Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gurita Penyakit Jiwa

5 Februari 2019   11:34 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:17 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2007, kerugian minimal yang dialami negara akibat penyakit ini mencapai Rp 20 triliun. Bagaimana dengan 11 tahun terakhir? Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk membiayai pengobatan pengidap penyakit jiwa di beberapa rumah sakit jiwa di Indonesia. Belum lagi imbas sosial ketika pengidap penyakit ini harus berhenti bekerja, memiliki anak dan keluarga, tentu akibatnya akan dirasakan tidak hanya oleh pengidapnya tapi juga keluarga dan anak-anaknya. Banyak diantara anak-anak dari pengidap sakit jiwa tidak terurus dengan baik, pendidikan mereka terputus di tengah jalan, perasaan minder, dan beban psikologis lainnya yang mengancam keutuhan dan kelanjutan pembentukan masa depan mereka.

Aku berusaha menjadi penanya dan pendengar yang baik ketika berbicara dengan Pak Amiruddin. Sejurus kemudian aku melihat air matanya mengalir pelan di kelopak matanya. Aku juga tak kuasa menahan air mata.

"Kenapa Adik menangis?" tanyanya pelan.

"Saya sangat terharu melihat keadaan Bapak, istri dan anak-anak Bapak. Betapa berat ujian yang Bapak hadapi," ucapku.

"Ini sudah jadi takdir kami," katanya sambil menyeka air matanya. Terpikir olehku bagaimana beratnya dia melewati masa-masa selama sepuluh tahun tanpa seorang istri yang meringankan bebannya. Lalu dia harus mengurus sendiri lima orang anaknya. Celakanya lagi, lima orang anaknya nasibnya tidak jauh lebih baik dari nasib kedua orangtuanya, putus sekolah karena kemiskinan.

Inilah efek lain dari kemiskinan, anak-anak diajak atau bahkan dipaksa keadaan untuk putus sekolah demi membantu kedua orangtuanya. Sekolah dapat memberikan peluang bagi setiap orang untuk keluar dari kungkungan kemiskinan, karena di sanalah anak-anak didik membangun pola pikir yang merdeka untuk menentukan masa depannya. Tapi apalah daya, manusia yang dipaksa miskin karena keadaan seperti anak-anak Pak Amiruddin tidak bisa merasakan indahnya pendidikan di bangku sekolah formal. Sekali lagi keadaan telah memaksa mereka memilih tidak sekolah. 


Lalu di mana peran pemerintah untuk memecahkan masalah krusial ini? Apakah cukup menjamin sekolahnya sampai tamat SMA tanpa ada pendampingan dan penyadaran secara terus menerus? Bukankah dengan membiarkan lima orang anak tadi jatuh dalam lubang yang sama seperti kedua orangtuanya, kita telah membiarkan lahir generasi lemah yang mestinya dimasa depan ikut mengisi kemerdekaan bangsa ini?

Setelah berdiskusi panjang dengan Pak Amiruddin, aku putuskan untuk pamit.

"Lain kali kalau ke desa ini lagi jangan lupa mampir ke rumah saya. Dik Mahbub tidak keberatan?"

"Insya Allah dengan senang hati akan saya sempatkan berkunjung kesini, Pak," sejenak kupandang wajahnya, kemudian kulanjutkan, "tak ada sedikitpun  yang  membuat  saya  keberatan  berkunjung  kesini.  Banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang saya dapatkan dari Pak Amiruddin." Kami  berjabat  tangan.  Kupegang  erat  tangan  kasar  yang  dipakai untuk bekerja keras itu. Sejurus kemudian aku merasa menjadi bagian dari keluarga miskin ini. Ya, aku adalah bagian dari keluarga miskin ini. Jika aku melihat anak laki-laki Pak Amiruddin yang pendiam dan berpakaian lusuh, aku teringat masa yang jauh, kira-kira 18 tahun yang lalu.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun