Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Waiting for The Barbarians", Politik Kolonial dan Asal-usul Pembiadaban

20 Oktober 2020   11:04 Diperbarui: 20 Oktober 2020   22:39 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Wating for The Barbarians (2020) | samuelgoldwynfilms.com

Jadi bagaimana film WTB berkisah relasi kolonial dan asal-usul pembiadaban? 

Untuk sinopsisnya, Anda boleh membacanya di sini. Sedangkan untuk catatan lain atas film ini, boleh Anda baca juga di Kompas.com.

Saya hanya akan berusaha mendiskusikan inti temanya saja. Diskusi akan dilakukan dengan memotret masing-masing karakter dan bagaimana konflik berkembang di antara mereka hingga mencapai akhir.

WTB bercerita kehidupan di sebuah benteng yang jauh. Benteng itu juga berfungsi sebagai pos pantau yang dipimpin seorang hakim (Mark Rylance). Si hakim hidup dalam sehari-hari yang tenang, tertib dan bersahabat. Tidak semata-mata seorang pembesar yang berjarak. Apalagi merasa jijik dengan sekitarnya. 

Pendek kata, si hakim yang terdidik dalam tata nilai strata atas kolonial mampu keluar dari batasan-batasan kelasnya. Ia bahkan mempelajari bahasa lokal agar boleh membangun kesepahaman yang lebih mutualistik. Dalam bahasan anak-anak sospol, sang Hakim adalah sosok yang menggunakan perspektif komunikasi lintas budaya terhadap tanah jajahan. 

Situasi berubah dratis ketika Kolonel Joll (atau Jhonny Deep kita yang cool) tiba. Kedatangannya ditemani iring-iringan pengawal berkuda. Si kolonel mengunakan kacamata hitam yang diceritakannya sebagai gaya yang tengah ngetrend di kota (baca: wilayah beradab). Tapi, kita bisa memahami jika kaca mata hitam itu melambangkan diri yang sedang mengawasi tanpa ketahuan oleh obyeknya. 

Di dalam laku berkacamata hitam ala kolonel Joll, kita juga tahu adanya sikap yang mengunci diri dari panasnya kehidupan yang jauh dari kota-kota beradab. Ada perasaan tidak ingin bersentuhan. 

Tapi Joll bukan sebatas karakter yang serba jijik dengan apa yang terlanjur membentuk isi kesadarannya sebagai "masyarakat barbar". 

Joll juga adalah seperangkat instrumen represif. Datang ke kehidupan tenang yang sukses dipertahankan sang Hakim, ia berusaha sepenuh hati untuk membuktikan jika suku-suku yang bermata sipit di sekitar benteng tersebut adalah para pemberontak yang wajib ditertibkan. Joll lantas mengembangkan teknik-teknik penyiksaan demi membuktikan pikiran-pikiran jahatnya sendiri. 

Pun dengan si opsir muda, Mandel (Robert Pattinson). 

Mandel memiliki mentalitas represif yang setali tiga uang. Ia bahkan bergerak lebih berani dengan menjungkalkan otoritas sang hakim. Ia memaksa si hakim menjadi terdakwa karena pelanggaran prosedur yang sudah lama dilakukan. Seolah saja, dari dalam, ia sedang berusaha mengubah total warisan kerja si hakim yang bertahun-tahun merawat kehidupan di benteng dan sekitarnya dalam suasana damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun