Di Bangka Belitung, hari ini ada berita enam smelter ditertibkan, bukan sekadar hukum ditegakkan, tapi arah ekonomi diluruskan, menuju kedaulatan yang berkeadilan.
Apa yang dilakukan pemerintah ini adalah momentum untuk mengakhiri era kebocoran nilai. Ini bukan semata urusan tambang, ini adalah soal kedaulatan ekonomi, suara tegas menggema di bumi timah.
Lebih dari sembilan puluh persen cadangan, timah dan tanah jarang tersimpan di sana, bertahun-tahun nilai itu bocor, triliunan rupiah lenyap, cermin institusi kehilangan kendali.
Kini, negara hadir kembali, mengembalikan trust premium ke pangkuan rakyat.
Namun kedaulatan tanpa efisiensi, bisa berubah jadi nasionalisme mahal. Aset yang disita haruslah produktif, transparan, akuntabel, bukan sekadar berpindah tangan tanpa perubahan tata kelola.
Smelter ilegal bukan hanya soal legalitas, tapi rantai nilai yang harus hidup, sebab tanah jarang adalah industri teknologi tinggi. Tanpa riset, tanpa inovasi, tanpa tata kelola, kita hanya mengganti pelaku tanpa memperbaiki sistem.
Maka hadirkanlah industrial policy produktif, konsolidasi PT Timah dengan riset dan universitas, hilirisasi bukan hanya lelehan logam, tapi juga knowledge capital, dengan kemitraan publik-swasta yang disiplin dan bisa diaudit publik.
Blueprint mineral strategis harus lahir, jelas hak dan kewajiban pusat-daerah, jelas audit ekspor dan royalti, jelas jalur transisi bagi industri kecil. Hanya dengan stabilitas tata kelola, keadilan jadi daya tarik investasi, bukan penghalangnya.
Dan untuk rakyat penambang kecil, PT Timah harus hadir memberi bantalan, kompensasi dan penghidupan yang lebih layak, agar tiada gejolak, agar perubahan menjadi bukti keberhasilan.
Keberhasilan langkah ini, ada di konsistensi kebijakan, kepastian regulasi, dan keberanian menolak ketidakpastian.