Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Kepada "Milea: Suara dari Dilan" yang Sentimental Itu!

14 Februari 2020   14:28 Diperbarui: 15 Februari 2020   14:29 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benang merah tersebut adalah citra remaja perempuan dan laki-laki ideal. Citra yang direproduksi untuk konsumen yang sedang berada dalam "pertempuran hegemoni" paska-Orde baru lewat medium "kontestasi budaya layar". Satu era yang menggambarkan Post-Islamisme di Indonesia. Ya, saya memang dipengaruhi Identitas dan Kenikmatan-nya Prof. Ariel Heryanto. 

Jika pada " Dilan 1990 dan Dilan 1991", kita menyaksikan Milea sebagai perempuan dalam konstruksi yang ideal bagi segala macam zaman itu: berambut hitam panjang, putih, lemah lembut, dari keluarga harmonis, namun tiba-tiba bisa tegas sehingga siapapun hanya ingin menjadi malaikat penjaganya. Milea bukan saja remaja SMA, ia adalah potret ibu yang ideal. 

Remaja SMA saat itu hanya akan menjadi malaikat penjaganya, bahkan dari gigitan seekor nyamuk!

Maka , pada sesi ini, kelaki-lakian yang sok maskulin dengan kehidupan geng yang serba mengutamakan kolektivisme mudah terjatuh sebagai kedok belaka dari jiwa yang rapuh serta keputusan-keputusan yang sering tidak rasional. Jadi, maskulin-isme yang gagah perkasa-dingin-serba penuh perhitungan itu lebih mirip "siasat" ketimbang "watak". 

Sebenarnya, karakter Dilan juga adalah sebuah ideal tentang lelaki tahun 90-an yang tumbuh dalam kehidupan geng, cuek dan dingin serta selalu berusaha tampil serba kalkulatif. Seolah saja, karakter seperti ini adalah padanan bagi jenis Milea yang rumahan, lembut dan penuh kasih itu.

Dengan kata lain, kita masih berhadapan dengan Milea dan Dilan yang sama. Yang kini dilestarikan oleh sinetron-sinetron secara buruk rupa. Pada akhirnya, ini pun akan menjadi klise: sesuatu yang sudah begitu tapi dirindu. Rupanya, digitalisme zaman kiwari tidak memusnahkan imajinasi dari nostalgia remaja 90-an.

Pertanyaan terakhir yang mungkin relevan dengan konteks besar dari pertarungan budaya layar itu adalah tidakkah trilogi Dilan-Milea ini juga adalah sejenis "suara-suara sekuler" yang berusaha mengingatkan pada penggal sejarah dimana kehidupan remaja pernah memiliki ekspresi yang tidak serba "religius" di tengah dinamika kehidupan urban? 

Jadi, tidak sebatas pemulihan nostalgia bagi ingatan yang kini terus digerayangi adu kecepatan, adu sensasi dan perburuan kenikmatan. "Milea: Surat dari Dilan" ingin menampilkan versi lain dari kehidupan remaja yang memang kental di era 90-an sebagai warisan kultural dari yang disebut sebagai keragaman Indonesia hari ini. 

Saya kira, iya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun