Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Abadi, Sapardi

21 Juli 2020   13:04 Diperbarui: 21 Juli 2020   15:04 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: gramedia.com

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. (Sapardi Djoko Damono, 1973)

Salah satu bait dalam puisi Pada Suatu Pagi Hari menyayat hati saya ketika mendengar kabar kepergian penyair kebanggaan negeri, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan yang terkenal dengan puisi yang rendah hati ini berpulang pada usianya yang tepat menginjak 80 tahun akibat penurunan fungsi organ.

Sapardi Djoko Damono atau yang biasa disapa Eyang Sapardi, telah melahirkan ribuan bait indah yang terangkum dalam ratusan puisi dan puluhan novel. Beberapa melejit, dijadikan lagu hingga menyelam ke layar lebar. Beberapa lagi dijadikan caption banyak orang, terselip dalam surat kabar hingga ke undangan pernikahan.

Kenangan saya bersama Eyang memang tidak banyak. Satu-satunya momen pertemuan saya dengan beliau terjadi pada saat Kompasianival tahun 2018 lalu. Pada saat itu Sapardi membacakan buku puisinya yang baru saja terbit, berjudul Perihal Gendis.

Sapardi Djoko Damono di Kompasianival 2018 | ilustrasi: dokumentasi pribadi
Sapardi Djoko Damono di Kompasianival 2018 | ilustrasi: dokumentasi pribadi
Pada saat itu saya baru tahu bahwa selain lihai dalam membuat puisi, Sapardi juga lihai dalam membacakan puisi. Ini seperti paket lengkap yang dimiliki sastrawan sejati.

Suaranya yang rapuh namun tegar tampak serasi dengan sosok Gendis dalam puisinyagadis kecil yang berusaha menemukan arah setelah ditinggal pergi ayah dan ibunya. 

Saya bukan seseorang yang ahli dalam membuat puisi, apalagi mengartikan puisi. Namun ketika membaca puisi Sapardi, saya seolah tidak perlu menjadi ahli tafsir. Kalimatnya yang sederhana namun sarat akan makna, telah memudahkan pembaca untuk menyelami bait demi bait dalam puisi yang ditulisnya.

Melalui puisinya pula, saya mencoba mengenal lebih dalam sosok sastrawan yang telah menerima penghargaan SEA Write Award pada tahun 1986 ini.

Romantis di level yang berbeda

Romantis adalah satu hal yang paling melekat dalam puisi-puisi Sapardi. Salah satunya tergambar pada puisi yang telah kita ketahui bersama, yaitu berjudul  Aku Ingin. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan 
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan 
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. (Sapardi Djoko Damono, 1989)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun