Mohon tunggu...
varaziza
varaziza Mohon Tunggu... mahasiswa

hanya bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi

22 Juli 2025   22:35 Diperbarui: 25 Juli 2025   18:29 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pinterest)

Ibu hanya melirik.  “Tidur sana.”

Datar. Lebih menakutkan.

Biasanya Ibu akan mengubah rumah menjadi medan perang, namun malam ini berbeda. Dan itu membuat Zien semakin cemas. Ketakutan datang dalam bentuk ketidakpastian.

Zien menurut, masuk kamar. Tidak mengganti baju. Tidak menyikat gigi. Ia hanya memeluk lututnya di atas kasur. Pandangannya membulat, menggelembung seperti dilihat dari balik mata ikan. Dinding kamar melarut. Cahaya lampu melenting, memanjang seperti gula panas yang ditarik. Ruangan itu berdenyut, gaungnya menjalar di langit-langit. Ia mendengar denting waktu dari dalam dadanya, bukan dari jam dinding. Dan semuanya terasa waswas untuk sekadar bergeming.

Pagi datang seperti luka terbuka. Cahaya masuk lewat tirai yang penuh cabik. Zien membuka pintu kamar. Hidungnya langsung disergap bau tajam. Ia berjalan perlahan ke halaman belakang. Langkahnya berat. Udara seakan tercemar. Dan di sana, tubuh kucing kesayangannya tergeletak. Pika. Atau yang tersisa darinya.

Tubuh kucing itu bukan lagi tubuh. Dagingnya tercerai. Kepalanya terlempar ke sisi ember. Ususnya keluar dan mengering. Darahnya menggenang, bercampur alkohol dan tanah. Bulu-bulunya menempel di dinding dan lantai.

Zien membeku. Matanya membelalak. Ia mencoba membuka mulut tapi tidak ada suara. Perutnya terasa seperti dicekik dari dalam. Kakinya lunglai. Dunia berputar. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ada sesuatu yang mendesis dalam telinganya.

Ia mundur, langkahnya terseret, tertuju ke ruang tengah. Dan di sana, Ibunya telentang. Muntah mengering di sisi pipinya. Botol kosong bergeletak di lantai, pecahannya tersebar. Bibirnya membiru. Zien hanya berdiri. Tidak bertanya. Ia sudah tahu. Ibunya pun tahu dia tahu. Kedua tubuh beradu dingin. Unjuk jari mana yang paling apatis. Zien hanya menatap, dan dunia dengan kejam kembali mencekat.

“Zien,” suara itu terdengar pelan, hampir seperti bisikan, “mengapa belakangan ini wangimu seperti parfum perempuan?”

Zien menatap ubin yang kusam, Semua tahu. Jawaban apapun tidak ada mutu. Ibunya hanya butuh seseorang untuk disalahkan. “Mungkin… kemarin aku menggunakan sabun mandi milik Ibu.”

Ibunya tak langsung menimpali. Ia duduk lurus. Matanya bergerak memindai wajah anaknya, mengintainya bagai seekor lalat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun