Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya, Cina, dan Corona (Part 2)

20 Februari 2020   11:42 Diperbarui: 20 Februari 2020   11:49 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa kuliah ke China?"

Pertanyaan seperti ini kerap saya terima dan membuka peluang perdebatan. Ada yang menganggap saya pengikut paham komunis sampai dikatai perempuan yang tidak mengerti agama. Di awal saya kuliah ke Beijing, banyak pertanyaan yang membuat sentimen. Memberi penjelasan berulang dan berakhir perdebatan. Sampai akhirnya saya sadar sendiri, orang yang bertanya tidak pernah berniat benar-benar bertanya. Mereka bertanya bukan juga karena peduli. Mereka yang bertanya hanya mencari kelemahan dan memancing emosi.

Tahun kedua, saya sedikit lebih 'cerdas' dalam menjawab. Jika pertanyaan yang sama diajukan, ada jawaban yang saya lontarkan dan selalu berhasil membungkam mereka yang berniat mendebat.

Bukan saya yang memilih China, tapi China yang memilih saya. Bagaimana, ya? Orang yang dipilih berarti posisinya sangat dibutuhkan," begitu saja jawaban saya. Biasanya jawaban ini akan mengakhiri semua perdebatan tentang Saya dan China.

Saya pun tidak mengerti apa yang menarik dari China. Perfilman China selama ini hanya saya kenal sebatas Kung Fu dan drama kolosal. Satu-satunya komik yang menarik perhatian saya tentang China berjudul  The Return of Condor Heroes. Pertama kali saya baca di rumah paman. Saya baca ketika masih duduk di bangku Tsanawiyah. Komik ini bercerita tentang kungfu juga. Namun selipan pengobatan China dan kebijaksanaan Konfusius yang menarik. Ini pun tidak ada kaitannya dengan ketertarikan saya ke China.

Saat menginjakkan kaki ke Kota Beijing, ibukota negeri tirai bambu ini, hal yang pertama yang saya serap adalah soal penerimaan. Saya merasa penduduk Beijing terlalu serius, kaku, dan apatis. Pernah beberapa kali saya melihat kejadian di depan mata, namun tidak ada yang menolong. Hal yang sama pernah saya alami sendiri ketika saya berada di kantin di musim dingin.

Saya bersama teman saya dari Indonesia. Usianya masih 17 tahun, usia kami bertaut sepuluh tahun. Saya tidak makan, hanya menemaninya makan. Kantin ini pun bukan kantin muslim. Jadi, saya tidak berani makan sembarangan. Semester pertama di Beijing, saya masih beradaptasi soal makanan. Soal makanan saya lebih lambat dalam adaptasi. Perkembangan adaptasi perut saya trafficnya sama seperti kemampuan bebahasa mandarin saya. Mampu baca dan lafal, barulah saya aman mengatasi keroncongan.

Waktu itu kantin penuh. Jam makan malam. Di Beijing, orang lokal makan lebih cepat dari orang Indonesia. Pukul lima sampa tujuh sore adalah jadwal makan malam. Datanglah ke kantin jam enam lewat, tidak ada menu yang tersisa lagi. Maka memilih ke kantin jam lima sore adalah waktu ideal dan tepat untuk menikmati makan malam. Makan di kantin atau dabao (bungkus bawa pulang). Saya lebih sering dabao, makannya jam delapan malam. Sesuai dengan jadwal perut orang Aceh memanggil. Mungkin ini pula faktor penyebab orang China bertubuh langsing. Mereka tidak makan lagi lewat jam enam sore.

Kami duduk di dekat pintu. Kursi panjang yang saya tempati agak goyang. Lantai licin. Saya berkata pada si adik, "Ini kursinya goyang, lho."

"Santai saja, kak. Nggak akan jatuh, kok."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun