Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Derai Cinta Ujung Senja

20 Maret 2025   04:12 Diperbarui: 20 Maret 2025   04:12 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari pelahan mulai tenggelam menghilang, membias warna lembut jingga menerpa dedaunan. Taman kecil yang sunyi. Adit duduk sendiri id bangku kayu yang lapuk dimakan waktu, ia tak mengerti mengapa langkah kaki menuntun ke sini. Karena mungkin tempat ini, menjadi favorit mereka-Adit dan Rani. Atau mungkin sebab ia ingin mencoba melarikan diri dari kenyataan bahwa Rani bukan miliknya. Pelan berhembus angin, terdengar suara musik dari speaker taman tua di sudut taman memutar lagu  manis. Namun, entah mengapa, jiwanya bergetar. Lagu semestinya menenangkan, malah membuat sesak di dada. Karena ia melihat lagi bayangan Rani dalam angan-bagai menyimpan seribu bintang pada lentik bulu matanya, tipis mempesona bibirnya, derai rambut yang ia biarkan jatuh menutup kening. Semua itu makin membuat Adit bengong sendiri.  Seolah Rani sedang menggores gita cinta yang hanya bisa didengar dalam diam.

Bertanya-tanya Adit, mengapa mesti duduk di taman ini ?, walau hanya di dalam angan, Rani semestinya berdiri didepannya, lalu berjalan mendekat dan menyapa. Adit bisa menikamti wajahnya, atau memberi isyarat tentang perasaannya, yang ia sembunyikan sekian lama. tapi semua itu tak pernah ia lakukan. Seperti kata orang, cinta perlu berkorban, barangkali itulah yang memang seharusnya ia lakukan- menahan diri, meski meledak serasa hati.

Namun setiap kali menyebut nama Rani, mengapa selalu bergoncang di dalam dada? Seperti ombak besar menghantam pantai rasanya, meninggalkan jejak buih yang tak pernah hilang. Bukan untuknya Rani diciptakan, itu pasti. Tetapi ia tak mau peduli. Sebab cinta bukan mesti bersatu, dalam setiap mimpi ia hanya mencumbui bayangan Rani, pada helai rambut Rani yang bergerai jatuh dikening , ia sandarkan harapan.

Kian dingin menusuk tulang angin berhembus membawa aroma tanah basah harum menyegarkan. Menunduk Adit, memandangi rerumputan , seakan mereka pun ikut merasakan beban yang tersimpan di hati. Pada kenangan lama ingantanya kembali, saat mereka berdua kerap duduk di bangku ini.  Manis senyumnya, derai renyah tawanya, senyum manis Rani, bagai angin musim semi-  masih menari - nari di dalam memori, meskipun Rani, kini telah menjauh pergi.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Tersentak Adit dari lamunan. Matanya, bibirnya ,  rambut Rani berkilaun di bawah sinar senja, tampak di hadapannya. Meski Adit tak begitu yakin dengan apa yang dilihatnya, ia pikir hanya ilusi, Rani tersenyum. terasa berdetak cepat jantungnya, bagai genderang dipukul bertalu-talu.

"Kamu baik-baik aja?" bagai alunan lagu keanangan yang lama hilang terdengar kembali, suara Rani menyapa. 

Adit terhenyak, mendengar pertanyaan sederhana, membisu hanya mengangguk diam, jika saja ia bisa mengatakan cinta, saat itu waktunya, Akan tetapi kalimatnya terperangkap dilidah, tak mampu dikatakan. Sambil menunduk Adit tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan getaran dalam dada.

Tanpa bicara Rani duduk disampingnya, hanya diam mereka berdua, menikmati senja perlahan memudar, Tertiup angin rambut Rani, jatuh bergerai dikeningnya-persis dalam setiap mimpi Adit, ia ingin menyentuh mengulurkan tangan, tapi tak dilakukan. Cinta memang mesti berkorbantapi apakah akan membawa damai perngorbanan ini dalam hati?

Adit mencoba mencari-cari keberanian dalam dirinya, tapi yang ia lihat hanyalah ketakutan. Ketakutan  akan ditolak, takut hubungannya akan berubah menjadi sesuatu yang canggung, dan takut akan kehilangan  Rani. Lalu, ia sadar, diam adalah cara termudah  melindungi perasaan, meskipun paling menyakitkan.

Taman semakin sepi. Musik yang tadinya terdengar manis kini berubah sayu, seolah ikut merasakan beban  Adit. Matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan warna biru gelap di langit. Rani bangkit, berpamitan dengan sekejab senyum merekah, lalu melangkah pergi. Adit hanya  menatap punggungnya , yang perlahan menghilang di balik pepohonan. Adit kembali sendiri, bayangan Rani  terus menghantui,  rambut Rani  jatuh berderai di keningnya, dan cinta yang mungkin takkan pernah bersatu.

Namun, dalam kesendirian ini, Adit mencoba mencari arti. Apakah cinta harus  memiliki? Atau cukup mencintai dalam diam, tanpa syarat, tanpa pamrih? Barangkali jawabnya ada di suatu tempat yang tak bisa ia jangkau, di ujung senja yang tak pernah sirna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun