Mohon tunggu...
Chaca Nugraha Zaid
Chaca Nugraha Zaid Mohon Tunggu... Freelancer - Lifelong Learner

Penikmat Sains, Teknologi, Filsafat, dan Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Fenomena "Post Literasi" pada Tingkat Kesopanan Netizen Indonesia

28 Februari 2021   15:00 Diperbarui: 28 Februari 2021   15:05 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi netizen indonesia (sumber: medcom.id)

Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan hasil riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020. Hasil dari riset tersebut menunjukkan bahwasanya Indonesia berada pada urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Sehingga Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara, sedangkan negara lainnya seperti Vietnam berdiri pada peringkat ke-24, Thailand menempati peringkat ke-19 dan Filipina berada di peringkat ke-13. Sementara Singapura dan Malaysia disebut sebagai negara teladan di Asia Tenggara dengan masing masing berada pada peringkat ke-4 dan ke-2.

Survey berjudul Digital Civility Index (DCI) itu diikuti oleh 16.000 responden di 32 negara. Microsoft menyampaikan ada 503 responden remaja dan dewasa yang terlibat dalam survei tersebut. Penelitian dilakukan mulai April dan Mei 2020. 

Sistem penilaian laporan tersebut berkisar dari skala nol hingga 100. Semakin tinggi skor maka semakin rendah kesopanan daring di negara tersebut. Hasilnya, skor kesopanan daring di Indonesia sendiri naik delapan poin, dari 67 pada tahun 2019 menjadi 76 pada tahun 2020. 

Publikasi atas penelitian yang dilakukan oleh Microsoft tersebut berujung pada ramainya serbuan netizen Indonesia pada kolom komentar akun Instagram Microsoft sebagai reaksi atas hasil survey yang menyebut warganet Indonesia termasuk yang paling tidak sopan. Melihat hal ini, cukup membuat kita miris dengan kondisi netizen di Indonesia yang secara tidak langsung menyatakan bahwa "hasil survei itu benar adanya".

Hal ini pun sangat menarik untuk kita lihat penjelasannya sebagai salah satu fenomena "post literasi (pasca literasi)" yang ada di Indonesia. Penelitian post literasi ini menarik dan lumayan intens dibahas akhir-akhir ini, dapat teman-teman unduh dan baca secara detail pada paper berikut: Masyarakat Pasca-Literasi sebagai Fenomena Baru Revolusi Digital.

Jadi sebenarnya apa itu post literasi? Sederhananya post literasi ini merupakan kondisi suatu masyarakat yang tengah memasuki suatu era digital (yang sangat cepat dan terus berkembang) dan mendukung terjadinya penggabungan unsur-unsur pada tradisi lisan dan tradisiSe teks dalam kehidupan sehari-harinya. Lantas hubungannya apa?


Seperti yang kita ketahui, bahwasanya dalam perkembangan peradaban manusia di bumi ini terjadi periodesasi proses manusia dalam bermasyarakat anatar satu dengan yang lainnya melalui komunikasi. Sebelum ditemukannya aksara pertama (aksara paku) di dunia dari Mesopotamia yang berumur sekitar 6000 tahun silam, manusia berada pada era tradisi lisan yang mana tidak ada aksara sama sekali.

Pada era tradisi lisan ini, semua komunikasi dilakukan berbasis pada suara, informasi tidak terisolasi, tanpa perantara.

a. berbasis pada suara

Suara hadir secara unik dalam suatu waktu yang bersifat seketika. Ketika mengucapkan "indonesia", maka ucapan "in-" sudah lenyap ketika terucap "-do-". Dan tentunya semua pengetahuan hanya bisa tersimpan via memori otak (maka tidak heran jika kita mendengar kisah orang-orang dulu yang memiliki kemampuan hafalan yang luar biasa, karena memang hanya itu satu-satunya cara pada saat itu untuk menyimpan informasi). Telingapun sebagai indera pendengaran memiliki sifat memusatkan semua suara yang ada -cukup berbeda dengan mata sebagai indera penglihatan yang memiliki "blind spot".

b. informasi tidak terisolasi

Informasi yang ada melebur bersama berbagai aspek (ekspresi, intonasi, dll) ketika terucap. Pengetahuan pun bersifat personal, subyektif, dan kontekstual. Jika seseorang berbicara maka kita akan ingat informasi itu disampaikan oleh siapa orangnya, bagaimana caranya berbicara, dan kepribadiannya (berbeda dengan kalau kita membaca mendapatkan informasi dari tulisan, maka kita tidak dapat langsung melihat orangnya seperti apa). Pengetahuan pun pada saat itu miliki seorang tokoh, jika ingin belajar ya datang langsung kepada tokoh tersebut (sehingga budaya penokohan sangat kuat, agar ilmu tersebut diturunkan secara temurun). Dalam menyimpan informasipun tidak ada cara lain selain dengan cara menghafal, sehingga struktur pikiran cenderung konkrit (hanya berdasarkan apa yang didengar dan dialami).

c. tanpa perantara

Tidak adanya jeda perenungan antar penerimaan informasi dengan responnya, sehingga komunikasi cenderung reaktif. Hubungan sosial pun mempengaruhi interaksi (beda interaksi dengan orang yang disukai dan dibenci). Status dalam suatu kelompok pun menjadi penentu utama dalam mengidentifikasi diri (jika kamu A dan saya B, berarti kita berbeda).

Era tradisi lisan tersebut berakhir, dan digantikan oleh era tradisi teks dengan ditemukannya aksara dan literasi. Aksara itu lebih kepada satu simbol yang mewakili suatu konsep (masih ada sedikit sisa tradisi lisan padanya). Misalnya "gambar pohon" ya berarti pohon. Sedangkan literasi tumbuh pasca alfabet Yunani yang memecah suara menjadi huruf-huruf (abstrak) yang mewakilinya untuk membentuk suatu kata. Sehingga secara psikologis, literasi ini mempengaruhi cara berfikir mereka yang logis, abstrak, analitis, objektif, kritis, sistematis, dan terstruktur. Sehingga transfer informasi dan pengetahuan termediasi oleh teks.

Funfact nya adalah, salah satu alasan filsafat itu lahir dan tumbuh pesat di Yunani karena aksaranya yang pecah dalam mewakili suara (pada tradisi lisan) sehingga memicu lahirnya pemikiran analitis (melalui penyusuanan kata, kalimat, pendefenisian konsep-konsep abstrak, dll) dan kemudian berujung pada perkembangan literasi dan ilmu pengetahuan.

Dan selanjutnya era post literasi (pasca literasi) ditandai dengan adanya internet, pada era ini terjadilah ketercampuran aspek dari tradisi lisan dan teks. Pada era ini terjadilah revolusi teks. Apa itu teks? Segala sesuatu yang bisa “dibaca” dan merepresentasikan suatu verbal content yang ditekstualisasi mealui suatu objek, baik material maupun virtual. 

Semua yang bisa dijadikan tempat tekstualisasi disebut teks: pelepah kurma, batu, tulang, daun, dll. Kemudian kenapa disebut revolusi teks? Karena adanya perubahan yang cukup mendasar (rovolusi) yang awalnya teks berada pada benda-benda yang dapat kita lihat secara nyata, namun sekarang berubah menjadi bentuk berbeda yaitu multimedia dan hiperteks.

a. revolusi teks-multimedia

Revolusi teks-multimedia ditandainya dengan adanya radio dan televisi (TV) yang menghadirkan kembali tradisi lisan secara parsial (kelisanan sekunder). Kenapa dinamakan kelisanan sekunder? Karena suara dihasilkan dari kesengajaan (alternatif selain teks) yang memang tidak utuh seperti di tradisi lisan. Sedangkan kelisanan pada masa pra-literasi dinamakan kelisanan primer karena bersifat natural karena ketiadaan alternatif (satu-satunya hidup hanya dengan lisan), sedangkan kita saat ini punya banyak opsi (teks atau lisan).

1. Radio

  • Teks hadir sebagai suara
  • Sifat-sifat suara, yang membedakannya dari teks visual, lahir kembali
  • Informasi yang tersampaikan hadir hanya dalam suara, tidak secara utuh seperti kelisanan primer
  • Informasi bersifat spontan, namun terpisah dari subjek seperti teks
  • Suara itu dipisahkan dari sumber aslinya (punya sifat kelisanan dan sifat tradisi literasi)

2. Televisi (TV)

  • TV menghadirkan lebih banyak aspek ketimbang radio, seperti visual pembicara
  • TV tetap tidak mengembalikan sepenuhnya kelisanan, karena informasi yang tersampaikan tetap berupa potongan, terbingkai dalam kerangka kecil yang terdsain (sifatnya bisa manipulatif karena settingan. Tidak seperti kelisanan primer yang spontan).

Aspek literasi (teks) pada TV dan Radio masih cenderung mendominasi ketimbang aspek kelisananannya. Penyiar di TV/radio hanyalah perantara, bukan pemilik sepenuhnya informasi, ia hanya mewakili institusi dengan tujuan tertentu. Banyak aspek yang tersaring dalam informasi yang tersampaikan via TV/radio. Khusus TV, apa yang dihadirkan tidak hanya sekedar “terlihat”, tapi “diperlihatkan”, sehingga informasi tidak hadir secara utuh apa adanya (seperti di tradisi lisan).

b. revolusi teks-hiperteks

TV dan Radio menginisiasi revolusi teks yang lebih besar yaitu hiperteks (teks yang melampaui teks). Revolusi teks-hiperteks ini ditandai dengan adanya internet yang merevolusi teks menjadi dapat menghadirkan beragam bentuk dan media melalui browser, serta internet memiliki fitur yang pada TV/radio tidak dimunculkan, yakni interaksi langsung.

1. Interconnectivity

  • Peleburan antara penulis dan pembaca, dalam satu nama yaitu warganet. Menunjukkan tidak adanya otoritas. Siapapun bisa menyebarkan tulisan ataupun ucapan sendiri dengan bebas. Berbeda denga media cetak yang diseleksi sebelum diterbitkan. Dengan tidak adanya otoritas, relasi sosial cenderung disruptif dan anarkis.
  • Tokoh-tokoh pada era sebelumnya malah yang cenderung mengendalikan relasi sosial (otoritas tokoh). Saat ini siapapun bisa. Tidak ada batasan waktu, siapapun bisa merespon siapapun kapanpun.
  • Sifat reaktif pada tradisi lisan teramplifikasi. seperti yang kita ketahui ciri-ciri tradisi kelisanan adalah reaktif, namun karena internet maka sekarang “ucapan” dikuatkan. Dulu satu orang berbicara di kelas, ya hanya orang  yang di kelas saja yang bisa menanggapi. Namun sekarang orang sedunia pun bisa menanggapi apapun yang kita sampaikan.

Pada masa kelisanan yang bisa menyampaikan pengetahuan hanya tokoh (maka muncullah penokohan, dimaan pengetahuan bersatu dengan sifat seseorang. Tidak sembarangan orang bisa ngomong). Bahkan di era literasi tidak semua orang bisa menulis yang bisa dibaca banyak orang (masih bergantung otoritas). Berbeda dengan otoritas, yakni pengetahuan tidak terpengaruh dengan karakter. Contohnya Filsuf banyak karakter nya yang jelek walaupun keilmuan nya bagus, namun tetap diperhatikan oleh khalayak ramai tanpa peduli amat dengan karakter penulis. Namun, ketika internet muncul tidak adalagi otoritas, siapapun bisa menulis dan membaca, bahkan tidak ada filter (tulisan dan lisan).

2. Global Society

  • Interaksi antar individu bersifat langsung seperti kelisanan, namun lebih luas (karena tidak ada kendala batasan geografis). Contohnya yaitu pada saat chatting, walaupun bentuknya teks namun semua yang ada di sana sifat-sifat tradisi kelisanan hadir dengan adanya teks yang tidak baku (seolah-olah seperti berbicara langsung). Berbeda dengan tradisi tulisan, dalam menanggapi tulisan di koran tidak bisa langsung (namun saat ini postingan dalam satu menit langsung bisa dibalas).
  • Tribalitas kelompok lebih intens. Lebih mudah menemukan kelompok yang diinginkan ditambah lagi dengan algoritma teknologi sosial media saat ini yang menguatkan apa-apa yang kita sukai.
  • Labelisasi dan pengotak-ngotakan masif di masyarakat, dalam beberapa kasus menjadi pemisahan biner: kalau bukan kelompokku, maka musuhku.

3. Anonymity

  • Memungkinkan informasi tanpa sumber.
  • Tumbuhnya mental virtual yang membuat pengungkapan ego tidak terkendali. Mental virtual memicu perilaku yang tidak punya batasan moral/norma. Kenapa anak-anak lebih suka bermain game virtual dibanding bermain secara langsung di luar rumah? Karena munculnya mental virtual yang mana kalau kalah/dipukul tidak merasakan sakit apapun. Bisa menungkapkan diri seenaknya tanpa ada kontrol. Tidak takut dengan kenyataan yang terjadi. Tidak perlu takut dengan ekspresi lawan bicara ataupun fisik lawan bicara. Bersembunyi dibalik layar dan anonimitas hiperteks. Kurangnya adab pada bahasa chat dibanding bahasa sehari-hari

4. Accessibility

  • Informasi apapun bisa diciptakan siapapun dan cenderung bisa diakses siapapun. Orang yang tidak punya ilmu ataupun pengalaman tertentu misalkan bisnis, bisa bicara tentang bisnis asal kontennya bagus.
  • Jaringan hyperlink mengoneksikan simpul-simpul informasi yang ada.
  • Pembaca mengontrol penuh navigasi informasi secara lebih luas (sedangkan era sebelumnya informasi tergantung dari si tokoh apakah mau menulis suatu buku atau menyampaikan suatu ilmu secara lisan).
  • Hilangnya otoritas ilmu.

Maka yang menjadi jawaban atas kondisi di Indonesia saat ini adalah, adanya fenomena post literasi tersebut. Adanya sumber daya manusia yang banyak namun tidak diiringi dengan peningkatan kualitasnya yang kemudian bertemu dengan teknologi, sedangkan SDM itu sendiri tidak siap secara kualitas untuk berteknologi. Lantas bagaimana menghadapi fenomena post literasi ini? Jika kita lihat di masyarakat maka akan ada 4 kategorisasi sikap masyarakat dalam menghadapinya:

  • Sengaja kembali ke pola berpikir pra-literasi (kelisanan), namun mengamplifikasi dan mengoptimalkannya, untuk transedensi diri. Kita bisa menjadi manusia utuh yang merupakan hibrida pola pikir rasionalisme literasi dengan kebijaksanaan kelisanan.
  • Secara total menggeluti kemajuan teknologi dan terus beradaptasi. Semua efek samping dan dampak budaya yang muncul disesuaikan belakangan (either run or left behind).
  • Menjembatani dua kutub di atas, melalui sikap moderat. Usaha berdialog secara lebih kritis terhadap teknologi namun tidak menafikan perkembangannya.
  • Mendekonstruksi habis literasi. Secara tak sadar terjadi ketika individu pasrah dan pasif sepenuhnya pada media sosial, TV, dan teknologi lainnya.

Saya sendiri lebih cenderung pada pilihan ke-3, yang menjembatani dua kutub ekstrim melalui sikap moderat. Usaha berdialog secara lebih kritis (filosofis) terhadap teknologi namun tidak menafikan perkembangannya.

Rekomendasi Bacaan Selanjutnya: Masih Valid kah Hasil Survei "Rendahnya Literasi" Masyarakat Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun