Kekaguman terhadap Kinara Dewi telah terpatri erat di dalam hatiku sejak lama. Bahkan, setiap kali aku bertemu cewek lain atau mencoba membuka hati untuk jatuh cinta, bayangan Kinara selalu menjadi sosok standar bagi gadis lain. Aku tak sadar bila sikap seperti itu malah membuat diriku semakin sulit untuk bisa mudah jatuh hati kepada cewek lainnya. Ini adalah bagian dari sikap yang sulit aku buang---sebuah obsesi mendalam yang terus menghantui pikiranku.
Aku bisa memahami mengapa aku menjadi seperti ini. Coba bayangkan: sejak kelas dua SMP, hampir setiap malam pukul sembilan, aku selalu berjalan di depan rumah Kinara Dewi, rutinitas tanpa lelah, bahkan ketika rumahnya sudah gelap karena para penghuninya tertidur pulas, dan jalanan sepi tanpa satupun orang yang melintas. Terkadang, aku berdiri diam di depan pintu halamannya dan membayangkan Kinara membuka pintu dan menyapa sambil tersenyum manis yang bisa membuat jantungku berdetak lebih kencang.Â
Ada kalanya aku membaca ulang dari banyak surat yang pernah akut ulis untuk dia--- meskipun yang tertinggal hanya sebuah tulisan, tanpa pernah aku kirim kepadanya. Kertas surat warna pink dengan tulisan tinta hitam, simbol perasaan rapuh, kalimatnya berbunyi:
*"Kinara, aku tahu engkau mungkin tak pernah mengerti tentang perasaanku. Perasaan ini datang tanpa permisi, tumbuh diam-diam dalam hati yang tak mampu ku jelaskan. Aku sangat mengagumimu. Â
Bukan sekadar soal memiliki atau kehilangan, melainkan tentang bagaimana setiap kali aku melihatmu, waktu terasa berhenti. Setiap mencuri pandangan kepadamu, angin bagai membeku, detak-detik berlalu sangat berat dan lambat,Meski kenyataannya, engkau tak pernah tahu akan perasaan aku."
Setiap kata dalam surat itu adalah ungkapan hati yang paling dalam. Namun, surat-surat itu tak pernah dia baca. Semuanya tetap tersimpan rapi di kotak kayu kecil di sudut kamar, sebagai bukti dari obsesi yang tak pernah terbalas.
Namun, apa yang sebenarnya yang aku cari? Apakah aku benar-benar mencintai Kinara Dewi, ataukah aku hanya mencintai bayangan ideal yang aku buat sendiri dalam pikiran? Pertanyaan itu sering muncul dalam benak, tapi jawabnya selalu kabur. Yang jelas, aku tak bisa menyangkal Kinara telah menjadi bagian dari hidupku. Ia hanya mimpi yang tak pernah bisa menjadi nyata, namun juga tak ingin aku lepaskan.
Saat ini, aku masih terjebak dalam pusaran kenangan itu. Setiap kali aku bertemu seseorang yang baru, entah itu di sekolah, di kampus, atau di tempat kerja, aku selalu membandingkannya dengan Kirana. Wajahnya yang tenang, senyumnya yang lembut, dan cara dia berbicara yang penuh kesederhanaan---semua itu terus membayangi setiap langkahku, aku menyadari obsesi ini bukan hanya tentang cinta, melainkan juga rasa kehilangan yang tak pernah aku rasakan.
aku hanya bisa bertanya pada diri sendiri: *Mungkinkah suatu hari nanti aku bisa menghapus bayangan ini dan mencintai seseorang dengan cara yang lebih nyata?* Atau apakah aku akan terus hidup dalam dekapan bayang-bayang Kinara Dewi, sosok yang tak akan pernah tahu betapa besar artinya ia dalam hidupku?
Malang, 24 April 2025
 Â