Mohon tunggu...
Valentine Lindarto
Valentine Lindarto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Dian Harapan LV

🥑

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kontaminasi Logam Berat Akibat Penimbunan Limbah B3 di Desa Mojojajar dan Lakardowo, Kabupaten Mojokerto

10 Mei 2021   10:25 Diperbarui: 12 Mei 2021   13:26 4617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengurukan di  Kali Marmoyo, Desa Lakardowo yang diduga menggunakan asal material limbah B3 PT GEI.  Kredit foto: A. Asnawi

Sebagai sarana irigasi pertanian, para petani menggunakan air tanah dari sumur gali yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan air permukaan Kali Brantas, Kali Brangkal, dan Kali Sadar yang cenderung pendek, hanya 2-3 km panjangnya dan alirannya cenderung terlalu lambat atau bahkan terhenti selama musim kemarau (5). Kemudian, warga sekitar juga menggunakan air tanah sebagai sumber air untuk kebutuhan rumah tangga seperti mandi, mencuci, memasak, dan meminum. Akan tetapi, dengan terjadinya kerusakan tanah akibat pencemaran logam berat oleh kegiatan pembuangan dan penimbunan limbah B3 di wilayah pedesaan Mojokerto, produktivitas tanah sebagai lahan pertanian semakin berkurang dan pemanfaatan air tanah sebagai sarana irigasi dan sumber air bagi kebutuhan rumah tangga pun harus dihentikan agar tidak mengancam kesehatan warga. Akibatnya, warga desa tidak mempunyai sumber air yang bersih dan layak untuk dikonsumsi ataupun sumber tumbuhan pangan hasil pertanian desa yang aman untuk dimakan. Oleh karena itu, para petani desa pun kehilangan sumber mata pencaharian dan pendapatan mereka.

Pada tanggal 1 Mei 1998, The World Resources Institute (WRI), United Nations Environment Programme (UNEP), dan United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan terkait erat dengan kesehatan manusia. Kontaminasi logam berat seperti boron (B), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), raksa (Hg), besi (Fe), magnesium (Mg), nikel (Ni), timbal (Pb), dan seng (Zn) menghasilkan efek yang berbahaya bagi mikroorganisme tanah sebab beragam jenis logam berat tersebut tidak dapat melalui proses degradasi seperti polutan organik yang teroksidasi menjadi karbon (IV) oksida oleh aktivitas mikroorganisme tanah pada umumnya. Oleh karena sifat logam berat yang tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan, maka konsentrasi logam berat yang terakumulasi di dalam tanah mampu bertahan untuk waktu yang lama dan kadarnya akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu sehingga struktur fisik, tingkat salinitas (kadar air), dan tingkat pH pada tanah pun mengalami perubahan yang merugikan mikroorganisme yang hidup di dalam tanah tersebut (6).

Akumulasi logam berat As, Cd, Cr, Cu, Hg, Pb, dan Zn di antara partikel-partikel tanah. Kredit foto: The Royal Society of Chemistry
Akumulasi logam berat As, Cd, Cr, Cu, Hg, Pb, dan Zn di antara partikel-partikel tanah. Kredit foto: The Royal Society of Chemistry

Akumulasi konsentrasi logam berat di dalam tanah dapat menurunkan tingkat produktivitas tanah hingga 50 - 60% (menurunkan jumlah dan keanekaragaman mikroorganisme tanah, mengubah struktur komunitas mikroorganisme tanah, dan menghambat aktivitas mikroba rhizosfer) sehingga zat logam berat mudah terjerap pada sistem akar dan jaringan tumbuhan kemudian proses penyerapan nutrien dari dalam tanah pun terganggu (7; 8; 9). Bila tanaman yang mengikat logam tersebut merupakan tumbuhan pangan, maka tumbuhan tersebut dapat mengalami perubahan struktur dan susunan genetika yang kemudian mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup berdasarkan tingkat keberhasilan reproduksi (10). Kemudian, kontaminasi logam berat juga mempengaruhi morfologi dan fisiologi (proses pertumbuhan dan proses metabolisme) tumbuhan melalui gangguan fungsi, denaturasi protein, dan kerusakan integritas membran sel (11). Hal tersebut dibuktikan di dalam penelitian Knight dan Liao yang menunjukkan bahwa tumbuhan yang ditanamkan pada tanah yang terkontaminasi logam berat Cd mengalami proses perkembangan warna pada batang dan daun yang cenderung lebih lambat dibandingkan tumbuhan lainnya yang ditanamkan di atas tanah yang tidak terkontaminasi oleh zat kimia apapun (12; 13). Hambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan intensitas produksi ROS (Reactive Oxygen Species) ketika sistem akar tumbuhan terpapar pada konsentrasi logam berat bersifat fitotoksik yang terkandung di dalam tanah tercemar (14). Tanpa respon metabolik seluler untuk mendetoksifikasi ROS dengan segera, kelebihan produksi ROS di dalam sel tumbuhan dapat mengganggu dan mengubah fungsi sel-sel pada jaringan tumbuhan yang kemudian menghambat proses pertumbuhan serta mempengaruhi morfologi dan fisiologi tumbuhan tersebut (15). Selain mempengaruhi kesehatan tumbuhan, toksisitas dari logam berat yang terjerap pada sistem jaringan dan perakaran tumbuhan pangan juga dapat mengakibatkan bioakumulasi logam berat melalui rantai makanan tanah-tumbuhan-manusia atau tanah-tumbuhan-hewan-manusia yang kemudian menghasilkan dampak karsinogenik, mutagenik, atau reprotoksik yang sangat berbahaya terhadap hewan dan yang terutama manusia sebagai konsumen kadar akumulasi polutan logam berat tertinggi di dalam rantai makanan tersebut (16).

Dampak kontaminasi logam berat Cd, Cr, Cu, Pb, dan Zn terhadap beragam jenis tumbuhan pangan. Kredit foto: Chibuike G.
Dampak kontaminasi logam berat Cd, Cr, Cu, Pb, dan Zn terhadap beragam jenis tumbuhan pangan. Kredit foto: Chibuike G.
Gambaran proses dan akibat tumbuhan terkspos logam berat Cd. Kredit foto: DOI 10.1016/j.ecoenv.2020.111887
Gambaran proses dan akibat tumbuhan terkspos logam berat Cd. Kredit foto: DOI 10.1016/j.ecoenv.2020.111887
Perkembangan warna yang terhambat pada daun Cucumis sativus yang terkspos logam berat Cd (500 μM) selama 20 harı. Kredit foto: DOI 10.13080/z-a.2015.1
Perkembangan warna yang terhambat pada daun Cucumis sativus yang terkspos logam berat Cd (500 μM) selama 20 harı. Kredit foto: DOI 10.13080/z-a.2015.1
Selain mempengaruhi lingkungan tanah, kontaminasi logam berat oleh pembuangan dan penimbunan limbah B3 di Desa Mojojajar dan Desa Lakardowo juga telah mencemari lingkungan air, terutama air tanah sumur gali di sekitar daerah perusahaan yang tampak keruh dan berbau tidak sedap. Berdasarkan parameter fisik (penentuan warna, bau, suhu, padatan tersuspensi, dan radioaktivitas), kimia (penentuan kesadahan, kadar COD (Chemical Oxygen Demand), dan tingkat pH), dan biologi (penentuan kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan kehadiran bakteri E. Coli) yang diamati pada air tanah di sekitar daerah penimbunan limbah B3, diketahui bahwa kualitas air tanah tersebut tidak memenuhi syarat fisik dan kimia sebagai sumber air yang layak untuk dikonsumsi ataupun dimanfaatkan sebagai sarana irigasi lahan pertanian (17). Hal tersebut dikarenakan akumulasi konsentrasi logam berat menurunkan kadar materi organik di dalam tanah yang kemudian mengubah struktur tanah, porositas, dan permeabilitas tanah tersebut dengan sedemikian rupa sehingga ketika digali menjadi sebuah lubang sumur untuk diambil air tanahnya lalu turun hujan asam yang ‘membongkar’ kandungan kimiawi di dalam tanah, konsentrasi logam berat yang berbahaya akan dilepaskan melalui pori-pori tanah ke dalam air tanah kemudian mengubah sifat fisik dan kandungan kimia air tanah tersebut (18; 19).

Akibat perubahan sifat fisik dan kimia yang dialami oleh air tanah sumur gali di Kabupaten Mojokerto, warga Desa Mojojajar dan Desa Lakardowo tidak dapat memanfaatkan air tanah tersebut sebagai sumber air yang layak dikonsumsi sebab tidak memenuhi kriteria mutu air terkait standar kesehatan. Hal tersebut dikarenakan logam berat dapat menimbulkan efek gangguan kesehatan, tergantung pada jenis serta besar dosis paparan logam berat yang terkonsumsi (20). Secara khusus, efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh; menyebabkan alergi; dan bersifat mutagenik, teratogenik, reprotoksik atau bahkan karsinogenik bagi hewan dan manusia. Selain kedua makhluk hidup tersebut, kesehatan tumbuhan pangan juga akan terdampak oleh efek toksik dari kandungan logam berat jika air tanah yang tercemar dimanfaatkan sebagai sarana irigasi lahan pertanian. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi logam berat yang dibawa oleh arus air dapat dengan mudah terjerap ke dalam sistem jaringan dan perakaran tumbuhan pangan kemudian menghambat proses pertumbuhannya serta menyebabkan masalah kesehatan bagi konsumen tingkat lanjut akibat bioakumulasi logam berat dalam rantai makanan (11; 18). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah yang rusak di Kabupaten Mojokerto akibat kontaminasi dan akumulasi logam berat tidak lagi berfungsi secara alami untuk menopang produktivitas hewan atau tumbuhan, memelihara atau meningkatkan kualitas air, ataupun mendukung tempat tinggal dan kesehatan manusia melainkan justru mengancam kesehatan manusia dan ekosistem sekitar (21).

(a) Diagram bioakumulasi suatu zat kimia (kontaminan) dalam rantai makanan akuatik. (b) Konsentrasi DDT (ppm) pada populasi lingkungan yang berbeda. 
(a) Diagram bioakumulasi suatu zat kimia (kontaminan) dalam rantai makanan akuatik. (b) Konsentrasi DDT (ppm) pada populasi lingkungan yang berbeda. 
Pada dasarnya, upaya pemerintah setempat (kabupaten/kota, provinsi, ataupun pusat) yang bekerjasama dengan lembaga lingkungan hidup untuk menanggulangi penurunan kualitas dan kerusakan tanah akibat pencemaran limbah industri adalah rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi  atau bioremediasi. Menurut Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Dedi Nursyamsyi, tanah yang mengalami penurunan kualitas akibat pencemaran limbah dapat kembali ‘sembuh’ dari kondisinya yang ‘kurang sehat’ dengan metode rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi (22). Rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi dilakukan dengan cara memberikan jerami dan zat kapur pada tanah sebab jerami dapat meningkatkan aktivitas mikroba yang dapat membusukkan bahan-bahan tanah dan juga menghasilkan bahan organik sementara zat kapur membantu menetralisir kadar asam yang ada di dalam tanah. Dengan kata lain, tujuan upaya rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi adalah untuk mengembalikan kandungan bahan organik dalam tanah yang telah mengalami penurunan kualitas dan produktivitas (<50%). Sementara itu, tanah yang telah rusak kemudian mengalami penurunan produktivitas (50-60%) akibat pencemaran limbah memerlukan upaya yang lebih kompleks seperti bioremediasi yang merupakan proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan bantuan mikroorganisme seperti jamur, bakteri, dan mikroorganisme lainya dengan tujuan mengurangi pengaruh zat pencemar, atau bahkan alih fungsi lahan menjadi perhutanan.

Salah satu contoh nyata pemanfaatan teknologi bioremediasi di Indonesia adalah pemanfaatan bakteri Pseudomonas sp. untuk mengubah senyawa berbahaya yang terkandung di dalam zat pencemar air laut Teluk Jakarta menjadi senyawa yang tidak berbahaya melalui program "Restorasi Kerang Ijo" sejak 2004. Upaya bioremediasi tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebab pabrik-pabrik pengawetan kayu di sekitar Marunda dan Kalibaru membuang limbah kimia hasil produksi di Teluk Jakarta sehingga air laut berubah warna menjadi merah kecoklatan kemudian terjadi pencemaran senyawa organik golongan persistent organic pollutant (POP), hidrokarbon (minyak), serta logam berat Zn dan Pb. Akibatnya, ikan, kepiting, udang, kerang ijs, dan sejumlah biota laut lainnya tidak mampu bertahan hidup di dalam lingkungan tercemar tersebut dan diperlukan suatu upaya pemanfaatan bakteri dan mikroorganisme lain yang mampu mendegradasi bahan-bahan pencemar dengan efektif dan efisien namun tetap ekonomis (23). Selain negara Indonesia, negara-negara berkembang lain yang terdapat di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang sama-sama merupakan negara agraris dan maritim serta memiliki jenis serta kualitas tanah yang relatif sama juga menggunakan langkah-langkah rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi attua bioremediasi yang serupa (24).

Tumpukan kulit kerang hijau di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta Utara (30/11/2018). Kredit foto: D. Ardhito
Tumpukan kulit kerang hijau di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta Utara (30/11/2018). Kredit foto: D. Ardhito
Sebagai upaya mengatasi masalah kerusakan tanah di Kabupaten Mojokerto, terutama di Desa Mojojajar dan Desa Lakardowo, masing-masing kepala desa tersebut bekerjasama dengan sejumlah lembaga lingkungan, perusahaan polisi, dan pemerintah setempat. Kepala Desa Lakardowo bekerjasama dengan tim Penduduk Lakardowo Bangkit (Pendowo Bangkit) dan LSM Lingkungan Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) untuk mengambil sampel tanah hasil pengeboran lima titik di sekitar pabrik pengolahan limbah B3 milik PT. PRIA pada pertengahan Desember 2017 yang kemudian diujikan di Laboratorium Mekanika Tanah Batuan ITS Surabaya serta Laboratorium Blacksmith Institute (BSI) di Jakarta (25). Daru Setyo Rini, Manajer Riset Ecoton mengatakan bahwa uji laboratorium BSI menggunakan alat XRF (X-Ray Fluorescence) untuk mendeteksi kadar logam berat dalam tanah menunjukkan bahwa tanah pada daerah pembuangan limbah B3 yang dilakukan oleh PT. PRIA pun terkontaminasi oleh konsentrasi logam berat B, Cu, Cd, Cr, dan Pb. Hasil uji tersebut pun segera dipresentasikan kepada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur dengan mengundang perwakilan warga dan perusahaan. Sementara itu, di Desa Mojojajar, penduduk bekerja sama dengan perusahaan PT. Jasa Tirta I untuk mengambil uji sampel tanah yang diduga rusak. Raymont Valiant, Direktur Utama Perum Jasa Tirta I mengatakan bahwa hasil pemeriksaan uji sampel menggunakan metode TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) menunjukkan bahwa terdapat materi timbunan seperti FABA yang termasuk ke dalam kategori limbah B3 (26). Kandungan racun dalam materi-materi tersebut pun berdampak pada kerusakan tanah yang dicirikan dengan ditemukannya bahan anorganik di dalam tanah serta pencemaran air tanah yang dicirikan oleh warna yang keruh dan bau yang tidak sedap. Hasil laporan dari uji sampel tanah telah diserahkan kepada pihak-pihak terkait pada tanggal 16 Oktober 2020 untuk melakukan penindakan lanjut, termasuk anak usaha PT. PRIA, PT. GEI sebagai pelaku utama pembuangan hasil pengolahan limbah B3 di Desa Mojojajar serta kepada Polres Mojokerto untuk segera menghentikan aksi pengurukan PT. GEI.

Pengeboran tanah di daerah sekitar PT. GEI untuk mengambil sampel tanah. Kredit foto: A. Asnawi
Pengeboran tanah di daerah sekitar PT. GEI untuk mengambil sampel tanah. Kredit foto: A. Asnawi

Pengambilan sampel tanah di Desa Lakardowo uituk diteliti di Laboratorium ITS Surabaya. Kredit foto: A. Asnawi
Pengambilan sampel tanah di Desa Lakardowo uituk diteliti di Laboratorium ITS Surabaya. Kredit foto: A. Asnawi
Selain Desa Lakardowo dan Mojojajar, kondisi tanah Desa Darawolong di Karawang, Desa Tenaru di Gresik, dan 83.927 desa lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa juga mengalami kerusakan akibat pembuangan limbah B3 yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga tertentu dalam dua tahun terakhir (27; 28; 29). Bahkan, lahan terkontaminasi limbah B3 di Indonesia meningkat hampir 300% dari 2015—2019 (30). Akan tetapi, masalah tanah di masing-masing daerah tersebut masih belum ditangani oleh pemerintah setempat dengan baik dan benar atau bahkan belum sama sekali karena pemerintah kurang memperhatikan persoalan kelestarian lingkungan sementara tingkat produktivitas industri di Indonesia terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan dampaknya kepada kerusakan lingkungan sekitar. Bahkan, pemerintah juga belum melakukan aksi konkret untuk menangani masalah penimbunan limbah B3 di Kabupaten Mojokerto yang sudah berlangsung sejak 2013 meskipun kegiatan tersebut sangat mengancam kerusakan lingkungan serta kesehatan warga sekitar. Contohnya, setelah Polres Mojokerto menerima hasil laporan uji laboratorium yang membuktikan bahwa tanah di daerah sekitar PT. GEI terkontaminasi oleh kandungan racun dalam materi timbunan, perusahaan tersebut sempat dinyatakan dilarang beroperasi karena merusakkan lingkungan tanah sekitar. Akan tetapi, PT. GEI diberikan izin untuk kembali beroperasi dua bulan kemudian sebab bukti yang disediakan tidak cukup kuat untuk menyatakan bahwa perusahaan tersebut bertanggung jawab atas kerusakan tanah sekitar (26).

Warga beraktivitas di antara timbunan  limbah B3 di Jakarta (27/11/2019). Kredit foto: Adimaja M. 
Warga beraktivitas di antara timbunan  limbah B3 di Jakarta (27/11/2019). Kredit foto: Adimaja M. 
Gerbang PT.GEI disegel polisi ketika dilarang beroperasi. Kredit foto: A. Asnawi 
Gerbang PT.GEI disegel polisi ketika dilarang beroperasi. Kredit foto: A. Asnawi 
Sesungguhnya, penanganan dan penanggulangan penimbunan limbah B3 di Kabupaten Mojokerto merupakan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan juga pusat untuk melakukan sidak atau pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut juga perlu segera ditindaklanjuti dengan sanski administratif yang diberikan kepada pihak terkait jika terbukti melanggar izin penimbunan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 atau Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Harapannya, pemerintah dapat segara memanfaatkan kewenangannya untuk melakukan pengawasan, penindakan, penegakan hukum, dan memberikan sanski administratif kepada perusahaan dan lembaga-lembaga lain terkait masalah pembuangan dan penimbunan limbah B3 dengan adil kemudian bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segara melaksanakan program bioremediasi tanah di daerah-daerah seperti Desa Mojojajar dan Desa Lakardowo agar tanah di daerah tersebut dapat kembali dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk kebutuhan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun