Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Kepada "Milea: Suara dari Dilan" yang Sentimental Itu!

14 Februari 2020   14:28 Diperbarui: 15 Februari 2020   14:29 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Milea: Suara dari Dilan (2020) | Sumber: imdb.com

“Kita hanya manusia, tidak ada hubungan yang sempurna.”- Dilan

Kemarin hari, saya memutuskan pergi dan menjadi barisan depan dari penonton "Milea: Suara dari Dilan" yang tayang perdana. Saya adalah satu yang menyumbang angka 404.000 penonton itu jika mengacu ke rekapitulasi Cinemax XXI. Saya juga adalah salah satu yang tidak membaca novelnya.

Tapi saya tidak sendiri. Bersama tiga orang kawan, kami senyap di dalam bioskop CGV, Transmart. Hari mulai sore, di luar hujan dan memang tidak ada urusannya dengan triologi ini. 

Penting untuk mengetahui jika profil tiga orang kawan ini memiliki background nostalgia masa remaja yang berbeda. 

Kawan yang pertama, adalah kelahiran 80-an seperti saya sedang dua sisanya kelahiran 90-an akhir. Kami terbagi dalam dua generasi. Yang mengalami masa remaja 90-an karena itu juga relatif mudah tersambung (baca: tersentuh, uwuwuw) dan yang mengalami masa remaja sesudah demam drama Korea.

Maksud saya, ketersambungan/ketidaksambungan nostalgis itu adalah kondisi psiko-kognitif bahan baku kesadaran yang menentukan. Ia menentukan sedalam apa sekuel terbaru dari riwayat percintaan Dilan-Milea berhasil membawa penonton ke masa lalu atau justru penonton menjadi asing di dalamnya. Sedalam apa penonton menemukan dirinya di sana.

Bagaimana menguji "ketersambungan/ketaktersambungan" yang lampau dengan yang kini di kepala ini?

Sederhana saja. Sesudah keluar dari gedung bioskop, saya bertanya pada kawan yang lahir sesudah masa remaja telpon umum koin. "Apa hal paling menarik dari film barusan?"

"Laki-laki ternyata tidak sekuat itu. Kelihatannya saja pemimpin geng motor, padahal..."

Klise. Iya. Jawaban khas seorang perempuan. Dan, memang sepanjang film 103 menit, kita dibawa menelusuri ruang batin Dilan yang berusaha terlihat konsisten dengan sikap-sikapnya yang "laki banget itu". Seperti misalnya, bersetia dengan kata-kata: siapa yang menyakiti Milea, haruslah hilang dari muka bumi. 

Sikap seperti ini bercampursari dengan soliditas geng remaja laki-laki yang terganggu. Sebab itu juga, Dilan memang kudu berjuang menyamarkan kerapuhan, penyesalan dan penderitaannya sesudah bereaksi secara salah dalam "Dilan 1991". Ia wajib tampil dingin dan (seolah-olah) konsisten. Dia panglima tempur, bukan?

Maha benar John Iskandar dengan sabdanya, "Patah hati bukan sifatnya lelaki, apalagi sampai nekad bunuh diri!" 

Ini juga berarti, "Milea: Surat dari Dilan" berhasil menunjukan gejolak patah hati sang laki-laki di tengah kehidupan remaja 90-an di kota Bandung dan mungkin juga di banyak kota di Indonesia. Bilangan waktu yang menandai suasana pergaulan pemuda/pemudi yang belum diserang kampanye #IndonesiaTanpaPacaran. Ia melengkapi Milea yang tidak merana sendirian. 

Sama mengatakan, film yang melibatkan duet sutradara Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini memang sukses menjaga dan melestarikan suasana sentimentalnya. Bersamaan itu menghidupkan romantika 90-an, bagi mereka yang sibuk mencari jati diri di tahun-tahun ini. Halaaah. 


Romantisasi dan sentimentalisme percintaan remaja kiranya adalah koentji dalam trilogi yang diadaptasi dari novel populer berlatar tahun 90-an ini. 

Sebisa yang saya rekam di dalam studio, apa yang tayang di layar sukses memicu respon penonton yang kebanyakan anak baru gede. Baik berupa komentar, tawa dan keheningan yang khusyuk terhadap adegan yang mengharukan. Saya pun tak luput dari semesta nan sentimental ini. 

Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Priscillia memang tetap tampil maksimal melakoni karakternya. Walaupun mungkin Milea terlihat lebih tua dan sedikit menor. Sedangkan Dilan masih saja seperti tahun-tahun berseragam putih abu-abu. Saya kira, trilogi Dilan-Milea boleh mengeluarkan penonton dari narasi sejenis yang pernah jaya dilahirkan lewat Ada Apa dengan Cinta I.

Kolaborasi keduanya berhasil menghidupkan cerita yang berusaha menunjukan perkara pelik yang tidak selalu mudah dikelola remaja bahkan di saat mereka telah memiliki kesadaran yang lebih kompleks dari sekadar kehidupan SMA, asmara dan kenakalannya. Perkara jatuh cinta, kenangan-kenangan dan patah hati yang tidak pernah sederhana. 

Secanggih apapun motivator diproduksi untuk memulihkannya, patah hati tetap saja kejadian yang memusingkan anak manusia.

Citra Diri yang Tak Lekang 

Di luar itu, ada satu benang merah yang rasanya tidak pergi jauh bahkan dirawat dengan intens dalam tontontan-tontonan sinetron. Tidak terbatas dalam film. 

Benang merah tersebut adalah citra remaja perempuan dan laki-laki ideal. Citra yang direproduksi untuk konsumen yang sedang berada dalam "pertempuran hegemoni" paska-Orde baru lewat medium "kontestasi budaya layar". Satu era yang menggambarkan Post-Islamisme di Indonesia. Ya, saya memang dipengaruhi Identitas dan Kenikmatan-nya Prof. Ariel Heryanto. 

Jika pada " Dilan 1990 dan Dilan 1991", kita menyaksikan Milea sebagai perempuan dalam konstruksi yang ideal bagi segala macam zaman itu: berambut hitam panjang, putih, lemah lembut, dari keluarga harmonis, namun tiba-tiba bisa tegas sehingga siapapun hanya ingin menjadi malaikat penjaganya. Milea bukan saja remaja SMA, ia adalah potret ibu yang ideal. 

Remaja SMA saat itu hanya akan menjadi malaikat penjaganya, bahkan dari gigitan seekor nyamuk!

Maka , pada sesi ini, kelaki-lakian yang sok maskulin dengan kehidupan geng yang serba mengutamakan kolektivisme mudah terjatuh sebagai kedok belaka dari jiwa yang rapuh serta keputusan-keputusan yang sering tidak rasional. Jadi, maskulin-isme yang gagah perkasa-dingin-serba penuh perhitungan itu lebih mirip "siasat" ketimbang "watak". 

Sebenarnya, karakter Dilan juga adalah sebuah ideal tentang lelaki tahun 90-an yang tumbuh dalam kehidupan geng, cuek dan dingin serta selalu berusaha tampil serba kalkulatif. Seolah saja, karakter seperti ini adalah padanan bagi jenis Milea yang rumahan, lembut dan penuh kasih itu.

Dengan kata lain, kita masih berhadapan dengan Milea dan Dilan yang sama. Yang kini dilestarikan oleh sinetron-sinetron secara buruk rupa. Pada akhirnya, ini pun akan menjadi klise: sesuatu yang sudah begitu tapi dirindu. Rupanya, digitalisme zaman kiwari tidak memusnahkan imajinasi dari nostalgia remaja 90-an.

Pertanyaan terakhir yang mungkin relevan dengan konteks besar dari pertarungan budaya layar itu adalah tidakkah trilogi Dilan-Milea ini juga adalah sejenis "suara-suara sekuler" yang berusaha mengingatkan pada penggal sejarah dimana kehidupan remaja pernah memiliki ekspresi yang tidak serba "religius" di tengah dinamika kehidupan urban? 

Jadi, tidak sebatas pemulihan nostalgia bagi ingatan yang kini terus digerayangi adu kecepatan, adu sensasi dan perburuan kenikmatan. "Milea: Surat dari Dilan" ingin menampilkan versi lain dari kehidupan remaja yang memang kental di era 90-an sebagai warisan kultural dari yang disebut sebagai keragaman Indonesia hari ini. 

Saya kira, iya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun