Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Memulangkan Belanda, Apa yang Kita Baca dari Argentina?

10 Desember 2022   11:23 Diperbarui: 11 Desember 2022   07:20 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paredes, pemain Argentina pelakon drama dalam laga perempat final yang sengit antara Belanda vs Argentina | (AFP/ODD ANDERSEN via Kompas.com)

Semua pertandingan di turnamen seketat Piala Dunia adalah panggung besar dari pergulatan menuju level tertinggi. Terlebih ketika negara-negara terpilih memulai pertarungan melewati fase gugur. 

Dan ketika mekanisme "survival of the fittest" makin mengerucut ke beberapa negara terpilih, kita mesti memeriksa lagi bagaimana gagasan (taktik/sistem), mentalitas, rivalitas historis dan dinamika permainan yang memproduksi ketegangan dan kejutan itu berkembang seiring ketatnya turnamen.

Kita sebenarnya sedang diperlihatkan bagaimana turnamen yang melibatkan negara-negara ini adalah sejenis "proyek menjadi". Sebuah proyek menuju kematangan dari gagasan/game plan/sistem bermain tertentu. Ukurannya adalah mengangkat piala, bukan menghibur atau membosankan. 

Dalam bahasa yang lain, ketika mengalami "ketegangan menjadi terus menerus", pada saat membicarakan prospek tim pujaan, kita ditantang mencermati perkembangan game-to-game tim tersebut. 

Semisal bagaimana mereka bermain dengan cara A menghadapi tim B, lantas menggunakan cara B kepada tim C. Atau kita seperti melihat gagasan/taktik/sistem yang disfungsi tapi tetap dipertahankan.

Pendek kata cara bermain tim A adalah tesis, sedang cara bermain lawannya A adalah antitesis--tidakkah yang membuat sepak bola menghibur karena spektrum dialektikanya? Atau dalam terminologi Tan Malaka: melalui terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk!

Misalnya ketika Brazil (si paling atraktif sejak putaran grup) ternyata baru bisa bikin gol di menit perpanjangan waktu kala melawan Kroasia. 

Bahwa Kroasia yang ulet dipimpin jendral lapangan tengah berusia 37 tahun bernama Luka Modric tengah memainkan antitesis yang tepat, ini baru satu perkara. Perkara pelengkapnya adalah sepak bola yang estetis ala Neymar dan kawan-kawannya gagal menemukan celah yang bisa dieksploitasi.

Ketika Bruno Petkovic menyamakan kedudukan di menit ke-117, para pemujanya bukan baru dikirimkan pertanda bahwa Jogo Bonito paling berpeluang nelangsa. Pertanda bahwa game plan Tite tidak bekerja optimal sejatinya sudah ditunjukan ketika bermacam-macam skenario menyerang mentok. 

Soliditas dan ketenangan luar biasa di garis pertahanan Kroasia adalah kuncinya. Dominik Livakovic, sang kiper adalah aktor yang menonjol. Tapi jangan lupakan bagaimana bek gaek Dejan Lovren--eks Liverpool--bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun