatan kaum lelaki digunakan untuk melawan kecemasan saudara yang akan segera meminang gadis pujaannya.

Hal ini dapat dilihat dari sebutan ata one dan ata pe'ang. Ata one berarti lelaki. Disebut ata one karena ia tidak akan keluar dari kampung halamannya, meskipun sudah menikah. Disebut ata pe'ang, lantaran kaum perempuan Manggarai pasti tinggal di kampung di mana suaminya berasal. Atas dasar itu, pelaku perang tanding ialah para lelaki. Kaum perempuan dan anak-anak tidak dilibatkan dalam perang tanding. Bahkan dalam berperang, lawan tidak boleh melukai kaum perempuan dan anak-anak dari kubu musuh.

Ada banyak ungkapan dalam bahasa manggarai yang bersentuhan langsung dengan kope (parang). Di antaranya ialah, dali dia’a-dia’a kope (Asahilah parang baik-baik). Ini adalah sebuah pernyataan imperatif moral terhadap kaum lelaki Manggarai. Bagi orang Manggarai, yang bertugas untuk mencari kayu bakar ialah kaum lelaki. Mengasah parang dengan sendirinya adalah tugas lelaki. Dapat dibayangkan betapa mirisnya seorang lelaki Manggarai yang sampai di tengah hutan baru ia menyadari bahwa parangnya belum diasah. Ia takkan bisa menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar. Dan yang pasti, ia tidak akan membawa kayu bakar ke rumahnya.

Seruan dalih di'a-di'a kope sebetulnya hendak menekankan persiapan, konsentrasi, totalitas dan kesetiaan dalam menjalan suatu tugas dan keputusan. Dalam tradisi kumpul kope imperatif moral ini hendak menegaskan bahwa, kaum lelaki yang hendak melamar seorang gadis diharapkan sudah siap secara mental dan material atas keputusannya. Bila ia belum bisa bertanggung jawab, setia, konsentrasi dan bekerja keras, maka sesungguhnya ia belum dalih di'a-di'a kope-nya. Dalam hal inilah seruan ini dimaksudkan.

Relasi Intersubyektivitas dalam Tradisi Kumpul Kope

Yang dimaksud dengan relasi intersubyektivitas ialah bahwa relasi antara pribadi dialami sebagai relasi antara subjek dengan subjek, bukan subjek-objek. Relasi subjek-objek terjadi ketika seseorang menjadikan yang lain sebagai ‘itu’ yang dapat memuaskanku. Atau dengan kata lain, yang lain didekati hanya demi kepentinganku. Ketika saya mendekati seorang dengan maksud mendapatkan kepuasan darinya, di saat itulah saya sedang menjadikan yang lain sebagai objek. Sebaliknya, relasi subjek-subjek terjadi tatkala saya mendekati orang lain tanpa bermaksud untuk memperoleh kepuasan dari darinya. Lebih dari itu, saya mendekati yang lain karena yang lain menghadirkan diri sebagai pribadi yang setara dengan aku.Yang lain adalah saudaraku.

Gabriel marcel pernah berujar bahwa pengalaman fundamental manusia ialah intersubyektivitas, maka sikap yang dituntut dari setiap pribadi ialah partisipatif. Yang dimaksudkan marcel perihal sikap partisipatif ialah kehadiran. Bahwa partisipasi bukan pertama-tama merujuk pada kedekatan fisik, lebih dari itu, partisipasi mau mengatakan kehadiran subjek yang utuh. “Berada dekat” dengan “hadir” tentu saja dua hal yang berbeda. Dengan hadir di hadapan yang lain,seseorang  akan berkembang dan merasa penuh, demikian pun pribadi yang hadir di hadapan saya,dia akan mengalami hal yang sama.

Afirmasi Marcel dapat ditautkan dengan Tradisi kumpul kope hae reba Manggarai. Tradisi kumpul kope sebenarnya bentuk paling konkret terkait gagasan kehadiran. Bahwa pengumpulan dana dalam tradisi kumpul kope hae reba Manggarai tidak pertama-tama soal jumlah dana yang dikeluarkan dariku. Bukan juga soal apakah kehadiranku di sana memberikan aku kepuasan. Lebih dari itu, yang ditekankan dalam tradisi kumpul kope ialah sejauh mana kehadiranku sungguh-sungguh mendukung saudaraku yang akan membina kehidupan baru bersama pasangannya. Itu sebabnya mengapa jumlah dana yang diberikan dalam kumpul kope tidak dituntut (berbeda dengan sida).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun