Mohon tunggu...
Maiton  Gurik
Maiton Gurik Mohon Tunggu... Relawan - Pengiat Literasi Papua

| Bebaskan Gagasan |

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Negara Pelupa" Soal Tragedi Sosial Di Papua

26 November 2017   23:28 Diperbarui: 27 November 2017   00:52 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KURUNG waktu sejak tragedi kemanusiaan hingga peringatan terhadap tragedi merupakan periode  kritis bagi masyarakat Papua dan para korban pejuang kemanusiaan dibumi cenderawasih. Mereka menyeruhkan resistensi terhadap negara yang menciptakan amnesia sosial, dan menanti jawaban publik atas kesaksian subyektif  mereka. 

Suara subyektif masyarakat Papua dan para keluarga korban pejuang kemanusiaan  semakin vokal seiring dengan kesadaran bahwa mereka harus melawan amnesia sosial negara. Masyarakat Papua mengungkapkan kesulitan mereka untuk melihat kebenaran realitas dari pandangan mereka dan para keluarga korban pejuang kemanusiaan. 

Kesulitan ini seringkali mengakibatkan masyarakat Papua mengibarkan bendera "putih" dalam pencarian kebenaran mengenai korban para keluarga pejuang kemanusiaan. Mereka akhirnya cenderung membaca dokumen resmi mengenai hidup keluarga korban dari pandangan negara dan menerimannya sebagai kebenaran kitab suci.

Tragedi kemanusian di Papua, seperti kekerasan seksual dan kematian dengan tubuh dibakar atau ditembak atas nama negara, diculik tanpa alasan, telah menghancurkan kehidupan masyarakat Papua dan para keluarga korban pejuang kemanusiaan. Penderitaan itu juga menyerakkan bahasa mereka tiap hari dengan menurunkan air mata. Dalam keadaan psikis yang lelah dan kehilangan harapan,  mereka kadang seringkali ingin mau memilih bungkam dan diam selama periode yang relatif  lama.

Mendengarkan suara para  keluarga korban pejuang kemanusiaan dalam kondisi sedemikian seringkali menjadi aktivitas yang sangat melelahkan tapi juga bersedih atas hati yang terluka itu. Kisah mereka berserahkan, cacat, dan lemah kronologi atas sikap negara keji dan tidak menusiawi. Penderitaan juga menyebabkan masyarakat Papua dan para  keluarga korban pejuang kemanusiaan  sulit mengungkapkan tuntutan mereka kepada pihak-pihak yang menyebabkan kematian hidup korban secara artikulatif. Dalam situasi demikian masyarakat hendaknya menjahui godaan untuk menuntut korban hidup agar berbicara lebih artikulatif tetapi mendengarkan suara korban secara lebih empatik.

Hermeneutika para keluarga korban pejuang kemanusiaan menawarkan pandangan baru dalam memandang persoalan korban tragedi kekerasan negara terhadap masyarakat Papua. Mereka melihat kegagalan hermeneutika politik dalam membela hidup para korban pejuang kemanusiaan.

Titik tolak hermeneutika politik adalah negara. Hermeneutika politik berusaha membongkar identitas negara sebagai pelaku kekerasan tanpa meninggalkan jejak. Mereka sering kelelahan mengejar negara sebagai terdakwa atau tersangka utama dalam tragedi kemanusiaan di Papua. Pada saat yang sama mereka cenderung melepaskan solidaritas mereka dengan para keluarga korban pejuang kemanusiaan. Hermeneutika mulai korban dari sepihan hidup korban yang terserak. Mereka yang memeluk hermeneutika korban mengunakan serpihan hidup korban untuk merekonstruksi wajah pelaku kekerasan. Sekali lagi. Hei negara pelupa -- ingat ada tragedi kemanusiaan besar di Papua - itu adalah salah dan dosamu "segera" sebelum yang punya bumi dan langit mengadilimu.**

Jakarta Selatan Pejaten Village, 24 November 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun