Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyoal Term "Pelacur"

14 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 12 November 2021   12:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jumlah selir sering kali dikaitkan dengan wibawa dan harga diri sang raja. Semakin banyak selirnya, semakin ia dianggap sebagai seorang raja yang hebat dan kuat. Bahkan, selir yang banyak dianggap sebagai sebagai kejayaan spiritual. Rupanya kepentingan politis juga mewarnai kecenderungan kebanyakan raja memperbanyak selir.

Dalam kerajaan Mataram misalnya, para gadis dianggap sebagai upeti kepada sang raja. Di kerajaan Bali, seorang janda yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Namun bila ia tidak diterima sang raja, sang janda akan dikirim keluar kota untuk menjadi seorang pelacur. Dan hasil kerjanya itu harus diserahkan secara teratur kepada pihak kerajaan.

Pelacuran di Indonesia berkembang secara terorganisisr sejak zaman kolonial. Di zaman kolonial, terdapat banyak perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seksual para serdadu dan pedagang yang datang dari luar negeri. Pada 1852, pekerja seksual disebut "perempuan publik". Para "perempuan publik" di kala itu perlu mengontrol kondisi kesehatannya secara rutin. Jika sang perempuan terdiagnosa penyakit kelamin, maka perempuan tersebut akan dibawa ke sebuah lembaga yang bernama "Inrigiting voor Zieke Publike Vrouwen". Lembaga ini secara khusus menangani "perempuan publik" yang terdiagnosa penyakit kelamin. 

Aktivitas pelacuran di Indonesia meningkat secara drastis sejak abad ke-19. Hal ini dipengaruhi oleh pembenahan hukum agraria pada 1870, di mana negara jajahan memberi ruang terhadap penanaman modal swasta. Perluasan area perkebunan di Jawa Barat, perkembangan industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembangunan perkebunan di Sumatera, dan pembangunan jalan raya dan rel kerata api menimbulkan migrasi pekerja lelaki secara besar-besaran.

Situasi ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mendirikan tempat prostitusi di sekitar stasiun kereta api yang kemudian dapat memuaskan kebutuhan seksual para pekerja. Dapat dipahami kemudian mengapa kebanyakan tempat prostitusi di Indonesia umumnya terletak sekitar stasiun kereta api. 

Reduksi Serampangan: Konsekuensi Budaya Patriarkal 

Reduksi term "pelacur" pada kaum perempuan telah menimbulkan sikap diskriminatif atas kaum perempaun khususnya di Indonesia. Harus diakui bahwa reduksi ini berangkat dari tradisi patriarkal yang sejak zaman dahulu sudah melekat erat dalam benak orang-orang Indonesia, bahkan dalam benak kaum perempuan Indonesia itu sendiri.

Secara umum, budaya-budaya di tanah air sangat menekankan dominasi lelaki atas kaum perempuan. Dalam bukunya yang berjudul "Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik", Thamrin Amal Tomagolo menandaskan bahwa sitilah jawa "konco wingking" misalnya, termuat pesan: sang suami adalah pimpinan sedangkan istri sebatas pelengkap. Keberadaan istri berada di bawah kekuasaan sang suami. 

Tradisi mengenakan jilbab bagi perempuan muslim juga mengungkapkan kecenderungan patriarkal yang amat jelas. Dikatakan bahwa jilbab dikenakan untuk menutup aurat agar tidak menggoda kaum lelaki. Seolah-olah perempuanlah sumber kesalahan ketika lelaki tergoda. Bahkan ada agama tertentu yang merestui suami beristri lebih dari satu.

Dalam iklim berfilsafat pun, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai "yang tidak sama" dengan pria, atau dalam terminologi filosofis, perempuan adalah "yang lain" (the other), sementara pria adalah "diri" (the self)(Donatus Sermada Kelen, "Perempuan dan Filsafat, dalam Geliat Membela Martabat Perempaun", eds. Merry Teresa dan Agung Wahyudianto, Malang: STFT Widya Sasana,2006). Kisah penciptaan yang dilukiskan oleh perjanjian Lama, juga menampilkan kehadiran perempuan 'setelah' lelaki; Perempuan adalah tulang rusuk yang diambil dari lelaki.

Film Indonesia juga rupanya menggambarkan perempuan dengan identitas yang terkesan vulgar. Perempuan sering kali digambarkan sebagai daya tarik, kekuatan, dan gairah seks (Widjajanti M. Santoso,  "Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media", Yogyakarta:LKIS, 2011).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun