Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duel

8 Maret 2021   08:26 Diperbarui: 8 Maret 2021   08:29 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Gemuruh suara takbir dan tahlil dari pasukan Muslim memenuhi ruang udara Lembah Badar. Mentari menjelang siang dengan warna cerahnya memancar indah, berpendar menerobos sela-sela daun kurma, menyentuh punggung-punggung pasukan Muslim. Menambah panas tubuh yang sudah menghangat sejak Rasulullah SAW membariskan mereka. Namun, di mata pasukan Qurasy, sinar mentari itu bagaikan tirai perak bercahaya yang menyilaukan mata mereka. Membuat mata mereka yang kurang tidur dan bangun mendadak menjadi semakin perih.

Kedua pasukan yang sedang berhadapan semakin tegang menunggu instruksi dari komandan masing-masing.

Beberapa saat kemudian dari arah pasukan Quraisy, berjalan maju seorang berperawakan gemuk, memakai jubah berwarna merah hati dan bersurban dengan warna yang sama. Pedangnya melengkung di pinggang kirinya. Gagang pedang yang berhiaskan berlian, memantulkan cahaya mentari. Seolah gagang pedang itu mengeluarkan sinar. Begitupun dengan sarung pedangnya yang bersepuh emas. Jelas itu menunjukkan bukan pedang biasa. Melihat pedang yang mewah dan pakaian yang dikenakan, orang tersebut tentu bukan dari golongan biasa.

Beberapa langkah dari pasukan Quraisy orang itu berhenti dan berdiri dengan bertolak pinggang. Memandang lurus ke arah pasukan Muslim, dengan mimik wajah melecehkan.

"Utbah bin Rabi'ah ....," bisik Hamzah bin Abdul Muthalib. "Quraisy langsung menurunkan petingginya untuk mubarazah."

Hamzah bin Abdul Muthalib dan semua orang yang ada di Lembah Badar itu tahu bahwa mubarazah akan dimulai. Sebagai aturan yang tidak tertulis, karena sudah berlangsung sejak lama. Setiap dua kubu yang akan berperang, akan menghadirkan para jagoannya masing-masing untuk melakukan perang tanding atau duel satu lawan satu.

Kali ini Quraisy mengambil langkah inisiatif pertama, menantang dengan menurunkan Utbah bin Rabi'ah, salah seorang pemuka Quraisy. Yang mengagetkan Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia tidak menyangka Quraisy akan menurunkan langsung salah seorang petingginya.

Sorak sorai pasukan Quraisy mengiringi Utbah bin Rabi'ah yang sudah berada di tengah arena perang.

"Hai .... Muhammad. Suruh maju jagoanmu!" teriak Utbah bin Rabi'ah, dengan tetap bertolak pinggang.

"Keluarkan tiga orang jagoanmu sekaligus," teriaknya lagi. "Ini adikku Syaibah ..." teriak Utbah seraya merentangkan tangan kirinya, kemudian, "Dan ini anakku Walid ...." Dia merentangkan tangan kanannya.

Syaibah bin Rabi'ah dan Walid bin Utbah pun maju mensejajarkan diri di kanan dan kiri Utbah bin Rabi'ah.

Dari barisan pasukan Muslim keluar tiga orang pemuda, semuanya dari golongan Anshar. Auf dan Mu'awidz, keduanya bersaudara putra dari al-Harits, dan yang ketiga Abdullah bin Rawahah. Mereka memposisikan diri di hadapan Utbah, Syaibah dan Walid.

"Heh, siapa kalian?" Utbah bertanya, memandang remeh ketiga pemuda Anshar itu.

"Kami pemuda-pemuda Madinah yang akan melindungi dan membela Rasulullah," jawab Abdullah bin Rawahah.

"Heh, Aku tidak mengenal kalian! Aku tidak ada urusan dengan orang-orang Yatsrib," hardik Utbah bin Rabi'ah. Kemudian berteriak ke arah Rasulullah , "Hai Muhammad, aku ingin orang-orang yang sebanding denganku."

"Kalian bertiga mundurlah!" Rasulullah berteriak. Ketiganya pun kemudian berbalik dan kembali ke barisan.

Rasulullah menoleh ke arah Hamzah bin Abdul Muthalib dan mengangguk saat Hamzah berpaling padanya. Paham dengan maksud Rasulullah, Hamzah pun maju dan diikuti oleh Bilal bin Rabah. Tapi Hamzah menahan dada Bilal bin Rabah untuk menghentikan langkahnya.

"Bukan kamu!" kata Hamzah bin Abdul Muthalib.

"Ubaidah," Hamzah menunjuk Ubaidah bin al-Harits, "Aku sendiri, dan Ali yang akan maju," Hamzah menoleh ke arah Rasulullah seolah meminta persetujuan. Rasulullah mengangguk tanda setuju.

Ali bin Abi Thalib dan Ubaidah bin al-Harits yang berada di tengah pasukan, mendengar nama mereka disebut melangkah maju membelah pasukan. Pasukan Muslim pun menyibak memberi jalan pada Ali dan Ubaidah.

Ketiganya kemudian mencabut pedang dan melangkah mendekati Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah dan Walid bin Utbah. Suara takbir dan tahlil dari pasukan Muslim mengiringi langkah mereka. Hamzah berhadapan dengan Syaibah, Ubaidah berhadapan dengan Utbah dan Ali berhadapan dengan Walid.

"Apakah kami setara denganmu?" tanya Hamzah menyindir Utbah bin Rabi'ah setelah mereka saling berhadapan.

"Tentu ... tentu, memang kalian yang kami harapkan. Sudah tak sabar pedangku ini membelah dadamu yang murtad itu." Utbah menjawab sambil tergelak. Diiringi tawa dari Syaibah dan Walid. "Bersiaplah! Hiruplah udara sebanyak mungkin, karena sebentar lagi kalian tidak akan bisa melakukannya!"

"Kematian saat berperang melawan musuh-musuh Allah adalah keinginanku. Jadi, ada masalah apa dengan kematianku? Bagiku sekarang, hanya ada Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya." Hamzah menjawab dingin. Sorot tajam matanya tak lepas sedetik pun menusuk mata Syaibah bin Rabiah.

Mendengar jawaban Hamzah, Utbah tidak berkata lagi. Dia langsung mencabut pedangnya dan menyerang Ubaidah bin al-Harits yang ada di hadapannya. Serangan Utbah ini seolah komando untuk menyerang, sehingga Syaibah dan Walid pun menyerang lawannya masing-masing.

Perang tanding keenam jagoan dari dua kubu pun segera berlangsung. Ketiga jagoan Muslim awalnya bersifat defensif, bertahan menangkis serangan lawan. Nafsu kebencian dan amarah membuat ketiga jagoan Quraisy menyerang membabi buta dengan menebaskan pedang mereka ke kanan ke kiri, kadang menusuk. Ketiga jagoan Muslim pun bukan orang sembarangan, mereka mampu meladeni serangan lawan bahkan sekali-kali menyerang balik.

Rupanya Syaibah bukan lawan yang berat bagi Hamzah bin Abdul Muthalib. Dalam satu kesempatan ketika Syaibah mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah, menyerang kepala Hamzah. Hamzah tidak berusaha menghindar dengan bergerak ke samping, tapi dia menjatuhkan badan kemudian menebaskan pedangnya ke arah kaki Syaibah. Tak ayal, kaki kanan Syaibah yang baru melangkah terkena sabetan pedang Hamzah. Tebasan pedang dengan sepenuh tenaga itu hampir memutuskan kaki kanan Syaibah. Syaibah pun jatuh terlentang karena tidak ada penopang tubuhnya. Tak mau berlama-lama, Hamzah kemudian berdiri dan menusukkan pedangnya ke dada kiri Syaibah. Syaibah hanya bisa membelalakkan mata, ketika nyawanya lepas.

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Suara takbir pun semakin bergemuruh. Sebagai bukti syukur, satu nyawa musuh Allah sudah melayang.

Dalam pada itu, duel antara Ali bin Abi Thalib dengan Walid bin Utbah berlangsung lebih seimbang. Kedua pemuda yang masing-masing memiliki tenaga kuat terlibat saling serang. Walid sangat bernafsu ingin segera menyelesaikan duel, apalagi saat mengetahui pamannya tewas.

Ali bin Abdi Thalib masih terlihat tenang meladeni tebasan dan tusukan pedang Walid. Karakter Ali yang pendiam rupanya juga terbawa dalam perang tanding ini. Ali hanya bertahan, pedangnya yang lebih Panjang dan ujungnya bercabang, membantu menahan serangan-serangan Walid. Tapi, menyerang secara terus-menerus tentu membutuhkan tenaga ekstra. Sehingga lama kelamaan tenaga Walid bin Utbah terkuras. Serangannya semakin melemah. Dan ini dirasakan oleh Ali bin abi Thalib tatkala pedang mereka beradu.

Di satu kesempatan, saat Walid bin Utbah menebaskan pedangnya menyerang pinggang Ali sebelah kiri, Ali menyongsongnya dengan menusukkan pedangnya ke arah pedang Walid. Pedang Walid pun terselip di ujung pedang Ali yang bercabang. Ali kemudian memutar pedangnya dan mengibaskannya, sehingga pedang Walid terlepas dari tangannya dan terlempar jauh. Repleks Walid melihat pedangnya yang terlempar, kelengahan ini pun dimanfaatkan Ali. Dengan sekali tebas kepala Walid pun berpisah dengan badannya. Darah pun memancar dan tubuh tanpa kepala Walid Ambruk seketika,

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Suara takbir semakin membahana, menambah riuh lembah Badar.

Di pihak lain, pasukan Quraisy terpana. Mereka tidak mengira kedua jagoannya bisa dikalahkan dalam waktu cepat. Abu Jahal terlihat geram, memerah mukanya. Melihat dua jagoannya sudah tewas. Harapannya tinggal satu, Utbah bin Rabi'ah. Abu Jahal sedikit tersenyum saat melihat Utbah mampu mendesak Ubaidah bin al-Harits, dan berharap Utbah bisa membunuh Ubaidah, untuk mengobati kekecewaannya.

Ubaidah bin al-Harits yang sudah berumur memang bukan tandingan Utbah bin Rabi'ah, salah seorang tokoh Quraisy yang disegani. Beberapa kali Ubaidah terjatuh saat menahan serangan Utbah. Bahkan beberapa kali sabetan pedang Utbah mengenai tubuhnya, sehingga tubuhnya banyak mengeluarkan darah, dan ini membuatnya semakin melemah. Ketika terjadi saling dorong dengan pedang mereka beradu, Utbah dengan licik mencabut pisau dari pinggang kanannya dengan tangan kirinya dan langsung menusukkan ke tubuh Ubaidah.

Ubaidah bin al-Harits terjatuh berlutut, tangan kirinya memegang pisau yang menancap di perut bawahnya. Utbah bin Rabiah semakin bernafsu melihat lawannya jatuh. Dengan sekuat tenaga dia menebaskan pedangnya ke punggung Ubaidah, meninggalkan luka memanjang. Ubaidah berteriak kesakitan. Ingin segera mengakhiri hidup lawannya, Utbah sudah bersiap mengayunkan pedangnya ke arah tengkuk Ubaidah.

Hampir saja pedang Utbah berhasil memisahkan kepala Ubaidah dari badannya, kalau pedang Ali bin Abi Thalib tidak menahannya. Hanya beberapa senti di atas tengkuk Ubaidah.

Melihat serangannya gagal, Utbah bertambah emosi, lalu mengayunkan pedangnya menyerang Ali. Ali tidak mengelak, tapi menahan dengan pedangnya dan kemudian mendorong tubuh Utbah. Tubuh Utbah pun terjengkang ke belakang, Hamzah yang kebetulan berdiri di belakang Utbah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ditusukkannya pedangnya ke punggung Utbah sampai tembus ke depan. Utbah bin Rabi'ah pun tewas dengan mata terbelalak. Sesaat Hamzah menoleh ke arah pasukan Muslim. Netranya menatap Huzaifah, dan terlihat Huzaifah bin Utbah menundukkan kepala seraya menutup muka dengan kedua telapak tangannya.

Hamzah dan Ali kemudian mendekati Ubaidah bin al-Harits yang tergolek lemah karena banyak mengeluarkan darah, keduanya lalu membawa Ubaidah bin al-Harits kembali ke barisan pasukan Muslim. Rasulullah kemudian mendekati tubuh Ubaidah. Melihat Rasulullah ada di dekatnya, Ubaidah berbicara pelan.

"Alastu syahiidan yaa Rasulallah*?" bisik Ubaidah bin al-Harits.

"Asyhadu annaka syahiidan*," jawab Rasulullah di dekat telinga Ubaidah.

Mendengar jawaban Rasulullah , seketika itu juga Ubaidah bin al-harits syahid dalam keadaan tersenyum.

Kematian ketiga jagoan Quraisy menambah semangat pasukan Muslim. Ini bisa menjadi tanda-tanda bahwa kemenangan akan berpihak kepada mereka. Sementara bagi pasukan Quraisy, yang sudah dibutakan matanya oleh nafsu amarah, kematian ketiga jagoannya dirasakan bagaikan minyak mengguyur bara api.

*"Tidakkah ini (mati) syahid ya Rasulullah?"

*"Sesungguhnya aku menyaksikan bahwa engkau (mati) syahid"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun