Ketiga, di toko buku tua, saya merayakan gairah yang khas. Gairah untuk menelusuri semua rak yang tersedia, menemukan sebuah judul, lalu duduk membungkuk di sebuah sudut. Memeriksa halamannya, tahun terbitnya, sedikit daftar isi dan beberapa lembar halaman isi.
Belum ada katalog dan pemilik toko tidak terlalu mengerti jenis-jenis buku yang dijualnya. Karena itu, kita sendiri harus memeriksa dan berdialog dengan isi buku. Kita sendiri harus masuk kedalam buku-buku yang ditulis bertahun-tahun di belakang sana.
Gairah ini tidak lagi menggema di era internet. Ketika toko buku daring tersebar di banyak platform dan sosial media maupun blog membantu banyak orang menuliskan opininya. Kita memiliki banyak sumber referensi, sesuatu yang tidak cukup tersedia di tahun 2000-an awal.
Akhirnya. Toko buku tua seringkali mewakili nasib Radio di Kenangan Abege Tahun 90-an. Ketika ia terpaksa tutup buku, kita bersedih. Kita sudah tahu ini bakalan terjadi.
Kita hanya bisa menyimpan kenangannya rapat dan rapi. Setidaknya di dalam toko buku tua, kita pernah terbebas dari penjajahan sosial media.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI