Bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak digunakan untuk mengumpulkan harta, dapat dilihat dari hutang Umar sebesar 86 ribu dirham saat menjelang wafatnya. Umar lalu menyuruh anaknya untuk menjual harta benda miliknya dan milik keluarganya, untuk melunasi hutang tersebut. Dan bila itu belum cukup, agar menjual juga harta dari keluarga Bani Adi. Demikian ditulis oleh Shobahur Rizky (2016) di dalam Al- Turas, Volume XXII, Nomor 1.
Sharifah Hayaati dan Asmak Ab Rahman (2011) di dalam European Journal of Social Sciences, Volume 18, No. 4 menulis tentang sistem pemerintahan Umar. Â Pada masa pemerintahannya, Umar telah memisahkan kekuasaan judikatif dari kekuasaan eksekutif dengan mengangkat beberapa orang qadi, untuk lebih memberi rasa keadilan kepada rakyatnya.Â
Umar juga memperbaiki sistem agraria atas status kepemilikan individu, kepemilikan bersama, dan kepemilikan negara atas tanah. Tujuannya agar tanah dapat memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi seluruh rakyat. Umar juga membangun sistim irigasi, kanal dan bendungan untuk mengatur pendistribusian air bagi pertanian.
Demikian juga dengan Bung Tomo misalnya, sosok legendaris Indonesia dibalik Pertempuran 10 Nopember 1945 Â di Surabaya. Bung Tomo mengobarkan semangat rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu- Inggris yang diboncengi oleh tentara NICA- Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Sehari sebelumnya pada tanggal 9 Nopember 1945, sejumlah pesawat udara Inggris melayang- layang di atas kota Surabaya. Beribu- ribu lembar selebaran dijatuhkan diatas kota.Â
Selebaran itu berisi ultimatum agar para pemimpin Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, Kepala Polisi, dan Kepala Radio Surabaya untuk secara sukarela dan sendiri- sendiri datang ke Jalan Batavia dan menyerahkan senjata yang mereka miliki sebelum pukul 18.00. Ultimatum ini juga berlaku bagi rakyat yang memiliki senjata. Bila tidak dipatuhi, maka tentara Sekutu- Inggris dan Belanda akan membombardir kota Surabaya dengan peluru dan mesiu esok hari.
Namun, ultimatum itu disambut oleh Gubernur Jawa Timur Suryo, pimpinan lasykar, dan rakyat untuk melakukan perlawanan, dengan catatan jika tentara Sekutu yang memulai menyerang. Tanggal 10 Nopember 1945, hampir pukul 09.30, setelah memastikan tentara Sekutu mulai melakukan penyerangan, Bung Tomo selaku pimpinan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia menyampaikan pidatonya. Pidato yang heroik dan berapi- api itu disampaikan melalui corong Radio Pemberontakan.
Inilah sebagian dari isi pidato Bung Tomo itu. "Tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng- banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun".
"Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar- benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita, saudara- saudara, lebih baik kita hancur lebur, daripada tidak merdeka".
"Dan kita yakin saudara- saudara, Â pada akhirnya pastilah kemenangan akan di tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara- saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Â Allahu Akbar, Allahu Akbar, Â Allahu Akbar !. Merdeka !".
Bagi Bangsa Indonesia, pertempuran 10 Nopember 1945 adalah sebuah pertempuran besar pertama yang meletus setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Pertempuran yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan ini, merupakan salah satu penentu tetap berdirinya Republik Indonesia  di masa- masa sesudahnya. Demikian yang dapat kita baca dari buku Bung Tomo (2008), Pertempuran 10 November 1945.Â
Demikian juga dengan seorang Bismar Siregar misalnya, yang di dalam amar putusannya atau pendapatnya sebagai hakim, sering melakukan terobosan hukum demi untuk menegakkan keadilan. Bagi Bismar, keadilan nilainya jauh lebih tinggi daripada hukum -- sebagai salah satu ciri dari konsep hukum responsif. Sementara hukum hanyalah sarana untuk menegakkan keadilan. Sekelumit contoh terobosan hukum yang pernah dilakukan oleh Bismar adalah berikut ini.