Rasa takut itu normal. Tapi ketika dipelihara terlalu lama, ia bisa menjadi penyakit.
Ia menggerogoti keberanian. Ia melumpuhkan akal sehat. Bahkan, ia bisa membunuh kebermanfaatan seorang manusia.
Takut bicara kebenaran.
Takut menegur kezaliman.
Takut disalahpahami jika bersikap benar.
Takut kehilangan kenyamanan karena memilih jalan yang tak populer.
Lama-lama, kita hidup dalam selubung kehati-hatian palsu, padahal yang sebenarnya terjadi: kita membiarkan keburukan tumbuh karena kita enggan terlibat.
Takut yang Wajar vs Takut yang Melemahkan
Tidak semua rasa takut itu buruk. Seperti dijelaskan sebelumnya: takut kepada api mendorong kita menyediakan alat pemadam. Takut kepada kecelakaan membuat kita memakai sabuk pengaman. Bahkan dalam agama, takut kepada neraka adalah salah satu motivasi mulia untuk taat kepada Allah.
Tapi ketika rasa takut itu tidak kita kelola, justru ia bisa jadi senjata setan untuk membisukan kita. Ia menyusup pelan:
“Jangan bicara, nanti kamu dipecat.”
“Jangan bela yang lemah, nanti kamu dibenci.”
“Jangan tampil beda, nanti kamu dijauhi.”
“Jangan coba-coba, nanti gagal.”
Padahal, diam dalam hal-hal penting bisa menjadi bagian dari dosa sosial.
Nabi ﷺ bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Ketika Orang Baik Diam, Orang Jahat Menang
Sejarah mencatat bahwa sering kali yang membuat kezaliman bertahan bukan kekuatan para penjahatnya, tapi karena orang-orang baik diam. Mereka tahu kebenaran, tapi takut berbicara. Mereka menyaksikan ketidakadilan, tapi pura-pura sibuk. Mereka punya pengaruh, tapi memilih aman.