Saat ia berdiri, debu tanah masih menempel di lututnya. Dan di ujung taman, seorang anak perempuan mematung. Kurus, diam,wajahnya tak kalah berwarna dari punyanya.
Zien berjalan mendekat.
"Kau aneh," serunya dengan suara ringan yang dibuat-buat. “Tapi tidak apa-apa. Aku juga.”
Anak perempuan itu menatapnya ragu.
"Mari kubawa kau ke tempat yang lebih nyaman," lanjut Zien.
Ia tidak menunggu persetujuan. Ia menarik tangan anak itu, dan untuk sesaat, dunia seolah menyusut menjadi hanya dua pasang kaki yang melangkah di antara bayangan semak dan pohon tua. Nafas mereka membaur, langkah mereka berirama.
Mereka duduk di balik semak lebat. Sunyi. Cahaya matahari menembus celah-celah daun, merusak penglihatan. “Kau sangat menjijikkan,” ucap Zien. Anak perempuan itu menunduk. Jemari kurusnya mencengkeram lebih erat gaun tidurnya yang lusuh.
“Di luar sana tidak akan ada yang ingin berteman denganmu. Tapi aku berbeda,” lanjut Zien, mempertahankan nada tenangnya, “Aku tidak seperti orang-orang kebanyakan. Mereka akan menghindarimu. Menertawakan bau tubuhmu. Dan mencaci rupamu.”
Ia menggeser, duduknya mendekat. Menyisakan sedikit udara untuk mereka berdua.
“Tapi aku tidak. Aku bahkan sudi untuk menghiburmu. Kau tahu kenapa?” Ia mencondongkan tubuh, mendekatkan wajahnya. “Karena aku sudah cukup belajar dari orang-orang dewasa di sekelilingku. Kau harus bersyukur karena kita bertemu. Tidak banyak yang bisa membuatmu merasa diinginkan. Tapi aku bisa. Aku bisa jadi satu-satunya tempatmu pulang.”
Zien menyentuh lengan gadis itu. Sentuhannya lembut.