Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya, Cina, dan Corona (Part 2)

20 Februari 2020   11:42 Diperbarui: 20 Februari 2020   11:49 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa detik setelah dia berkata seperti itu, ada sesuatu yang meluncur diikuti dengan suara yang luar biasa keras. Suara yang melebah di sekeliling hilang. Senyap seketika. Tidak ada yang bergerak. Namun semua kepala berpaling ke arah pintu. Saya baru menyadari di detik berikutnya. Posisi saya tidak lagi di bangku panjang. Saya terjerembab jatuh dengan posisi bangku terbalik. Saya berada di bawah meja dengan posisi terlentang.

Tidak ada seorang pun yang membantu saya bangun. Bahkan si adik yang saya temani makan hanya berkata, "Ya ampun, kak. Malu-maluin banget. Bangun, deh, cepetan!"

Susah payah saya bangun. Badan terasa remuk. Bahkan saya curigai gegar otak. Orang-orang kembali sibuk dengan obrolannya. Tidak ada yang bertanya apapun. Mungkin ada yang diam-diam merekam dan membagikan ke WeChat atau Weibo, jejaring sosial sejenis Whatapps dan Twitter di China.

Setelah si adik makan, kami keluar kantin. Saya tertatih menahan sakit. Kepala juga agak pusing. Di depan pintu, seorang ayi (bibi) cleaning service menyentuh saya. Ia berkata dalam bahasa mandarin yang diterjemahkan oleh si adik.

"Si ayi tanya, sakitnya di mana?" Terjemahannya begitu.

"Zhe ge (di sini),"saya menunjuk bagian lengan kanan. Sebulan di Beijing, bahasa yang saya kuasai baru sebatas nihao, zhege zhege, dui, duibuqi.

"Kata si ayi, dia bisa bantu ngobatin kakak. Sejenis diurut gitu, kak. Kalau kakak mau, kasih aja tangannya sama si ayi," si adik menjelaskan lagi. Saya mengangguk dan memberikan lengan saya pada perempuan tua itu.

Dia menyentuh tangan saya dengan mulut komat kamit. Persis seperti sedang berada di Aceh. Dikusuk bagian yang sakit. Kemudian sembuh. Ayi yang mengobati saya sama juga, ia berhasil membuat saya merasa nyaman dengan sakit saya.

Ayi berbicara dalam bahasa mandarin. Ia menyuruh saya membalurkan sesuatu pada tangan. Si adik menerjemahkan dengan bahasa Indonesia yang tanggung, "Aku nggak tahu bahasa Indonya apa, kak. Si ayi bilang kakak taruh rouguo  di tangannya. Aduh, rouguo apaan, sih, bahasa Indonya."

Sampai di kamar saya mencari tahu apa arti rouguo. Sayangnya, saya tidak bisa menemukan arti kata ini. Pengucapannya roukuo, sehingga amat susah melakukan pencarian dengan kamus. Bahkan ketiga saya bertanya pada teman dan dosen saya. Mereka pun bingung menjelaskan pada saya. Pasalnya saya menanyakan kata rouguo dengan nada yang salah.

Rouguo diucapkan dengan nada keempat dan ketiga yang berarti buah pala. Buah pala telah digunakan sebagai pengobatan tradisional China sejak zaman dahulu kala. Ketika orang-orang di daratan China mengenal peradaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun