Hari ini begitu cerah, tak heran jika saat siang hari cuaca sangat terik. Saya bergegas ke pelataran depan rumah karena ingin menunggu tukang sayur langganan, membeli beberapa kebutuhan untuk berbuka puasa. Bang Agus dan gerobaknya sudah nampak di ujung jalan, namun sepertinya masih lama karena banyak juga ibu-ibu yang masih berbelanja.
"Kueeeeeee putu maayaaaaaaang...." suara anak kecil terdengar menjajakan kue khas bulan Ramadan. Aku menoleh, dan menyaksikan dua bocah laki-laki berjalan kaki dibawah teriknya matahari.
Aku tersenyum memanggil mereka, "dek... beliiii!" Suaraku sedikit teriak agar terdengar, langkah mereka terhenti mencarai arah suara. Ya, maklum saja karena saya berada didalam warung milik keluarga.
"Sini.." aku memanggil mereka untuk kedua kalinya agar mendekat. Tak tampak ada kelelahan di wajah mereka berdua, murah senyum dan bersemangat, begitu kesanku pertama kali.

Saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil hape, agar dapat mengabadikan wajah mereka yang ceria. Tak lama kemudian, saya kembali keluar dan menanyakan nama mereka, nama kalian siapa? Mereka menjawab; "saya Giyas, yang ini namanya Arul." Ya, Giyas memperkenalkan si kecil yang bernama Arul.
Saya penasaran dan bertanya lagi; "Arul, berapa usianya?" lima tahun, jawabnya singkat. Ternyata kakak lelaki Arul adalah teman Giyas. Mereka mengaku bahwa kue putu mayang tersebut dijajakan keliling dengan sukarela, sayangnya hari ini kakak Arul tidak dapat berdagang bersama mereka.

Namun yang pasti, hal ini bukanlah upaya eksploitasi anak. Sebenarnya, pemandangan anak-anak yang berdagang kue putu mayang di lingkungan saya sudah terlihat sejak bertahun-tahun lalu. Anggap saja musiman, karena mereka hanya berdagang saat bulan Ramadhan tiba, dan yang dijajakan adalah kue putu mayang, kue khas bulan Ramadhan di kota Jakarta.
Saya tanya pada Arul, kenapa kamu mau keliling berjalan kaki? -- ya, gantikan abang saya, jawabnya sambil tersenyum malu. Alangkah bersyukurnya orangtua yang memiliki anak berbudi luhur seperti Arul dan Giyas.
Mereka tidak hanya berdagang, tapi juga memberi pelajaran hidup. Bagi mereka, berdagang adalah aktifitas menyenangkan, daripada bermain gawai berjam-jam, atau menonton program televisi. Kalaupun mereka mau, mereka bisa saja melakukan seperti yang dilakukan anak-anak seusianya saat bulan Ramadhan menunggu waktu berbuka.

Kue putu mayang adalah salah satu kue basah yang muncul saat bulan suci Ramdhan tiba. Dulu kala, saya hampir tidak bisa menemukan kue putu mayang pada selain bulan Ramadhan.
Putu mayang terbuat dari tepung beras. Bila saat saya kecil warna kue hanya putih saja, maka sekarang tampilan warna kue jadi beragam, seperti merah muda dan hijau.
Bentuknya yang lucu, (seperti kerupuk belum digoreng), serta rasanya yang tawar tapi sedap ditambah dengan kuah yang terbuat dari gula aren. Menciptakan aroma yang wangi dan mantap.
Seringkali keluarga saya selalu melengkapi waktu buka puasa dengan sajian kue putu mayang, nah.. kue yang saya beli dari Giyas dan Arul rasanya juga enak, kata Ibu. Meskipun warna kuahnya sudah tidak sepekat dulu, bisa jadi karena faktor ekonomis. Jadi ekstrak gula aren dikurangi, tapi santan dan air yang ditambah.
Hati saya senang bertemu dengan Giyas dan Arul hari ini, entah besok Allah mempertemukan saya dengan siapa lagi?! - Yang pasti, saya bersyukur karena Allah selalu menunjukkan kebesaranNya. Kita bisa belajar dari apa dan siapa saja, tidak melihat batas usia. Asalkan kita dapat memetik hikmah di setiap hal yang kita temui, maka rahmatNya selalu bersama kita, Amin.
*) semoga para kompasianer sehat selalu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI