Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Gontor di Teror

26 September 2022   15:27 Diperbarui: 26 September 2022   15:28 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana Pondok Pesantren Gontor diserang/sumber: hajinewsid

September 1948

Malam semakin bergulir menuju puncaknya, dingin semakin menusuk kulit, suara burung hantu semakin kerap terdengar, tetapi tiga orang yang sedang berunding belum terlihat akan mengakhiri pembicaraan mereka, yang dimulai sejak bada isya.

 

Memang bukan perkara sepele yang mereka rembugkan. Yang dibicarakan berhubungan dengan nyawa manusia. Bukan nyawa seorang manusia, melainkan nyawa puluhan manusia. Bahkan juga nasib pondok pesantren yang mereka pimpin.

Baca juga: Tekor

Beberapa pekan sebelum malam itu, PKI memproklamirkan berdirinya Republik Soviet dan menetapkan Dungus Madiun sebagai ibukota, sementara Muso sang pemimpin menunjuk dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri.

Tentu saja PKI menginginkan wilayah Keresidenan Madiun yang meliputi Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan Ngawi berada dalam kekuasaannya dan tunduk kepada mereka. Untuk itu, siapa pun yang melawan akan mereka habisi.

Semua kejadian tersebut tak luput dari perhatian ketiga pimpinan pondok yang sedang berdiskusi malam itu. Mereka adalah tiga bersaudara, dua orang pimpinan Pondok Pesantren; KH. Ahmad Sahal, dan KH. Imam Zarkasyi, yang ketiga KH. Rahmat Soekarto yang menjadi Lurah Desa Gontor.

Sementara saya dan seorang santri yang bertugas melayani keperluan ketiganya, seperti menyediakan minum dan makan, menunggu di teras rumah. Saya berusaha menahan kantuk dan dinginnya malam dengan berusaha mendengarkan pembicaraan pimpinan pondok itu di balik pintu.

Ketiga pimpinan pondok sedang membahas hal yang paling krusial. Siapa yang harus menemani para santri mengungsi dan siapa yang harus tinggal di pondok. Tinggal di pondok tentu saja akan berhadapan dengan PKI, yang sudah bisa dibayangkan, taruhannya adalah nyawa.

"Wis, Pak Sahal. Panjenengan wae sing budhal, ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni, kiai Gontor yo panjenengan. Aku jogo Pondok wae, ora-ora lek dikenali aku iki* ...." Terdengar Kiai Zarkasyi berbicara.

Belum selesai Kiai Zarkasyi bicara, Kiai Sahal memotong, "Ora! Dudu aku sing kudu ngungsi ... tapi kowe, Zar. Kowe isih enom, ilmumu luwih akeh, bakale Pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladeni PKI kuwi. Ayo, Pak Zar, njajal awak mendahno lek mati**." 

Masya Allah. Luar biasa. Keduanya saling meminta salah satu di antara mereka untuk mengungsi. Keduanya bersikukuh merelakan diri berhadapan dengan PKI. Sungguh, bukan nasib mereka yang dipikirkan, tetapi nasib para santri. Sampai beberapa saat keduanya saling meminta.

"Daripada berdebat tak ada ujung, sebaiknya adik berdua bersama-sama mengungsi. Biar saya, sebagai Lurah, tinggal di sini yang akan menjaga Pondok."  Kiai Rahmat, sebagai kakak tertua, memberi solusi. Selain menjadi Lurah di Desa Gontor Kiai Rahmat Soekanto pun menjadi Imam salat di masjid Pondok.

Kantuk saya terasa hilang mendengar pembicaraan ketiga tokoh di dalam. Sungguh saya kagum kepada ketiganya, yang lebih mempedulikan saudaranya daripada dirinya sendiri. Ketegangan menghangatkan tubuh saya, membuat jantung terasa berdegup semakin keras. Apalagi kemudian, dengan tergopoh-gopoh seorang santri datang.

"Ada apa?" bisik saya saat santri itu sudah tiba di hadapan.

"Ini ... ini ada surat untuk Kiai," jawabnya.

"Surat dari siapa?"

"Surat dari PKI!"

"Hah!" Tentu saja saya kaget, keringat pun keluar membasahi seluruh tubuh. Segera saya menerima surat tersebut, lalu mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk.

Setelah mendapat izin saya masuk dan langsung menyerahkan surat tersebut. "Maaf, Kiai, ini ada surat dari PKI."

Beberapa jenak Kiai Zarkasyi tertegun sebelum menerima surat dan segera membacanya. Lalu beliau menatap wajah kedua saudaranya.

"Apa isi suratnya, Zar?" tanya Kiai Sahal.

"Mereka meminta semua santri dan kita supaya tidak meninggalkan Pondok. Mereka mengancam, kalau sampai meninggalkan Pondok akan ada bencana besar," jelas Kiai Zarkasyi.

"Ini sudah jelas. Mereka pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap Pondok Takeran di Magetan. Ini sudah tanda, kita harus segera menyelamatkan para santri." Kiai Rahmat memberi peringatan.

Beberapa hari sebelumnya memang tersiar kabar bahwa PKI menyerbu Pondok Pesantren Takeran di Ma;;getan. Mereka membakar Pondok, kitab-kitab dan Al-Quran. Beberapa santri yang tak sempat menyelamatkan diri tewas dibunuh, termasuk ustad dan Pimpinan Pondok.

Kiai Zarkasy mengangguk lalu menoleh ke saya, "Lukman, tolong panggilkan Ghozali Anwar!"

"Baik, Kiai!" Saya pun keluar dan langsung ke kamar Ghozali Anwar. Ghozali Anwar ini mantan pasukan Hizbullah yang mondok dan kemudian dipercaya untuk menjaga keamanan Pondok sehari-hari.

Setelah Ghozali Anwar tiba, Kiai Sahal menyuruhnya untuk membangunkan seluruh santri untuk mengungsi.

Setengah jam diperlukan Ghozali Anwar untuk membangunkan semua santri dan mengumpulkannya di masjid Pondok. Maka, pada pagi buta, selepas subuh saya bersama teman-teman santri yang berjumlah sekitar 70 orang mengungsi, dipimpin Kiai Sahal dan Kiai Zarkasyi. Setelah sebelumnya memulangkan santri-santri yang berasal dari daerah sekitar Pondok ke rumah mereka masing-masing.

Kami keluar pondok dengan mengendap. Satu kali jalan dua orang, mengikuti Ghozali Anwar yang berjalan di depan, sementara Kiai Sahal dan Kiai Zarkasyi berangkat paling akhir, di belakang para santri.

Kami mengungsi dengan tujuan Gua Kusumo di Trenggalek melalui jalur utara. Kami harus melewati kampung demi kampung, menaiki bukit, dan melewati tepian jurang di pegunungan Bayangkaki. Berjam-jam kami harus berjalan, sementara bekal makanan semakin menipis. Kami hanya mendapat tambahan bekal di warung-warung saat melewati kampung, itu pun tidak banyak.

Kami, para santri hampir frustrasi. Entah kapan kami harus berhenti berjalan, sementara siang semakin terik. Sedih karena harus meninggalkan Pondok tercinta belum hilang, sekarang ditambah dengan penderitaan fisik dan psikis karena harus berjalan tanpa henti.

Tiba-tiba Kiai Zarkasyi berteriak, "LABUH BONDO, LABUH BAHU, LABUH PIKIR, LEK PERLU SAKNYAWANE PISAN!***

Teriakan Kiai Zarkasyi bagaikan cambuk yang melecut semangat kami. Menambah tenaga para santri. Saya pun menegakkan kembali badan dan berjalan tegap, walaupun tidak bisa menahan jatuh air mata karena harus menderita akibat keserakahan orang-orang tak bertuhan yang hanya mementingkan nafsu hewani untuk meraih semua yang mereka inginkan.

Dua hari setelah kami meninggalkan Pondok, kami mendengar kabar bahwa Pondok sudah diserang PKI.

Pemberi kabar menceritakan, di sore hari menjelang Maghrib, PKI mendatangi Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Mereka mengepung Pondok dengan pagar betis. Beberapa dari mereka meletuskan senjata, berteriak dengan kalimat-kalimat kasar dan kotor, sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam Pondok.

Setelah tidak ada reaksi, seorang pemimpin PKI mendatangi rumah Lurah Rahmat Soekanto. Kai Rahmat kemudian menjelaskan bahwa santri-santri pondok semuanya sudah pergi meninggalkan Pondok.

Merasa kecewa, mereka kemudian menyerbu Pondok sambil berteriak-teriak, "Endi Kiai-ne? Endi Kiai-ne? Kon Ngadepi PKI kene. Asu kabeh****!"

Semua isi pondok dikeluarkan. Buku, peci, baju-baju milik santri dibakar. Begitupun dengan kitab-kitab dan Al-Quran. Bahkan sambil tertawa mereka menginjak-injaknya Al-Quran sebelum membakarnya. Gubuk-gubuk santri yang terbuat dari bamboo pun dirusak.

Suasana mencekam. Merasa belum puas melampiaskan kekecewaan dan kemarahan karena tidak menemukan seorang pun di dalam Pondok. Mereka beranjak kembali ke rumah Lurah Rahmat Soekanto.

Di depan rumah Lurah, mereka berteriak-teriak, "Endi Lurahe? Gelem melu PKI po ora? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene*****!"  

Lurah Rahmat Soekanto tidak keluar rumah. Dia berada di kamarnya, duduk bersila sambil tak henti berdzikir dan melantunkan doa.

Di luar rumah, orang-orang PKI semakin beringas. Mereka mengacung-acungkan clurit, pedang, cangkul, dan senjata apa pun yang mereka bawa, seraya berteriak dengan kata-kata kotor. Karena Lurah Rahmat tidak juga keluar rumah, mereka bersiap melemparkan obor-obor yang mereka pegang ke arah rumah Lurah.

Alhamdulillah, tiba-tiba datang Pasukan Siliwangi dan Laskar Hizbullah. Kedua pasukan kemudian merangsek dan menembakkan senjata ke segala arah. Serangan mendadak itu membuat orang-orang PKI ketakutan dan lari tunggang-langgang meninggalkan Pondok dalam keadaan porak poranda.

___

* Wis, Pak Sahal, panjenengan wae sing budhal, ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni, kiai Gontor yo panjenengan. Aku jogo Pondok wae, ora-ora lek dikenali aku iki (Sudah, Pak Sahal, kamu saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kiai Gontor itu ya kamu. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini)

** Ora! Dudu aku sing kudu ngungsi ... tapi kowe, Zar. Kowe isih enom, ilmumu luwih akeh, bakale Pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladeni PKI kuwi. Ayo, Pak Zar, njajal awak mendahno lek mati (Tidak! Bukan saya yang harus mengungsi ... tapi kamu, Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo, Pak Zar, mencoba badan, walau sampai mati)

*** LABUH BONDO, LABUH BAHU, LABUH PIKIR, LEK PERLU SAKNYAWANE PISAN (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan)

**** Endi Kiai-ne? Endi Kiai-ne? Kon Ngadepi PKI kene. Asu kabeh (Mana Kiai-nya? Mana Kiai-nya? Suruh menghadapi PKI sini. Anjing semua)

***** Endi Lurahe? Gelem melu PKI po ora? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene (Mana Lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun