Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Andai Toleransi Lebih Ringan dari Kapas

23 Agustus 2016   13:28 Diperbarui: 23 Juni 2017   22:21 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Dok. Pribadi II Saya dan kawan-kawan dari Sekolah Agama ICRP Jakarta saat berkunjung ke Vihara di kawasan Cina Benteng, Tangerang (31/1/2014).

Beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah mengalami kemunduran dalam menyikapi keberagaman antar umat beragama, tidak lagi mempedulikan kerukunan hingga keamanan dalam menjalankan ibadah serta keyakinannya masing-masing. Baik di perkotaan atau pedesaan sama-sama memiliki nilai intoleransi yang tinggi, hal ini didukung pula oleh berkembangnya dunia maya dan media sosial sebagai “alat kampanye” gerakan intoleransi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dimaknai dengan beberapa hal, seperti: 1) sifat atau sikap toleran, 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, 3) penyimpangan yang masih dapat diterima. Dan pada pembahasan kali ini, poin satu dan dua adalah definisi yang saya pakai untuk menjabarkan tentang pentingnya menjaga kerukunan umat beragama pada era media sosial.

Memandang sikap toleran yang sekarang tidak lagi menjadi asas utama untuk menciptakan rasa damai dalam diri sendiri dan orang lain, sehingga seseorang yang intoleran bisa menularkan sikap tersebut kepada lingkungan sekitar dengan sangat mudah. Dari masyarakat awam hingga tokoh nasional sekalipun telah menjadi juru kehancuran terhadap kerukunan umat beragama yang telah dibangun selama berabada-abad di tanah nusantara, hingga era dunia maya mengambil peran startegis untuk berbagai propaganda.

Didukung oleh media sosial yang memiliki akses cepat dan transparan, maka segala informasi atau seruan untuk bersikap intoleran akan semakin mudah sampai pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang memiliki visi misi sejalan. Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, ungkapan tersebut kiranya dapat menggambarkan bagaimana kekuatan media sosial dapat mengubah dan mempengaruhi cara pandang seseorang.

Mereka yang terbilang intelek belum tentu bisa bijaksana untuk menggunakan intelektualitasnya dalam bersikap. Begitu pula mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, kita tidak dapat menghakiminya sebagai orang yang “sesat” dalam berperilaku untuk menghadapi perbedaan dan keberagaman dalam beragama dan berkeyakinan.

Siapapun bisa mengakses internet dengan begitu mudah, namun apakah mereka mampu menjaga dirinya dari berbagai macam pengaruh negatif yang disebarkan orang-orang tidak bertanggung jawab melalui media sosial adalah perkara lain. Yang paling menjadi sorotan masa kini adalah hilangnya kesadaran dalam diri manusia untuk bertenggang rasa dan menghargai orang lain dan keyakinannya. Seakan tidak siap menghadapi perbedaan di luar dirinya, sebagian kelompok mengagungkan ajaran agamanya dan bersikap menistakan ajaran agama lain.

Orang Pintar Belum Tentu Dapat Mengamalkan Ilmunya

Sikap menistakan ajaran agama lain dan menyebarkan kebencian adalah satu sifat seseorang belum dewasa secara intelektual dan spiritual. Apa guna merendahkan kepercayaan orang lain bagi dirinya kemudian menyebarluaskan sikap tersebut kepada masyarakat umum? Bukankah dengan demikian, ia telah menjatuhkan kewibawaan pribadi?

Saya merasa heran dengan orang-orang yang dengan mudah menghujat dan menjatuhkan seseorang atau golongan lain karena agama yang dianutnya, serta ajaran yang dipraktekkan berdasarkan keyakinan kepada Tuhan yang ia percaya. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hak Tuhan dengan hamba, bukan hak hamba untuk menilai hamba yang lain. Begitupun antara hubungan hamba dengan hamba yang lain, tentu masih dalam hak kuasa Tuhan sebagai Sang Pencipta. 

Beberapa golongan dalam masyarakat Indonesia sudah melampaui batas kemanusiaan. Mereka beribadah pada Tuhan, tapi menindas hamba-hamba Tuhan yang lain. Mereka seperti lupa bagaimana caranya menghargai sesama makhluk Tuhan. Dalam konteks ini, para pemeluk agama-agama di Indonesia kian hari semakin merasa curiga antara yang satu dengan yang lain karena kondisi yang tidak aman diciptakan dari dalam diri mereka.

Dahulu kala, tidak ada istilah “memanusiakan manusia” karena semua individu masih memegang norma-norma agama dan sosial di dalam kehidupannya. Namun masa kini, istilah tersebut seakan tamparan kerasa bagi setiap golongan yang menindas dan mengintimidasi golongan yang lain. Mereka yang mempunyai kekuasaan, menggunakannya untuk mencapai tujuan yang tidak terpuji. Mereka yang populer, menggunakan namanya untuk mencapai keinginan demi menjatuhkan yang tidak berdaya. Mereka yang memiliki harta berlimpah, menggunakannya untuk menjadi motor penggerak agar niat busuk terlaksana, meskipun melalui tangan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun