Mohon tunggu...
Chaca Nugraha Zaid
Chaca Nugraha Zaid Mohon Tunggu... Freelancer - Lifelong Learner

Penikmat Sains, Teknologi, Filsafat, dan Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Fenomena "Post Literasi" pada Tingkat Kesopanan Netizen Indonesia

28 Februari 2021   15:00 Diperbarui: 28 Februari 2021   15:05 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi netizen indonesia (sumber: medcom.id)

Aspek literasi (teks) pada TV dan Radio masih cenderung mendominasi ketimbang aspek kelisananannya. Penyiar di TV/radio hanyalah perantara, bukan pemilik sepenuhnya informasi, ia hanya mewakili institusi dengan tujuan tertentu. Banyak aspek yang tersaring dalam informasi yang tersampaikan via TV/radio. Khusus TV, apa yang dihadirkan tidak hanya sekedar “terlihat”, tapi “diperlihatkan”, sehingga informasi tidak hadir secara utuh apa adanya (seperti di tradisi lisan).

b. revolusi teks-hiperteks

TV dan Radio menginisiasi revolusi teks yang lebih besar yaitu hiperteks (teks yang melampaui teks). Revolusi teks-hiperteks ini ditandai dengan adanya internet yang merevolusi teks menjadi dapat menghadirkan beragam bentuk dan media melalui browser, serta internet memiliki fitur yang pada TV/radio tidak dimunculkan, yakni interaksi langsung.

1. Interconnectivity

  • Peleburan antara penulis dan pembaca, dalam satu nama yaitu warganet. Menunjukkan tidak adanya otoritas. Siapapun bisa menyebarkan tulisan ataupun ucapan sendiri dengan bebas. Berbeda denga media cetak yang diseleksi sebelum diterbitkan. Dengan tidak adanya otoritas, relasi sosial cenderung disruptif dan anarkis.
  • Tokoh-tokoh pada era sebelumnya malah yang cenderung mengendalikan relasi sosial (otoritas tokoh). Saat ini siapapun bisa. Tidak ada batasan waktu, siapapun bisa merespon siapapun kapanpun.
  • Sifat reaktif pada tradisi lisan teramplifikasi. seperti yang kita ketahui ciri-ciri tradisi kelisanan adalah reaktif, namun karena internet maka sekarang “ucapan” dikuatkan. Dulu satu orang berbicara di kelas, ya hanya orang  yang di kelas saja yang bisa menanggapi. Namun sekarang orang sedunia pun bisa menanggapi apapun yang kita sampaikan.

Pada masa kelisanan yang bisa menyampaikan pengetahuan hanya tokoh (maka muncullah penokohan, dimaan pengetahuan bersatu dengan sifat seseorang. Tidak sembarangan orang bisa ngomong). Bahkan di era literasi tidak semua orang bisa menulis yang bisa dibaca banyak orang (masih bergantung otoritas). Berbeda dengan otoritas, yakni pengetahuan tidak terpengaruh dengan karakter. Contohnya Filsuf banyak karakter nya yang jelek walaupun keilmuan nya bagus, namun tetap diperhatikan oleh khalayak ramai tanpa peduli amat dengan karakter penulis. Namun, ketika internet muncul tidak adalagi otoritas, siapapun bisa menulis dan membaca, bahkan tidak ada filter (tulisan dan lisan).

2. Global Society

  • Interaksi antar individu bersifat langsung seperti kelisanan, namun lebih luas (karena tidak ada kendala batasan geografis). Contohnya yaitu pada saat chatting, walaupun bentuknya teks namun semua yang ada di sana sifat-sifat tradisi kelisanan hadir dengan adanya teks yang tidak baku (seolah-olah seperti berbicara langsung). Berbeda dengan tradisi tulisan, dalam menanggapi tulisan di koran tidak bisa langsung (namun saat ini postingan dalam satu menit langsung bisa dibalas).
  • Tribalitas kelompok lebih intens. Lebih mudah menemukan kelompok yang diinginkan ditambah lagi dengan algoritma teknologi sosial media saat ini yang menguatkan apa-apa yang kita sukai.
  • Labelisasi dan pengotak-ngotakan masif di masyarakat, dalam beberapa kasus menjadi pemisahan biner: kalau bukan kelompokku, maka musuhku.


3. Anonymity

  • Memungkinkan informasi tanpa sumber.
  • Tumbuhnya mental virtual yang membuat pengungkapan ego tidak terkendali. Mental virtual memicu perilaku yang tidak punya batasan moral/norma. Kenapa anak-anak lebih suka bermain game virtual dibanding bermain secara langsung di luar rumah? Karena munculnya mental virtual yang mana kalau kalah/dipukul tidak merasakan sakit apapun. Bisa menungkapkan diri seenaknya tanpa ada kontrol. Tidak takut dengan kenyataan yang terjadi. Tidak perlu takut dengan ekspresi lawan bicara ataupun fisik lawan bicara. Bersembunyi dibalik layar dan anonimitas hiperteks. Kurangnya adab pada bahasa chat dibanding bahasa sehari-hari

4. Accessibility

  • Informasi apapun bisa diciptakan siapapun dan cenderung bisa diakses siapapun. Orang yang tidak punya ilmu ataupun pengalaman tertentu misalkan bisnis, bisa bicara tentang bisnis asal kontennya bagus.
  • Jaringan hyperlink mengoneksikan simpul-simpul informasi yang ada.
  • Pembaca mengontrol penuh navigasi informasi secara lebih luas (sedangkan era sebelumnya informasi tergantung dari si tokoh apakah mau menulis suatu buku atau menyampaikan suatu ilmu secara lisan).
  • Hilangnya otoritas ilmu.

Maka yang menjadi jawaban atas kondisi di Indonesia saat ini adalah, adanya fenomena post literasi tersebut. Adanya sumber daya manusia yang banyak namun tidak diiringi dengan peningkatan kualitasnya yang kemudian bertemu dengan teknologi, sedangkan SDM itu sendiri tidak siap secara kualitas untuk berteknologi. Lantas bagaimana menghadapi fenomena post literasi ini? Jika kita lihat di masyarakat maka akan ada 4 kategorisasi sikap masyarakat dalam menghadapinya:

  • Sengaja kembali ke pola berpikir pra-literasi (kelisanan), namun mengamplifikasi dan mengoptimalkannya, untuk transedensi diri. Kita bisa menjadi manusia utuh yang merupakan hibrida pola pikir rasionalisme literasi dengan kebijaksanaan kelisanan.
  • Secara total menggeluti kemajuan teknologi dan terus beradaptasi. Semua efek samping dan dampak budaya yang muncul disesuaikan belakangan (either run or left behind).
  • Menjembatani dua kutub di atas, melalui sikap moderat. Usaha berdialog secara lebih kritis terhadap teknologi namun tidak menafikan perkembangannya.
  • Mendekonstruksi habis literasi. Secara tak sadar terjadi ketika individu pasrah dan pasif sepenuhnya pada media sosial, TV, dan teknologi lainnya.

Saya sendiri lebih cenderung pada pilihan ke-3, yang menjembatani dua kutub ekstrim melalui sikap moderat. Usaha berdialog secara lebih kritis (filosofis) terhadap teknologi namun tidak menafikan perkembangannya.

Rekomendasi Bacaan Selanjutnya: Masih Valid kah Hasil Survei "Rendahnya Literasi" Masyarakat Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun