Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dag Dig Dug Menanti Negatif

7 Agustus 2020   08:55 Diperbarui: 7 Agustus 2020   09:01 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : megapolitan.kompas.com

Sebuah pesan singkat sempat singgah di gawaiku. Saat jemari bercengkerama dengan putaran waktu. Satu per satu hingga pagi itu kualihkan pada sebuah aktivitas, memotong kacang panjang.

Beberapa helai bersiap beraksi di atas penggorengan. Tanganku pun tanpa henti mengupas butiran bawang. Oseng kacang panjang.

Berhias terasi, cabai hijau dan tomat, lengkap. Vitamin C pun kian mantap. Imun harus terjaga di tengah gundah hati yang barangkali sulit terbaca. Tak mengapa.

Racikan bawang dan cabai telah dipotong memanjang. Tomat bulat-bulat pun menghampiri nampan. Kulihat layar gawai menyala tanda pesan baru diterima. Meski pikiran terbagi, aku berusaha sedikit berkonsentrasi.

Seketika tanganku sibuk mengeksekusi di atas tungku api, mataku tak henti menyimpan perasaan penasaran, apa isi pesan tadi? Kubuka sembari duduk dengan beberapa helai kacang panjang yang nyaris hilang dari pandang. Seakan deru hati kian mendominasi pikiran.

Perlahan kualihkan mata membaca pesan dan membalas sebisa jemari tangan. Hingga tak satupun yang kulewatkan. Kacang panjang jadi sasaran beradunya hati dengan seuntai pertanyaan. Negatif kan?

Saat daun jatuh dari ujung tangkai pepohonan. Begitulah aku mengurai dengan segenap penantian. Dag dig dug. Degupku kian kencang. Aku kembali menatap beberapa helai kacang panjang.

Kuraih panci kupindahi yang sudah kupetiki untuk siap kusiangi. Lalu kuhampiri kembali gawai yang kuletakkan di atas meja dekat kuberdiri. Sebentar saja sembari berpikir untuk yang kesekian kali, semoga negatif.

Kubuka kunci gawai. Saat layar kusentuh dan telah berganti, satu pesan terlihat mengendap namun pasti. Perlahan kubaca walau hati belum jua terbaca.

"Mba kok belum ada kabar ya, hasil swab beliau negatif kan?"

Mataku tertunduk lesu. Kupikir kepastian yang kutunggu. Ternyata pertanyaan yang sama seperti pikiranku. Tak ada kabar, kuurai kembali kacang panjang. Kunikmati acara mencuci di bawah derasnya air keran.

Dag dig dug semakin tak karuan. Pikiranku berkecamuk kian mengulur penantian. Kau tau, saat tukang bangunan mengaduk pasir dan semen hingga tercampur dan siap digunakan. Seperti itulah kira-kira hatiku terombang ambing waktu hingga kuterjaga dari lamunan.

Pesan yang membuncah pikiran. Sempat terlupa, tetiba kembali pada ingatan yang sama. Dag dig dug. Kuperhatikan gawai dengan beragam notif berbeda, negatif tentu jadi bidikan utama.

Nasib kacang panjang pun segera kuselesaikan. Bersama bumbu lain yang setia menunggu dalam wajan. Usai rapi segera saja api kumatikan. Oseng kacang panjang menatapku, seakan tau jikalau aku masih saja menunggu jawaban dari sebuah pertanyaan. Negatif kan?

Kembali kuraih gawai, lanjut kubaca pesan yang terangkai. Beberapa teman mulai gundah. Tak terkecuali diriku, resah. Tersebab enam hari tertahan di rumah. Kalau bosan, sudah biasa. Namun dag dig dug kali ini sungguh berbeda.

"Aku sudah ditunggu bosku, beberapa hari aku tak masuk kerja. Hanya untuk satu kata menjaga. Menunggu hasil beliau yang sempat kontak dengan kita."

"Betul, ditunggu hasilnya. Jangan terburu-buru keluar rumah dulu. Kita saling menjaga dan membantu."

"Ya, jangan sampai terjadi hal yang sama. Tak jadi negatif. Lalu positif? Nah, begitulah."

Naluri para emak untuk saling menjaga kian menggema. Hal itulah yang kemudian dijadikan senjata. Pengalaman lalu menjadi pelajaran yang begitu berharga. Menunggu dengan setia hingga hasil akhir benar-benar nyata. Negatif bukan positif.

Tak ada yang sempurna di dunia. Kita dicipta untuk saling menjaga. Memahami bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Menjaga agar ketidaksempurnaan tak menjadikan hidup kehilangan makna cinta. Itulah yang kita lakukan, meniti bersama sebuah penantian tanpa mengingkari jawaban di luar harapan.

Berada di tengah lingkungan warga dengan kondisi mobilitas yang cukup tinggi. Membuat kami lebih mawas dan sadar diri. Menerima kenyataan, senantiasa meningkatkan imun dan kehati-hatian.

Sabar. Di atas langit masih ada langit. Masa ini memang begitu sulit. Bahkan kerap menyuguhkan catatan yang teramat rumit. Keterpurukan hanya memberi kesempatan tuk berpikir sempit. Semangatlah yang dipersiapkan, bersiap tuk bangkit.

Saat menunggu hasil dengan perasaan luar biasa. Hingga mata masih saja waspada. Hati pun tak henti siaga. Kemungkinan terburuk harus rela kita terima. Di tengah raga yang semaksimal berusaha. Satu harapan yang tak henti ditambatkan, negatif kan?

Gawaiku kembali beraksi. Seakan dialah satu-satunya saksi. Musim pandemi tak ada cara lain untuk berbicara pada kami, selain begini. Online.

Menilik pada apa yang menjadi kenyataan saat ini. Pandemi. Bukan sebuah masa yang baru menyapa. Sudah beberapa waktu hingga menelan banyak korban jiwa. Ya, menakutkan. Namun bukan berati kita pasrah dalam diam.

Meski ketakutan kerap menjadi sasaran pun ancaman. Paling tidak segenap usaha menyikapi dengan bijaksana agar tetap tenang.

Memahami dan melakukan tindakan antisipasi. Saling menjaga di masa tak biasa ini. Sebab virus berbahaya tak tau bagaimana menyapa tiap-tiap manusia. Masing-masing orang memiliki daya tahan serta reaksi tubuh yang berbeda-beda.

Lantas bagaimana menyikapinya?

Tenang dan gembira. Anggap semua orang itu sakit, sehingga kita bisa lebih tanggap dan ekstra menjaga agar tak mudah terjangkit. Bukan hanya untuk kepentingan dan keselamatan diri saja, namun juga kelangsungan hidup orang-orang di sekitar kita. Tak boleh lengah, Dia pun tak ajarkan ilmu menyerah.

***

Sedari pagi, siang, petang, hingga malam, tak henti layar gawai kami kunjungi, berdamai dengan berkecamuknya hati. Rasa kian berdebar. Berharap segera ada tanda digelar kabar.

"Belum Mba?"

Beberapa pesan disertai emot penasaran. Menghiasi laman di sela percakapan. Dag dig dug kembali dalam wajah penantian.

"Jika hasil beliau negatif. Kita tak segan untuk keluar. Aman. Aku sudah rindu menghirup udara segar."

"Sama. Aku juga ingin pergi ke kolam lele, beberapa hari makan daging sapi, bosan."

Dag dig dug, rasa hati melebihi saat hendak dilamar. Atau kencan pertama bersama pacar. Wah itu sih bisa membuat tertawa lebar. Kurasa ini tak sekadar ujian sabar. Lebih pada bagaimana menata hati untuk tetap tegar.

Gawaiku kembali bergetar. Beberapa notif bertambah menambah penantian dalam ketidakpastian semakin ditebar. Dag dig dug. Tak hanya perasaan, namun kerja jantung kian berlari kencang. Penasaranpun tak henti dihembuskan.

Aku kembali pada angan yang menerawang. Hingga menembus batas ruang keyakinan. Serangkai notif hadir secara bersamaan. Beragam kabar disampaikan. Dan akhirnya.... Dag dig dug. Rasaku berkecamuk.

Kali ini tak hanya mata. Namun hati turut berkaca. Sembari tangan berbicara. Kutundukkan diri tersungkur dalam simpuh luruh di hadap-Nya. Terimakasih. Dag dig dug ujung dari sebuah penantian. Menemui satu titik harapan, negatif kan!! Alhamdulillah.

Niek~
Jogjakarta, 7 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun