Bismar pernah memutuskan pidana mati kepada terdakwa Albert Togas, pelaku pembunuhan atas Nurdin Kotto, staf ahli pada PT. Bogasari tahun 1976. Di dalam persidangan terungkap bahwa korban dibunuh secara sadis. Mayatnya dipotong-potong, dimasukkan kedalam kantong plastik, dan dibuang ke sungai di sekitar Tanjung Priok. Ini bagaikan air susu yang dibalas dengan air tuba, karena pelaku pembunuhan ini sebenarnya telah ditolong oleh Nurdin, saat pelaku di PHK dari pekerjaannya.
"Keyakinan itulah yang membuat saya tidak ragu menjatuhkan pidana mati bagi terdakwa", kata Bismar. Putusan ini menjadi kontroversial, karena tidak sedikit yang menentang pemberlakuan hukuman mati. Demikian yang dapat kita baca pada salah satu artikel pada Lex Jurnalica, Volume 7, Nomor 2, April 2010, yang ditulis oleh Henry Arianto dari Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Jakarta.
Demikian juga pada kasus Ny. Eliya Dado di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, tahun 1978, seperti dimuat pada Hukum online.com, 30 Juli 2015. Ny. Eliya didakwa telah menyandera, memaksa dengan kekerasan, dan menghina Evy yang telah merusak kendaraan milik Ny. Eliya. Meski Evy sudah memperbaiki kendaraan itu, tapi dianggap tidak memuaskan. Untuk itu, jaksa menuntut hukuman dua minggu penjara bagi Ny. Eliya, dengan masa percobaan satu bulan, mengembalikan barang bukti, dan membayar biaya perkara. Majelis Hakim di dalam putusannya mengakui bahwa terdakwa secara syah dan meyakinkan terbukti bersalah sesuai dakwaan jaksa.
Namun, perbuatan terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran yang dapat dihukum lagi. Pertimbangannya, karena telah tercapai kesepakatan damai diantara kedua belah pihak, sehingga terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
Pada tahun 1974, Bismar membuat keputusan yang menghebohkan tentang perkawinan yang tidak berdasarkan hukum perkawinan saat itu. Kasus ini menimpa pasangan beragama Katolik, yang perkawinan nya dilakukan secara agama, tanpa melalui catatan sipil.
Menurut Bismar, perkawinan itu sah, karena pastor yang meresmikan perkawinan itu membawa nama Tuhan. Persoalan ini sempat menjadi polemik hukum, karena dinilai dapat merusak kepastian hukum. Bismar merasa bahagia, karena sebagai seorang muslim, ia telah memberikan rasa keadilan bagi kedua saudaranya yang beragama Katolik itu. Demikian yang dapat kita baca pada Majalah Tokoh Indonesia, Edisi 33.
Tentang sosok Bismar ini, Asiaweek di dalam laporannya tanggal 14 Desember 1994, menggambarkan Bismar sebagai sosok yang berpihak pada keadilan untuk rakyat kecil . "Justice (Bismar Siregar) likes to quote the Koran. Islam 's moral precepts underpin the articles he writes". Dan, jika Anda ingin keadilan, datanglah ke (PN Jakarta) Utara- Timur -- tempat Bismar menjabat sebagai Ketua PN saat itu-- dan temui Bismar. Dalam pandangan Bismar, bagi seorang penegak hukum, keadilan itu hanya bisa ditemukan di dalam hati nurani. Pada Juni 1984, Bismar diangkat menjadi Hakim Agung.
Lalu apakah ada juga orang- orang yang melakukan “hal- hal yang besar”, tapi tidak tertulis di dalam sejarah ? Oh, tentu ada ! Ia mungkin adalah suster Maryam yang dengan ketulusan dan kasihnya mengobati dan merawat pasien yang datang berobat di puskesmas tempatnya bertugas, di sebuah dusun terpencil di ujung Papua.
Ia mungkin adalah mpok Minah, si penjual beras di pasar Benhil yang sudah bertahun- tahun tak mau mengurangi sukatan literannya. Atau, ia mungkin adalah pak Anom, penjaga pintu air Katulampa yang harus tidak tidur, khususnya pada saat- saat musim hujan, untuk mengawasi dan memberi informasi ketinggian air di bendungan secara cepat kepada warga Jakarta dan petugas pengendali banjir.
Tentu saja, mereka yang diberi kelebihan- kelebihan, sebutlah mereka yang sedang diamanahi kekuasaan, yang cerdik- pandai, yang memiliki kemampuan ekonomi, "lebih terpanggil" untuk melakukan “hal-hal yang besar”, dibandingkan dengan mereka yang tidak atau kurang memiliki kelebihan- kelebihan itu.
Hanya bila kita melakukan "hal- hal yang besar" kita bisa disebut sebagai "orang besar" !