Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Komplikasi

10 Mei 2022   22:16 Diperbarui: 10 Mei 2022   22:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuda Sumba oleh Fadhil Abhimantra, dari Unsplash.com

Lea dan Osa

Sejak kedatangan mereka di Sumba, Nael uring-uringan. Pertama, dia kecewa Osa duduk di pesawat dengan Lea, cewek manis yang ingin dikenalnya. Anehnya lagi, Osa yang duduk di dekat jendela. Lea yang di pinggir, di gang.

Kedua, Osa bikin ulah, maunya tinggal di hotel, bukan di rumah yang disewa untuk seluruh kru. Nael akan melihat ini menjadi masalah besar karena komunikasi yang cepat sangatlah penting dalam pekerjaan yang efektif.

"Jangan ganggu Lea, Os," Nael mendengar Iva menelpon Osa yang sedang menuju hotel. "Dia sudah mau ke sini sudah cukup. Dia banyak kerjaan juga, Os. Jangan sampai kamu bilang menyesal nggak mendengarkan pendapatku."

"Lea siapa sih, Va?" Nael tidak tahan untuk bertanya. Sedari kemarin dia belum sempat bertemu langsung dengan cewek manis yang terlihat dekat dengan Osa.


"Pengacara kami," jawab Iva singkat lalu melangkah keluar memanggil driver untuk pergi ke hotel.

---

Lea tidak mau tinggal bersama kru. Bukan karena dia ingin diistimewakan, tapi dia khawatir apa kata orang tentang dia dan Osa. Mereka berdua tidak ada apa-apa. Namun kalau berurusan dengan Osa, semua bisa jadi apa-apa. Apalagi Osa selalu disorot pasangan perempuannya siapa. Lea tidak mau terlibat jauh walau dia tahu Osa membutuhkan keberadaannya.

"Aku tinggal di hotel, dan kamu tetap di pondok bersama kru," kata Lea tegas di depan resepsionis. Dia melarang Osa menyewa kamar lagi untuk cowok itu sendiri. "Biar kita ada jeda dan kamu bisa lebih banyak cerita tentang yang tidak aku ketahui. Kalau aku di pondok, atau kamu satu hotel denganku, akan membosankan. Tidak ada cerita baru. Oke, Osa?"

Lea beruntung kantornya punya beberapa klien di Sumba. Dia bisa meninggalkan kantor di Jakarta untuk melakukan misi bertemu klien di pulau itu. Pekerjaan dia banyak dan penting, apalagi mendukung keberadaannya di Sumba dengan gratis. Osa hanya butuh sepulau dengan Lea. Cewek itu tidak mau diganggu urusan dengan klien.

"Nanti aku antar kamu ketemu klienmu," tawar Osa. "Sekalian keliling Sumba. Lokasi syutingku hanya di situ-situ saja. Bosan."

"Kamu perlu mengenal kuda-kuda yang akan menjadi fokus narasimu, Os," kata Lea lagi. Heran, kenapa juga dia butuh membujuki Osa seperti anak kecil. Tapi memang Osa bersikap begitu kalau dengan Lea.

Iva datang dengan mobil untuk menjemput Osa.

"Va, aman, Osa bisa balik ke pondok sama kamu sekarang," kata Lea sambil membawa ranselnya pergi mengikuti bellboy yang menunjukkan kamarnya.

Osa seperti kehilangan kata-kata. Yang diucapkan Lea semua benar. Dia di sini untuk bekerja dengan kuda, bukan menemani Lea dengan kliennya. Tapi dengan berat dia mengakui dan mengikuti Iva kembali ke pondok yang jauhnya sekitar setengah jam dari hotel.

"Ini UNICEF, Os," Iva mengingatkan film dokumenter yang dibintangi Osa adalah salah satu program lembaga PBB itu. Bukan pekerjaan main-main yang ditawarkan Nael sebagai produser.

---

Syuting pertama di sore hari, mengambil setting matahari terbenam. Twilight sebagai awal dari narasi dokumenter itu. Osa muncul dengan siluet bersama kuda tapi lambat laun terlihat wajah dan warna baju serta bulu kuda di sampingnya. Kuda bukan senjakala Sumba. Itu temanya.

Nael melihat Lea hadir di take pertama. Cewek itu manis dan menarik perhatiannya. Entah apa, cewek itu seperti punya magnet yang menarik Nael untuk menatapnya. Dia harus tahu lebih lanjut tentang Lea.

Ketika break syuting, Osa langsung menuju tempat duduk Lea di dekat warung yang ada di peternakan kuda. Nael juga berjalan ke arah yang sama.

"Os, kenalin dong," Nael ingin memanfaatkan Osa untuk mengenal Lea lebih dekat.

"Lea, ini Nael. Jangan dekat-dekat dia, nanti kamu jadi artis," kata Osa cepat. Lalu dia menarik Lea pergi menjauh. Nael hanya melongo tapi mendapat senyuman dari Lea.

"Aku ke hotel, Os," Lea jadi jengah dengan perlakukan Osa. "Aku nggak mau Nael berpikiran yang tidak-tidak. Semua tahunya aku pengacara kalian. Masak aku spending time hanya berdua sama kamu terus."

"Oke, ntar aku nyusul. Temui aku di restoran, pesan menu yang aku suka," Osa setuju dan merasa keputusan ini yang terbaik. Ini baru hari-hari awal. Masih ada satu-dua bulan lagi bersama Nael.

Lea naik taksi ke hotel. Osa kembali ke Nael yang masih memandang arah ke mana dia tadi pergi.

"Lea ke mana?"

"Aku pergi dulu ya, aku butuh mengenal Sumba dari orang di luar program ini," Osa tidak menjawab pertanyaan Nael. Jangan sampai Nael tahu lebih banyak, batinnya.

"Kamu nggak bilang Iva dulu?"

"Iva sudah paham."

---

Sampai di resto hotel, Osa menemukan Lea sedang melamun. Tidak biasanya. Sampai tiga kali Osa memanggilnya, Lea tidak bergeming, pandangannya keluar jendela.

Disentuhnya lengan Lea di meja. Baru Lea menoleh padanya, sedikit terperanjat. Jadi benar dia tadi melamun, pikir Osa.

"Ada apa?" tanya Osa pendek.

"Sumba mengingatkan aku pada seseorang," jawab Lea. Tapi dia langsung menyesali perkataannya. Osa pasti curiga dan ingin tahu tentang seseorang itu. Padahal membicarakan nama itu membuatnya terlempar ke masa lalu yang pedih.

"Ceritakan."

"Bikin aku sedih. Ga usah saja. Nih, pesanan sudah tiba," jawab Lea. Dia menyibukkan diri menerima menu dan mengatur meja. Osa menatapnya tanpa berkedip.

"Aku tidak tahu kita akan ngomong apa kalau bukan tentang Seseorang itu, Lea," jawab Osa tegas dan menuntut.

"Aku berusaha melupakan orang itu dan berhasil," Lea menghela napas panjang sebelum dia meneruskan. Dia tahu, tidak ada gunanya menyembunyikan apapun dari Osa. Cowok itu pasti tidak berhenti mendesaknya. "Tapi aku tidak mengira Sumba mengingatkan semua memori itu."

"Ceritakan."

"Memori yang nggak enak, Os, aku mau berhenti di sini. Kita bicara yang lain saja. Hm, bagaimana senjakala kuda?" Lea berharap Osa masih menghargainya. Dia tetap jujur hanya belum terbuka tentang semua. Osa pasti tidak ingin dia sedih.

"Yang jelas kuda Sumba lebih besar dari semua kuda yang pernah aku temui," pandangan Osa masih menyelidik. Lea sepertinya memang tidak ingin membicarakan seseorang itu. Tapi Osa ingin tahu sisi ini. Dia merasa asing kalau tidak tahu apapun.

"Kuda Sumba juga unik, dianggap berhubungan dengan arwah nenek moyang," Osa menuruti alur yang dibuat Lea. "Menurutku, kuda ini harus masuk salah satu dari keajaiban dan harta warisan dunia dari Indonesia."

"Maka memang kamu harus melakukan film dokumenter ini, Os, aku senang dan bangga," kata Lea. Tapi Osa tidak menangkap rasa senang itu. Lea hari ini tidak sama dengan Lea minggu lalu.

"Oke, Os, aku mengantuk sekali. Besok pagi harus ke pengadilan di kota. Bossku minta aku mempelajari sesuatu di sana, ambil dokumen juga. Jadi besok sorean mungkin aku baru ke lokasi syutingmu," Lea beranjak dari kursinya.

Osa sangat sadar, Lea sudah berubah. Biasanya dia yang menghentikan pembicaraan karena dijemput atau ditelpon Iva. Ini Lea yang ingin lekas pergi. 

"Are you okay?" tanya Osa ingin memastikan. Dia menemukan Lea menghindari kontak mata dengannya.

"Aku telpon besok pagi sebelum ke kota," kata Lea tersenyum dan menatap Osa sekilas. Dia tidak menunggu jawaban cowok itu, langsung berjalan ke tangga menuju kamarnya.

Osa hanya tercenung menatap punggung Lea dan hatinya teriris ketika sekejap melihat Lea menundukkan kepala ketika berjalan. Seseorang itu sangat mempengaruhi emosi Lea. 

+

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun