Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gurita Penyakit Jiwa

5 Februari 2019   11:34 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:17 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Enak ya bisa belajar sampai perguruan tinggi kemudian menimba ilmu agama di pesantren Madani. Pasti pengalamanmu banyak," katanya seraya menunjuk rumahnya yang tidak jauh dari tempat kami berjalan.

"Meski belajar di perguruan tinggi dan lulus di sana tepat waktu, kemudian bisa menggali ilmu agama di Pondok Madani, saya tetap perlu belajar banyak dari pengalaman Bapak," ujarku.

Laki-laki yang santun itu kembali menatapku. Aku membalas pandangannya. Kami sama-sama mengangsurkan senyum terbaik.

"Bisa saja. Nanti kita berbagi pengalaman, itupun jika kamu mau," kata laki-laki yang mengenakan kaos biru yang berlambang salah satu partai ini.

"Dengan senang hati, Pak. Saya akan sangat senang jika bisa belajar dari pengalaman Bapak."

Tak lama kemudian, kami sampai di rumah Pak Amiruddin.


Di rumah yang hanya beralaskan tanah dan berdindingkan bambu itu, Pak Amiruddin hidup bersama lima orang anak dan istrinya. Anak-anaknya juga tidak sekolah. Apa alasannya? Bukankah pemerintah sudah mewajibkan belajar sembilan tahun dan tidak ada tunjangan apapun? Pak Amiruddin menerangkan, pemerintah sudah memberikan kemudahan kepada anak-anaknya untuk sekolah sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), tapi belum sempat menyelesaikan SD, anak-anaknya memilih ikut bekerja demi meringankan beban kedua orangtuanya.

Di dekat kamar tamu yang luasnya 2 x 3 m2 ini, dari balik pembatas antara kamar tamu dan kamar tidur, aku melihat seorang perempuan duduk sambil menunduk, kedua kakinya dilekatkan pada kayu besar. Di kayu tersebut ada rantai yang diikatkan di tiang rumah. Perempuan malang itu dipasung.

"Itu siapa Pak? Kok diikat seperti itu?" tanyaku dengan penuh hati-hati.

Dengan berat hati dia menjelaskan cerita pahit yang mungkin telah merenggut seluruh kebahagiaan hidup laki-laki yang dikenal pekerja keras ini.

"Itu istri saya," dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "sudah sepuluh tahun terakhir terjangkit penyakit jiwa. Karena sering mengganggu orang di kampung, saya dituntut warga untuk memasungnya. Berat rasanya melaksanakan tuntutan warga itu, tapi bagaimana lagi, saya tidak bisa menjaganya setiap waktu karena harus mencari nafkah buat anak-anak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun