Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang Terkaya

13 Juli 2019   12:53 Diperbarui: 20 September 2020   22:40 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Siapakah orang terkaya di kampung kita?” cetusseorang teman ketikakami sedang berkumpul di bawah pohon mangga sambil menunggu jatuhan buahnyasuatu siang. Padahal sesungguhnya dia sudah punya jawaban yang menurutnya benar. Anak-anak lain melontarkan jawabanberagam disertai alasan.

“Babah Liem, karena sawahnya mencapai belasan hektare!”

“Haji Delit, kebun rambutannya luas.”

“Haji Jamhuri, punya toko emas di pasar kecamatan dan kebun bambu yang luasnya hampir separuh luas kampung.”

“Juragan Roban karena kerbau dagangannya banyak.”

“Ustaz Tajudin, karena setiap menjelang idul fitri menerima uang zakat fitrah dari murid-murid pengajiannya.”


Sementara itu seorang teman lainnyaris tak punya jawaban. Setalah berpikir keras barulah dia menjawab, “Banpol Sukirman. karena sering menyetop kendaraan yang lewat dan meminta uang.”

Aku menjawab paling belakang. Kupikir dia memilih kakeknya yang setiap hari Ahad dan Rabu belanja ke pasar untuk dagangan warungnya. “Wak Onjong, kakekmu!”

“Semuanya salah!” tandas empunya pertanyaan, “Jawabannya adalah Bang Hamid!”

“Lo?!” Mereka tidak terima.

Aku menantikan dia menyampaikan alasannya.

“Karena Bang Hamidpunyai pesawat televisi.”

Bantahan ketidakpuasan pun berlontaran meskipun kami mengakui bahwa hanya Bang Hamid satu-satunya orang yang mempunyai pesawat televisi.

“Harga pesawat tak sampai seharga seekor kerbau atau harga tanah Babah Liem!”

“Berat pesawat televisi, aki dan antenanya tidak seberapa dibanding dengan berat seekor kerbau.”

 “Masih lebih kaya Bang Amung, pemilik pohon mangga ini kalau begitu. Coba kau hitung, berapa jumlah seluruh buah mangganya, tidak terhitung bukan? Kalau biji-bijinya ditanam, berapa banyak pohon yang akan tumbuh. Jika setiap pohon berbuah, maka banyak sekali buahnya. Orang sedunia kebagian!”

“Tidak bisa. Tetap lebih kaya Bang Hamid.”

Sebenarnya kami tidak puas, tapi tidak berdaya melunakkan keras kepalanya anak itu.Maklumlah,  dalam berbagai haldia tak pernah mau mengalah andai pun sebenarnya dia yang jelas salah. “Keras kepalanya bawaan orok!” kata teman-teman.   Selalu saja ada argumen untuk memperkuat pendapatnya. Sebagaimana biasa jika sudah berbantahan anak-anak lain terpaksa mengalah.

“Di dalam televisi apa saja ada, nilainya tidak terhingga.” Dia berargumen, tak mau kalah. Dia mencoba bernyanyi menirukan lagu pembuka acara yang digemari banyak orang. “S-A-F-A-R-I, Safariiiiiiii!”  Dia merasa palingbenar. Dia tidak main-main bahwa menurutnya Bang Hamid adalah orang terkaya. Kami terpaksa mengalah dan terpaksa setuju karena kalau tidak, kami dianggap tidak pro Bang Hamid. “Teman-teman, kalian setuju bukan?  Bagi yang tidak setuju jangan harap nanti malam bisa nonton Kamera Ria!” ancamnya.

Dimana lagi kami bisa menonton  televisi kalau bukan di rumah Bang Hamid. Hampir setiap malam kamimenonton televisi di rumah Bang Hamid. Seringkali di antara kami absen mengaji demimenonton acara pavorit dan mendapatkan posisiyang strategis. Bang Hamid tidak pernah melarang jika ada anak-anak yang datang sebelum magrib hanya ingin menonton  televisi lebih awal, terlebih terhadap anak-anak yang banyak jajan di warungnya.

Bang Hamid adalah orang pertama dan satu-satunya yang mempunyai pesawat televisi di kampung kami ketika itu. Pesawat televisinya hitam-putih, 12 inci, berkover merah, powernyaaki 12 volt. Setiap empat hari akinya disetrum di dekat pasar kecamatan.   Hampir setiap malam, terlebih malam Minggu orang separuh kampung tumplek di rumahnya untuk nonton televisi. Imbasnya, dagangan warungnya laris. Selain berjualan aneka jajanan warung istrinya berjualan aneka gorengan. Seolah, berkat pesawat televisi itu kekayaan Bang Hamid terus bertambah. Selain buka warung, Bang Hamidjuga sebagai tengkulak lowa, yakni keranjang terbuat dari anyaman bambu.Dia mengumpulkan barang dagangan dari para perajin. Salah satu pelanggannya adalah ayah anak laki-laki keras kepala tadi. Jika kekurangan uang, ayahnya meminta bayar di muka atas lowa yang akan dikerjakanya. Saat dagangan Bang Hamidterkumpul juragan pemborongnya datang dengan mobil truk engkel. Ribuan pasang lowa diangkut ke Tanjung Periuk.Pendeknya, usaha Bang Hamid mengalami naik daun. Rezekinya lancar.

Inilah masa kejayaan Bang Hamid di usia kepala tiga. Anak-anaknya pun bangga dengan pencapaian orang tuanya. Karena orang tuanya kaya, mereka layak disebut anak orang kaya. Kekayaan orang tua kami jauh berada di bawahnya.

Bersamaan dengan itu, Bang Hamid merenovasi rumahnya dan membangun rumah baru. Menyusul, Bang Hamid membeli mobil seken yang digunakan sebagai omprengan bagi warga yang hendak belanja di pasar kecamatan yang berjarak lebih dari lima kilometer.

“Benar kan? Aku bilang juga apa!” cetus si anak tadi.Dia ingin menegaskan bahwa Bang Hamid-lah orang yang paling kaya di kampung kami. Namun sejujurnya ada yang kurang disukai oleh para penonton televisi di rumah Hamid, yakni sikap arogan anak-anaknya. Ketika anak-anak yang menonton televisiberisik, anak-anak Bang Hamid mengancam akan mematikan televisinya. Bahkan sering kali katiga anak BangHamid langsung mengomeli semua yang hadir, tak peduli ada orang tua. Semua yang hadir tak bisa berkutik. Tak ada yang berani melawan. Kalau sudah begitu semuanya terdiam. “Janji tidak akan berisik?” cetus salah seorang anak BangHamid setengah jam kemudian. Setelah hadirin sepakat, barulah televisi dihidupkan kembali. “Awas, kalau berisik, aku matikan, atau aku usir sekalian biang keroknya!” ancamnya dengan nada sinis.

Meskipun Bang Hamid terbilang orang berada tapi pendidikan anak-anaknya hanya sampai SD dan SMP. Bang Hamin tidak menganggap pendidikan itu penting.

            Kami sangat berterima kasih kepada Bang Hamid karena telah diizinkan menonton televisi selama lebih dari dua tahun. Seiring waktu, satu-demi satu ada warga lain yang mempunyai pesawat televisi. Hingga tahun 1980 tak kurang dari sepuluh rumah sudah ada pesawat televisinya. Kerumunan orang tidak lagi terpusat di rumah BangHamid. Aku pun tidak selalu menonton televisi di rumah Bang Hamid.

Sekali waktu aku dan anak-anak lainnya bermaksud hendak menonton televisi di rumah Bang Hamid. Malam itu akan ada tayangan acara Aneka Ria Safari. Namun sayang, di rumah Bang Hamid sedang terjadi keributan. Istri Bang Hamid, yakni Mpok Nemah menangis tersedu-sedu seraya mengeluarkan kata-kata makian dan kalimat kasar. Kami tidak begitu paham maksudnya. Keadaan tegang sehingga terpaksa kami berpencar ke rumah-rumah pemilik televisi yang lain yang jaraknya agak jauh.

Pada waktu lain tersiar kabar bahwa BangHamid kawin lagi dengan seorang janda di kampung tetangga. Sejak diketahui telah menikah lagi suasana hiburan di rumahnya jadi kurang seru karena istrinya sering marah-marah dengan sebab yang tidak kami ketahui.  Hal itu juga berimbas kepada anak-anaknya. Mereka jadi lebih temperamental, mudah mengomel kepada para tamunya walau pun gara-gara hal sepele seperti kaki menyentuh aki yang diletakkan di kolong meja.

