"Ya Allah... beri aku kesempatan untuk kembali..."
Aku menatap langit malam yang pekat, hanya ada bintang-bintang kecil bertaburan. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Malam ini adalah malam pertama Ramadhan, bulan yang katanya penuh keberkahan. Tapi aku? Aku justru merasa hampa.
Di dalam kamar kecilku, aku duduk bersandar di tepi ranjang. Di atas meja, ada mushaf Al-Qur'an yang tertutup debu. Aku menyentuh sampulnya perlahan, jari-jariku gemetar. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membacanya, kapan terakhir kali aku benar-benar mendekat kepada Tuhan.
Tapi yang lebih menyakitkan---aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berbicara dengan Ayah sebelum kepergiannya.
PENYESALAN YANG MENDALAMÂ
Dulu, Ayah adalah sosok yang selalu mengingatkanku untuk tidak melupakan Tuhan. Setiap kali Ramadhan tiba, Ayah selalu bangun lebih awal untuk sahur, membangunkanku dengan penuh kasih. Setelah shalat Subuh, beliau membaca Al-Qur'an di ruang tamu, suaranya merdu, memenuhi rumah dengan ketenangan.
Tapi aku? Aku sering mengabaikannya. Aku lebih memilih tidur atau sibuk dengan urusan dunia. Aku pikir Ayah akan selalu ada, selalu sehat, dan aku masih punya banyak waktu untuk berbakti kepadanya.
Sampai suatu hari, aku menerima telepon dari Ibu.
"Nak, Ayah sakit. Keadaannya memburuk, pulanglah."
Saat itu, aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Aku berpikir, nanti saja, Ayah pasti masih bisa menunggu.