Ada pelangi dalam mulutnya. Terjun bebas seperti air muntah. Muntahannya merambat, menyelusup dalam rongga dada, menjelma jingga. Dibelainya ruang navigasi bocah laki-laki berusia 12 tahun itu, mengecup pelan menara pengawasnya, dan mengendap selamanya dalam lambung kapal. Kapal mulai menari. Setiap detik terasa seperti tawar-menawar yang tidak selesai. Antara terus bergerak atau berhenti dan tenggelam. Tapi pelangi itu terus menetes. Menyerupai hujan asam yang tidak bisa ditampik. Menyelinap lewat pori-pori kulit besi. Menumbuhkan karat dalam sunyi. Tali-tali pengikat longgar. Jangkar tak menyentuh dasar. Kapal manusia itu kini seperti perahu plastik yang hanyut di selokan kota. Dan pelangi itu masih terus memuncrat. Manusia itu masih terus bicara. Dengan lidah lihainya. Dengan gigi-gigi yang tidak pernah menggigit. Dengan suara yang tampak seperti pelukan tapi menghisap habis suhu tubuh perlahan.
“Kau mendengarkan tidak?”
Zien tersentak dari lamunannya. Garis keriput di wajah ayahnya tampak menjijikkan, terutama saat dipaksakan tersenyum. Ia mengangguk pelan, berharap suara itu segera berakhir.
“Jadi kalau nanti Ibu bertanya siapa yang bermalam kemarin, kau sudah tahu harus bilang apa, kan?”
“Tentu.” Zien tersenyum, lembut seperti yang diajarkan. “Teman Ayah, bukan?”
Ayahnya tertawa ringan, lalu menyalakan kembali rokok yang belum habis. Ia berdiri, menyeka abu dari jarinya ke celana, lalu menepuk kepala Zien seolah berhasil melatih seekor anjing.
“Anak pintar.”
Malamnya, rumah terasa menyempit. Waktu meliuk. Jam-jam piciknya menjulur bengis—menyesak raga bocah yang tengah mencakar sandaran kursi dengan kuku yang nyaris habis. Kulit sintetis itu terkoyak dengan suara berderit basah. Ia terus mencakar. Tidak berhenti. Ujung jarinya melepuh, merah, berlendir. Darah menetes, menempel di busa yang kotor. Suara decakan lidahnya makin kencang. Air liur menggenang di lidahnya, lengket dan berbuih.
Ia menunggu. Ibu belum pulang. Dan cemasnya telah menjelma cangkang. Suara langkah dari balik pintu menyeretnya dalam spektrum warna. Memabukkan dalam bayang ungu memar. Ibu pulang dengan tubuh gemetar, napas berat, dan mata bengkak. Kulitnya pucat. Bibirnya kering. Rambutnya kusut. Tubuhnya dingin. Ia masuk seperti bangkai terbungkus bau basi.
Zien berdiri menyambut sembari memaksakan senyum.
“Selamat datang, Bu.”