Semenjak ayahku membeli pesawat televisi baru dari uang hasil penjualan seekor kerbau aku tak lagi menonton televisi di rumah orang lain. Bersamaan dengan itu di sebagian besar rumah teman-temanku juga telah ada televisinya. Namun satu dari kekayaan Bang Hamid yang masih jadi andalan  sebagian besar warga adalah mobil lostbakangkutannya. Setiap Ahad dan Rabu warga berbelanja ke pasar kecamatan dengan menumpang mobilnya. Tentu saja tidak cuma-cuma jika tidak mau jalan kaki sejauh lima kilometer di jalan berbatu koral yang berlubang-lubang dan sebagian becek. Karena punya mobil itulah posisi Bang  Hamid sebagai orang terkaya belum juga tergantikan. Terutama itu dalam penilaian anak yang keras kepala tadi.

***

Sepeninggalan ayah akibat gigitan ular tanah dan menyusul beberapa bulan kemudian ibu tutup usia aku diboyong sahabat ayah ke seberang pulau. Aku jadi anak angkatnya. Akupun pindah sekolah di sana, masuk di kelas tiga SD. Aku disekolahkan hingga meraih gelar sarjana ekonomi di kampus ternama. Aku bekerja di sebuah bank swasta. Jarang sekali aku pulang ke kampung asalku di Tangerang. Sekalipun pulang, aku tak berlama-lama. Namun kali ini, saat belum setahun pemerintahan presiden Jokowi, aku menyekar ke makan bapak-ibu bertepatan dengan ziarah masal warga di pemakaman kampung.

Hampir seluruh warga hadir di area makam di ujung utara kampung. Keadaan pemakaman sangat berbeda dengan dulu. Tak ada lagi semak-semak yang melingkupi sebuah makam pun. Seluruh sisi lahan tanah wakaf itu berpagar beton panel. Pintu gerbangnya tampakkokoh dan berwibawa. Pohon beringin yang menaungi sejumlah kuburan mengesankan ketenangan, tidak seram. Di bagian tengah berdiri saung, tepatnya bangunan permanen yang terbuka. Di bagian atasnya terpasang banerbertuliskan larangan membuat bangunan di atas makam. Di saung itulah kerumunan peziarah terpusat. Seorang ustaz memimpin doa. Hadirin mengamini. Di depan mereka berjajar botol terbuka berisi air.Panitia pengelola sibuk mengurusi sumbangan amal jariyah dari para pengunjung. Sementara itu di luar area makam petugas parkir sibuk pula mengatur kendaraan yang datang, ada pula yang pergi. Dimana ada keramaian di situlah pedagang ada. Begitupun di sekitar pemakaman ini. Belasan pedagang menggelar dagangannya di sepanjang sisi jalan. 

Senang sekali aku bisa bertemu dengan orang-orang kampungku, terutama teman-teman seangkatan. Aku mengenal mereka kurang dari separuh yang hadir, selebihnya adalah wajah-wajah asing yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Usai doa bersama aku mendatangi makam bapak dan ibu. Tampak dari kejauhan seseorang membersihkannya dengan cangkul. Seorang perempuan muda menghampiri dan memberinya uang jasa membersihkan makam.  Aku menyadari bahwa lelaki tua itu pekerja sukarela. Tanpa disuruh dia terus bekerja.

“Ini makam bapak dan ibu Darwis, Saudara siapanya?” tanyanya.

“Salman.” Aku mengenalkan diri. Aku perhatikan raut wajahnya, rasa-rasanya aku kenal. “Maaf, ini Bang Hamid?”

“Betul.” Dia menatapku. “Oh, iya ya, saya ingat. Dik Salman.”

“Masya Allah! Sehat Bang?”

“Alhamdulillah, sehat badan sih!”

“Mpok?” Aku menanyakan kabar istrinya.

“Tuh, di sana kuburannya.”

Ternyata istrinya telah tutup usia.

Aku merapal doa. Dia mengamini. Usai berdoa kami berpisah. Aku beri dia sedikit uang. Dengan senang hati dia menerimanya. Meskipun begitu aku masih merasa berutang budi karena dulu pernah diizinkannya menonton televisi di rumahnya. “Oh Bang Hamid, orang terkaya di masa lalu itu kini jauh berbeda.” Aku bergumam.Tak tampak sedikit pun sisa-sisa kejayaan itu pada dirinya. Tak ada informasi rinci yang kudapati mengenai Bang Hamid, kecuali bahwa Bang Hamid sering tidur di gubuk yang terdapat di pojok lahan tanah wakaf itu.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun