Sebelum berangkat ke Museum Nasional, saya memutuskan untuk sarapan pagi di
kafe hotel. Suasana kafe masih sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang duduk santai sambil menikmati minuman mereka. Tidak berapa lama kemudian, Mariko muncul dengan senyum hangatnya. Dia langsung memesan menu yang sama seperti yang saya makan: Soto Ayam.
Di tengah-tengah nikmatnya semangkuk soto ayam yang harum dengan rempah-rempah khas Indonesia, Mariko berkomentar, "Masakan ini benar-benar sedap. Aku bisa merasakan betapa kuat aroma rempah-rempahnya." Namun, ketika dia hendak menyendok sambal ke dalam mangkuknya, saya segera mencegahnya. "Jangan terlalu banyak, kalau tidak biasa makan pedas nanti perutmu bisa sakit," kata saya hati-hati. Mendengar itu, dia hanya tersenyum dan mengambil sedikit saja.
Setelah kami selesai sarapan, saya bertanya padanya dengan nada santai, "Gimana? Jadi ikut aku ke museum hari ini?"Â Â
"Iya," jawabnya singkat namun mantap. Â
Sebelum naik bus Transjakarta, saya mengantarnya ke minimarket untuk membeli kartu Flazz sebagai alat pembayaran transportasi bus. Pagi itu hari Sabtu, bus Transjakarta belum terlalu ramai penumpang. Perjalanan pun terasa nyaman tanpa terhalang macet. Setelah berganti bus sekali, akhirnya kami tiba di Halte Balai Kota Dari halte, kami berjalan kaki menuju Museum Nasional, yang lokasinya tidak jauh dari Tugu Monas (Monumen Nasional). Â
Sesampainya di depan museum, kami melihat antrian cukup panjang di loket tiket masuk. Hari Sabtu memang selalu ramai oleh pengunjung yang ingin melihat koleksi sejarah bangsa ini. Setelah mendapatkan tiket, kami memasuki area museum. Â
Langkah pertama memasuki ruangan utama langsung disambut oleh deretan artefak kuno yang dipajang rapi di pinggir ruangan. Di pintu masuk, terdapat arca Ganesha dalam posisi duduk yang cukup besar, memberikan kesan megah sekaligus mistis. Satu per satu artefak menjadi sorotan kami. Mariko tampak begitu tertarik, meskipun dia tidak mengerti bahasa Indonesia. Maka, saya pun berperan sebagai penerjemah dadakan, membacakan setiap keterangan yang tertulis di bawah artefak untuknya. Â
Ada puluhan artefak peninggalan zaman Hindu-Buddha dari berbagai abad, dipamerkan di ruang tersebut. Kami menghabiskan lebih dari satu jam berkeliling, menikmati setiap detail ukiran dan bentuk patung-patung tersebut. Namun, ada satu hal yang membuat saya penasaran---mengapa tidak ada satupun artefak yang berasal dari zaman Kerajaan Singosari. Â
Hingga akhirnya, kami menemukan sebuah arca kecil yang tertulis sebagai Dewi Parwati, istri Dewa Siwa. Arca ini berukuran mini, namun bentuknya sangat mirip dengan patung perunggu besar Kendedes yang berdiri di pintu masuk Kota Malang. Patung Kendedes, yang berasal dari abad ke-11 Masehi, memiliki posisi duduk bersila dengan wajah tenang, persis seperti arca Dewi Parwati ini.
Pertanyaan pun muncul di benak saya: Mengapa arca kecil dari abad ke-8 Masehi ini memiliki kemiripan dengan patung Kendedes dari abad kesebelas? Apakah mungkin patung Kendedes di Malang merupakan simbol atau interpretasi ulang dari Dewi Parwati? Atau barangkali ada hubungan historis yang lebih dalam antara dua era tersebut? Â