Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Waiting for The Barbarians", Politik Kolonial dan Asal-usul Pembiadaban

20 Oktober 2020   11:04 Diperbarui: 20 Oktober 2020   22:39 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Wating for The Barbarians (2020) | samuelgoldwynfilms.com

Rasa sakit adalah kebenaran. Yang lain bisa diragukan-Kolonel Joll

Waiting for The Barbarians (selanjutnya disingkat WTB) tayang perdana 7 Agustus 2020 di Mola TV. Film ini semestinya memiliki syarat-syarat sebagai salah satu yang pantas dikenang manakala kita membicarakan kerumitan relasi penjajah dan terjajah dalam karya sinematik.

Apa saja syarat-syarat itu?

Pertama, dari segi ikon budaya massa, film yang berlokasi shooting di Maroko ini menggabungkan Johnny Deep dan Robert Pattinson. Nama yang pertama tentu saja mewakili selera 90-an dari produk Hollywood tentang tipe laki-laki cool dan tetap bertahan hingga sekarang. Sedang yang kedua datang dari produksi selera 2000-an, terutama drama percintaan anak muda yang melibatkan dunia yang ganjil. Dunia vampire dan manusia. 

Di WTB, mereka pertama kali beradu akting. 

Kedua, film ini buah dari adaptasi novel berjudul sama. Novel ini ditulis oleh John Maxwell Coetzee pada tahun 1980. Coetzee adalah pengarang yang lahir di Afrika Selatan pada 9 Februari 1940. Dia menghabiskan masa belajarnya hingga pendidikan tinggi di Universitas Cape Town (1957-1961). Sesudah itu merantau ke Inggris dan Amerika. 

Coetzee mulai menulis sastra sejak tahun 1969 dan merupakan peraih Nobel Sastra 2003. Sekarang dia bermukim di Adelaide, Australia. 

Ketiga, Ciro Guerra, sutradara berkebangsaan Kolombia. Ciro Guerra adalah sutradara pertama dari Kolombia yang filmnya masuk nominasi Academy Awards ke-88. Embrace of the Serpent (2015), judulnya. Dan masuk nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik. Sedangkan pada Festival Film Cannes, dia berhasil memenangkan Art Cinema Award. Guerra tengah dikenal sebagai sutradara yang gemar mengelaborasi tema-tema kolonialisme.

WTB adalah film dalam bahasa Inggris pertama pria yang memulai membuat film sejak berumur 23 tahun ini.

Jadi bagaimana film WTB berkisah relasi kolonial dan asal-usul pembiadaban? 

Untuk sinopsisnya, Anda boleh membacanya di sini. Sedangkan untuk catatan lain atas film ini, boleh Anda baca juga di Kompas.com.

Saya hanya akan berusaha mendiskusikan inti temanya saja. Diskusi akan dilakukan dengan memotret masing-masing karakter dan bagaimana konflik berkembang di antara mereka hingga mencapai akhir.

WTB bercerita kehidupan di sebuah benteng yang jauh. Benteng itu juga berfungsi sebagai pos pantau yang dipimpin seorang hakim (Mark Rylance). Si hakim hidup dalam sehari-hari yang tenang, tertib dan bersahabat. Tidak semata-mata seorang pembesar yang berjarak. Apalagi merasa jijik dengan sekitarnya. 

Pendek kata, si hakim yang terdidik dalam tata nilai strata atas kolonial mampu keluar dari batasan-batasan kelasnya. Ia bahkan mempelajari bahasa lokal agar boleh membangun kesepahaman yang lebih mutualistik. Dalam bahasan anak-anak sospol, sang Hakim adalah sosok yang menggunakan perspektif komunikasi lintas budaya terhadap tanah jajahan. 

Situasi berubah dratis ketika Kolonel Joll (atau Jhonny Deep kita yang cool) tiba. Kedatangannya ditemani iring-iringan pengawal berkuda. Si kolonel mengunakan kacamata hitam yang diceritakannya sebagai gaya yang tengah ngetrend di kota (baca: wilayah beradab). Tapi, kita bisa memahami jika kaca mata hitam itu melambangkan diri yang sedang mengawasi tanpa ketahuan oleh obyeknya. 

Di dalam laku berkacamata hitam ala kolonel Joll, kita juga tahu adanya sikap yang mengunci diri dari panasnya kehidupan yang jauh dari kota-kota beradab. Ada perasaan tidak ingin bersentuhan. 

Tapi Joll bukan sebatas karakter yang serba jijik dengan apa yang terlanjur membentuk isi kesadarannya sebagai "masyarakat barbar". 

Joll juga adalah seperangkat instrumen represif. Datang ke kehidupan tenang yang sukses dipertahankan sang Hakim, ia berusaha sepenuh hati untuk membuktikan jika suku-suku yang bermata sipit di sekitar benteng tersebut adalah para pemberontak yang wajib ditertibkan. Joll lantas mengembangkan teknik-teknik penyiksaan demi membuktikan pikiran-pikiran jahatnya sendiri. 

Pun dengan si opsir muda, Mandel (Robert Pattinson). 

Mandel memiliki mentalitas represif yang setali tiga uang. Ia bahkan bergerak lebih berani dengan menjungkalkan otoritas sang hakim. Ia memaksa si hakim menjadi terdakwa karena pelanggaran prosedur yang sudah lama dilakukan. Seolah saja, dari dalam, ia sedang berusaha mengubah total warisan kerja si hakim yang bertahun-tahun merawat kehidupan di benteng dan sekitarnya dalam suasana damai.

Satu lagi figur yang tersandera dalam ketegangan antara kompas moral hakim dan kompas moral kolonel Joll adalah seorang perempuan dari salah satu suku nomaden yang tinggal di sekitar benteng. 

Perempuan muda yang mengalami siksaan hingga kakinya cacat oleh ambisi-ambis Joll, cs mengantisipasi pemberontakan yang cuma ada di kepalanya. Perempuan muda ini melambangkan ketakberdayaan sekaligus ketabahan yang sempurna. Oleh si hakim, dia dirawat dan dibawa kembali kepada sukunya.  

Tiga karakter utama ini menampilkan konflik kuasa kolonial. Seperti bom waktu, implosinya dipicu oleh kesalahan-kesalahan yang dimunculkan sendiri. Kesalahan yang berakar pada cara pandang pemberadaban (civilization) yang cacat sejak diandaikan. Perkawinannya dengan sikap rasistik dan represifitas membuatnya tidak lebih dari pembiadaban yang menjijikan. 

Apa yang disebut sebagai superioritas tuan penjajah tidak lebih dari pada daftar panjang penaklukan, dominasi dan pemusnahan suku-suku lainnya. Demikianlah WTB ingin bercerita kepada pemirsa. Semacam menghidupkan lagi peringatan zaman kolonial yang direkam Coetzee dalam novelnya tersebut. 

Walau begitu, dalam tatanan kolonial yang busuk, WTB juga ingin mengingatkan jika saja tidak semua pejabat kolonial atau mereka yang Barat atau mereka yang berkulit Putih memiliki cara pandang terhadap tanah jajahan yang sama. 

Tidak ada relasi otomatis antara perlakukan dominatif dengan golongan darah. Atau dalam bahasa lain, tidak ada hubungan langsung jadi dari ideologi penindas/pembebas dengan turunan genetika tertentu.

Sejarah antikolonial di Nusantara memiliki sosok seperti Eduard Douwes Dekker yang menegaskan fakta ini. Keberadaan sang Hakim di film ini.

Karena itu juga, Waiting for The Barbarians sedang menunjukan kembali keberadaan "colonial mindsett" yang memandang Timur sebagai semesta tak beradab itu adalah sumber dari disharmoni dan instabilitas. Di dalam mindsett tersebut, selalu ada retakan, selalu tersedia antipodenya. 

Pada ujungnya, ia merangsang chaos yang lebih luas sebagai reaksi yang wajar. Reaksi antikolonial dan nonkooperatif. WTB dihantar menuju penutup dengan arus balik perlawanan dari suku-suku nomaden. 

Teror yang mereka mulai dengan mengupas kepala salah satu prajurit dan mengirimkannya kembali ke benteng. Kolonel Joll, yang sok ningrat dan dingin itu, kabur ketakutan. Tuan kolonial bermental  pengecut ini menghindari konsekuensi dari yang dilahirkannya sendiri. Apa yang disebut sebagai "Spiral Setan Kekerasan". 

Pada titik inilah, percakapan tentang relasi kolonial dan produksi pembiadaban tidak pernah bersumber dari luar tatanan. Ia diproduksi dan diawetkan oleh cara pandang kolonial itu sendiri; sesuatu yang tidak lagi baru dalam kritik-kritik Antropologi Postkolonial. 

Barbarisme sebenarnya hanyalah anak kandung kolonialisme belaka.

Lantas, apakah kolaborasi ikon budaya Hollywod, narasi dari novel milik peraih Nobel Sastra, dan sutradara Kolombia yang sedang ngetop membuat film berdurasi 112 menit ini memenuhi syarat?

Saya kira, film ini termasuk yang asik dinikmati walau hanya mendapat rating 5,8 di situs Internet Movie Database. Kualitas akting Deep, Pattinson dan Raylance cukup maksimal ditampilkan. Lansekap yang kering, terik dan berpasir berhasil menambah kesan tanah jajahan yang keras dan misterius namun memiliki kehangatan yang bertahan sepanjang tahun. 

Waiting for The Barbarians tergolong hasil yang mewakili kerja rapi dari kualitas pelakon, pelukisan situasi dan ide cerita.

Tabik!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun