Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Piramida Ilmu Pengetahuan

16 September 2012   07:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:23 2223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah anda masuk ke sebuah gedung bertingkat tinggi lalu berjalan setapak demi setapak meniti tangga demi tangga dari gedung bertingkat tinggi itu mulai dari tingkat terbawah hingga ke tingkat tertinggi dari gedung itu.yang kemudian ingin saya tanyakan adalah : apa perbedaan cakrawala sudut pandang yang anda alami dalam melihat ke realitas sekitar gedung itu antara ketika anda berada ditingkat terbawah  dengan ketika anda berada ditingkat tertinggi (?).

Ketika anda berada di tingkat terbawah yang anda lihat mungkin hanya pemandangan yang sempit : hanya pagar gedung atau tetangga sekitar gedung itu,anda naik lagi ke atas maka sudut pandang anda akan berubah menjadi lebih luas lagi mungkin satu desa bisa anda lihat,kemudian bila naik lebih ke atas lagi : satu kecamatan ,dan ujungnya ketika anda telah berada di menara puncak tertinggi dari gedung bertingkat itu maka satu kota bisa anda lihat,artinya puncak tertinggi dari gedung bertingkat itu membawa cakrawala sudut pandang anda pada pandangan yang terluas.

Artinya apa yang bisa anda lihat dari bawah-dari tengah dan dari puncak tertinggi akan berbeda beda, sehingga pada puncak tertinggi kita akan melihat segala sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang orang yang masih berada diruangan gedung bagian tengah atau apalagi yang berada di ruangan paling bawah.

Saya ingin bertanya pada hati anda,dan tolong jangan didahului prasangka bahwa saya tengah mengarahkan anda pada sesuatu yang berhubungan dengan apa yang saya yakini,sebab ilmu pengetahuan itu di awal ia bebas untuk dibawa ke arah manapun anda berjalan,yang ingin saya tanyakan adalah : ideal kah bila kita mengenal bentuk ilmu pengetahuan yang tertata secara hierarkis yang diawal pandangan kita bisa seolah serba sempit tapi di puncaknya yang tertinggi kita akan memiliki cakrawala pandangan yang berbeda sehingga kita bisa melihat segala suatu dengan cakrawala pandang yang jauh lebih luas (?) dengan kata lain sebagaimana di analogikan oleh cakrawala sudut pandang yang berbeda beda bila kita berada di tingkatan yang berbeda beda dari gedung bertingkat itu maka pada puncak ilmu yang tertinggi itu mungkinkah kita bisa  mengenal bentuk ‘kebenaran tertinggi’ yang membuat kita bisa melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat dan memahaminya (?)…(ini pertanyaan,silahkan direnungkan untuk dicari jawabannya).

Artinya bila dilihat dengan prinsip ini maka ilmu adalah sebuah alat yang bisa mengantar kita ke sudut pandang yang kita ingini,sehingga bila kita memakai analogi gedung bertingkat dan sudut pandang yang berbeda pada tiap tingkatannya maka : secara prinsipil anda ingin berada di tingkatan yang mana : apakah ingin berada dibawah-ditengah atau dipuncak yang teratas (?) karena bila anda merasa ‘nyaman’ dibawah ya tentu ada ilmu yang membuat anda nyaman berada disitu,begitu pula bila anda ingin merangkak ke ‘tengah’ ada ilmu yang akan mengantarakan nya,dan begitu pula bila anda ingin menggapai puncak yang tertinggi pun tentu ada ilmu yang akan mengantarkan anda ke puncak yang tertinggi itu,pilihan tentu berada ditangan anda.

Saya ambil contoh : bila sehari hari anda bergumul dengan ilmu logika dan menjadikan ‘kebenaran berdasar logika’ itu sebagai ‘parameter kebenaran’ utama bagi anda,maka apakah dengan peralatan ilmu logika itu anda bisa menggapai bentuk kebenaran yang bersifat essensial-hakiki atau bentuk kebenaran tertinggi (?) tentu tidak bukan,sebab dengan berbekal peralatan ‘logika’ semata paling banter manusia hanya bisa menggapai berbagai bentuk kebenaran versi berbagai logika akal - pemikiran manusia yang berbeda beda yang bahkan satu sama lain bisa saling berlawanan,sehingga ilmu logika itu tak bisa mengantarkan anda pada bentuk kebenaran yang bersifat tunggal-yang hakiki.

Sehingga bila kita paralelkan dengan analogi gedung bertingkat itu maka ilmu logika mungkin hanya akan mengantarkan manusia pada tingkatan ruangan bagian tengah dari gedung bertingkat itu belum bisa mengantarkan manusia pada ‘puncak gedung yang tertinggi’.

Dengan kata lain ilmu pengetahuan tertentu melahirkan kacamata sudut pandang tersendiri dan kacamata sudut pandang  yang dilahirkan dari bentuk ilmu yang kita gumuli itu bisa diparallelkan dengan jendela gedung bertingkat tempat kita melihat ke sekeliling gedung itu.sebagai contoh : ilmu logika melahirkan kacamata sudut pandang yang melihat segala suatu tentu sebatas bingkai logika, demikian pula ilmu hikmat melahirkan kacamata sudut pandang tertentu yang melihat segala suatu berdasar hikmat Ilahi.

Sekarang coba anda ambil kacamata yang lahir dari ilmu logika lalu anda coba pakai untuk menilai dan melihat segala suatu : sebatas apa dan mana yang bisa anda gapai dan apa yang tidak bisa anda gapai dengan kacamata ilmu logika itu (?) sekarang coba anda ganti kacamata : coba anda pakai kacamata ilmu hikmat dan coba pakai untuk melihat segala suatu yang ada dan terjadi dalam realitas,maka kebenaran apa dan yang bagaimana yang bisa anda raih dengannya (?) (hanya syarat untuk memakai kacamata ilmu hikmat adalah harus terlebih dahulu memiliki cara pandang ‘bermata dua’ sebab dengan cara pandang ‘bermata satu’ maka manusia tidak akan bisa memahami hikmat Ilahi).

Hanya bila kita membuat rumusan berdasar kepada kategori tertentu bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang digumuli di tingkat bawah sampai pertengahan ‘gedung bertingkat’ itu mungkin adalah ilmu pengetahuan yang baru sebatas kumpulan teori-fakta-data dan se abreg logika-logika versi sudut pandang manusia,dimana ‘puncak gedung tertinggi’ adalah analogi untuk ilmu pengetahuan yang menunjukkan manusia kepada adanya kebenaran yang bersifat hakiki serta kebenaran tunggal yang menghakimi seluruh ‘kebenaran’ versi logika akal dan atau pemikiran manusiawi.

Artinya bila kita pola kan mengikuti analogi gedung bertingkat itu imu pengetahuan tidaklah ber pola acak dan datar sebagaimana yang kita temukan dalam dunia wacana filsafat,mengapa dalam dunia filsafat pola ilmu pengetahuan bersifat ‘acak’ dan ‘datar’(?)  sebab dalam dunia filsafat konsep ‘ilmu’ tidak tertata secara hierarkis karena berujung pada ‘kebenaran yang banyak’ yaitu pada berbagai bentuk ‘kebenaran versi sudut pandang manusia yang beragam’ bukan ke satu titik akhir yang bersifat tunggal, sehingga penggambaran ilmu dengan menggunakan analogi tentang gedung bertingkat itu tak bisa kita gambarkan bila kita menggunakan bingkai filsafat.

Hanya mungkin hal hal yang bersifat teknis yang mesti anda ketahui adalah : jenis ilmu apa saja yang membuat kita bisa masuk ke gedung itu dan merasakan cakrawala sudut pandangnya yang berbeda beda mulai dari tingkat terbawah hingga ke tingkat yang tertinggi (?) tentu anda bisa mencarinya dimana mana khususnya pada sains-filsafat dan kitab suci,mengapa kitab suci harus disertakan (?) sebab se pintar-pintarnya manusia ia tak akan bisa menggapai serta mengenal konsep ilmu hakikat dan ilmu hikmat secara utuh tanpa arahan dan bimbingan kitab suci.

Untuk memahami jalan jalan awalnya mari kita arahkan dengan pertanyaan yang mohon anda jawab dengan kejujuran : bisakah manusia mencapai puncak ilmu pengetahuan yang dari puncak itu kita akan bisa melihat dan memahami realitas secara lebih luas-menyeluruh tanpa bantuan yang maha tahu (?) bila anda yakin Tuhan bisa membawa anda ke arah itu maka ilmu yang mana yang bisa membawa ke arah itu dan bagaimana cara kita menemukan dan menggapainya (?)

Sehingga dalam urusan ilmu pengetahuan apabila manusia ingin mengenal serta memahami ilmu pengetahuan secara tertata-terstruktur secara hierarkis menuju satu titik akhir yang bersifat tunggal maka mau tak mau manusia harus menempuh jalan Ilahi,tak bisa memakai jalur yang biasa orang gumuli dalam dunia filsafat.

Ilmu juga secara ‘kuantitas’ bisa kita ibaratkan seperti bentuk pyramida : diawal,dihulu atau di permukaan ia adalah suatu yang awalnya  ‘berkuantitas banyak’ makin menuju ke puncak makin mengerucut ke kuantitas yang makin sedikit tapi disisi lain berbanding terbalik sebab secara kualitas ia makin mengerucut kepada kualitas yang semakin ‘padat’ – semakin bernilai tinggi hingga ujungnya ilmu pengetahuan itu berujung atau berhenti di satu ‘titik tunggal’ yang bersifat Ilahiah dan itulah puncak pyramida ilmu pengetahuan,artinya puncak ilmu pengetahuan itu bukanlah berada ditangan atau di fikiran manusia, sebab bila ilmu pengetahuan di muarakan ke fikiran manusia maka kebenaran akan bermuara pada yang banyak yaitu pada bentuk kebenaran versi berbagai faham-pendapat-mazhab  bukan kepada yang tunggal.

Analoginya  : bahan baku emas mungkin semula berasal dari bongkahan mineral yang berjumlah banyak yang didalamnya mengandung banyak butiran butiran emas,dimana setelah masuk ke dapur peleburan bahan baku yang secara kuantitas banyak tapi secara kualitas ‘rendah itu’ akan mengalami proses tersendiri sehingga ujungnya yang didapat adalah butiran butiran emas yang kuantitasnya sedikit tapi kualitasnya padat-berisi dan bernilai tinggi.

Maukah ilmu pengetahuan dianalogikan se ideal  itu (?) bila anda tertarik maka diawal saya ingin bertanya kembali pada anda : bisakah manusia menggapainya tanpa bantuan yang maha tahu (?) bisakah manusia menggapai kualitas yang terbaik di bidang ilmu pengetahuan yang mana makna ‘terbaik’ disini adalah  yang parallel dengan seorang yang telah berhasil sampai di muara tertinggi gedung bertingkat itu tanpa bantuan Tuhan (?)

Sekarang marilah kita menengok ke dunia filsafat-sains sebab tidak elok-‘tidak sopan’ dan tidak gentle bila kita berbicara masalah 'ilmu pengetahuan' dan 'kebenaran' tanpa bersanding dan bertanding atau bergumul dengan dunia filsafat – sains.

Bila kita rumuskan seluruh hasil ilmu pengetahuan  yang bisa diperoleh manusia secara maksimal dari dunia filsafat-sains maka bila kita rumuskan : apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu hakikatnya sesuatu yang masih bersifat ‘teknis’ yang harus diolah kembali atau sesuatu yang telah berupa ibarat ‘butiran-butiran emas’ (berupa pengetahuan yang bersifat essensial ) dalam arti ilmu pengetahuan yang telah bisa menggapai ‘hakikat terakhir’,sehingga  bila memakai analogi gedung bertingkat dan pyramida itu apakah ilmu pengetahuan yang didapat dari Dunia filsafat-sains telah langsung bisa mengantarkan manusia pada tingkat yang tertinggi serta pada titik yang ter akhir (?)

Sebagai contoh : bila kita masuk dan menggumuli dunia filsafat maka disamping ketajaman berfikir dan ilmu ilmu yg bersifat mendasar yg bisa kita peroleh  dibalik itu menggumuli filsafat ujung ujungnya  akan selalu ber ujung atau bermuara  pada berbagai bentuk pertanyaan yang sudah tidak bisa dijawab oleh para filosofnya sendiri ,yaitu ketika para filosof mempertanyakan hal-hal yang bersifat hakiki atau yang berhubungan dengan masalah ‘hakikat’ :  seperti : mana yang lebih dahulu ada ayam atau telor,lelaki atau wanita (?),apa hakikat realitas,apa hakikat kehidupan (?)dlsb.

Itu semua menunjukkan bahwa filsafat walau bagaimanapun serta walau dari sisi manapun kita menggumulinya pada akhirnya tetap akan selalu berhenti di satu titik dimana titik itu adalah : pertanyaan ! yang tidak bisa dijawab oleh manusia.artinya pada dasarnya filsafat tidak bisa mengantarkan manusia pada kebenaran terakhir yang analoginya adalah puncak gedung bertingkat atau titik terakhir dari sebuah pyramida.

Contoh lain : bila kita masuk ke dunia sains dan menggumulinya maka ujungnya otak kita akan berisi data 1001 macam teori maupun fakta-data ilmiah,tapi apakah itu adalah ilmu dan kebenaran yang sudah bersifat essensial (?) belum, itu semua ibarat baru bahan baku yang melimpah ruah yang siap masuk pabrik pengolah yang setelah kita olah melalui proses keilmuan tertentu yg bersifat hierarkis maka semua bahan baku yang melimpah itu akan mengerucut pada  kuantitas ‘yang makin sedikit’ : awal nya mengkristal pada lahirnya berbagai konsep rasional yang tersimpan dalam memory otak dan ujungnya setelah mengalami proses pergumulan pikiran dalam jiwa manusia ujungnya akan bermuara kepada satu titik akhir yang tersimpan di hati yang bersifat kualitatif yaitu : ‘keyakinan’.

Sebagai contoh :

-data-fakta  ilmu pengetahuan tentang bagan bagan kendaraan bermotor oleh cara berfikir rasio ujungnya disatupadukan menjadi suatu ‘konsep kendaraan bermotor’ setelah konsep itu meyakinkan maka dibuatlah kendaraan bermotor yang sebenarnya.

-data tentang  alam semesta yang serba tertata dan teratur hingga ke bagan dan organ nya yang terkecil awalnya dirumuskan ke dalam ‘konsep rasional’ yang menerima ide adanya sang desainer alam semesta ujungnya bisa bermuara kepada keyakinan adanya Tuhan

Ini juga menunjukakan bahwa betapapun otak manusia diisi oleh 1001 data-fakta ilmiah ujung-ujungnya semua itu akan bermuara kepada hati juga sebab hati adalah ‘raja dalam jiwa manusia’ tempat keyakinan bersemayam  yang mengendalikan seluruh peralatan jiwa-raga.bila kembali kepada analogy tentang pyramida itu maka dalam otak manusia ditampung seluruh bahan baku ilmu pengetahuan yang melimpah ruah termasuk didalamnya seluruh fakta-data sains yang semua itu secara alami mengalami proses dalam jiwa manusia sehingga ujung nya akan bermuara pada hati akan menjadi ‘keyakinan’ apa…

Dan karena itu janganlah berbangga terlebih dahulu dengan telah berhasilnya anda memasukkan kedalam otak anda ribuan pengetahuan sainstifik sebab artinya itu anda baru mengumpulkan bahan baku semata dan artinya anda belum sampai pada tingkatan ‘mengggapai ilmu dan kebenaran yang bersifat essensial-hakiki ‘.

Nah bila ilmu pengetahuan yang didapat dari dunia filsafat-sains itu ujungnya semua dimuarakan ke satu titik maka  di titik itu apakah anda ibarat seorang yang telah berada di puncak gedung tertinggi  yang dari puncak gedung itu anda bisa melihat ke keseluruhan atau sebaliknya : anda belum bisa menggapainya(?)

Bila bahasan ini saya hubungkan dengan konsep tentang ‘realitas’ yang memiliki dua dimensi antara yang lahiriah-material dan yang abstrak-gaib dan konsep tentang ‘struktur hierarki ilmu Ilahi’ maka ke empat bentuk ilmu itu ibarat jendela yang berada pada tingkat tertentu dari gedung itu,sehingga : sampai batas mana kekuatan dari ke empat bentuk ilmu itu dalam menangkap (dan memahami) realitas (?) misal : dengan ilmu sari’at atau ilmu logika sampai batas mana realitas yang bisa manusia tangkap (dan fahami)?.

Bila kita membuat analogi dengan bentuk pyramida maka : mana diantara ke empat bentuk ilmu itu yang mengarahkan manusia ke titik terakhir atau ke muara ilmu pengetahuan yang bersifat tunggal –Ilahiah (?)

http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/20/mysteri-rahasia-struktur-ilmu-ilahi-bagian-7-tamat/

Sekian …dan mohon diperbaiki kesalahan dari apa yang telah tertulis…Tuhan lebih maha tahu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun