Perlahan kuturunkan kakiku memijak lantai. Duduk mendekat kupeluk ibuku. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Dapat kurasakan, ibu menarik napas panjang dan perlahan menghembuskanya.Â
"Istighfar, Buk, " bisikku lirih.Â
Sesaat sunyi, kami sama terdiam membisu. Sekian jeda. Pikiran berjalan sendiri -sendiri. Aku tidak berani membuka kata lagi.Â
Lalu, lembut kurasakan usapan di puncak kepalaku. Aku lebih erat memeluknya. Napas ibu sudah mulai teratur normal lagi.
"Bersabarlah! Seperti kesabaran matahari. Yang berlindung ketika mendung menutupi dan akan bersinar lagi ketika mendung pergi. ," lirih suaranya seakan berbisik.Â
Aku menyimak nasehat bijaknya.Â
"Tabahkan hatimu seperti ketabahan bumi. Yang menunggu hujan di musim kemarau. Untuk menyuburkan berjuta harapan, " lalu tangan halus ibu menyentuh daguku, aku agak mendongak, netra teduhnya menatapku.Â
Sejuk kurasakan menyelimuti hatiku. Seperti sejuknya pagi hari, udara berganti ketika jendela dibuka.Â
"Kamu mengerti? "
"InsyaAllah,"
Kalau ibuku sudah begitu, kasih sayang dan cinta yang mana lagi yang kuragukan. Tidak mungkin kutukar dengan cinta yang lain.Â