Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percakapan dari Pinggiran, Sebuah Cerita

12 Oktober 2017   09:42 Diperbarui: 12 Oktober 2017   15:03 1986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si supir menyebut sebuah nama dan anak-anak perusahaan. Asing di telinga saya. Si suami istri kini bercakap dengan bahasa daerahnya. 

Sisa perjalanan kami kini dikuasai oleh dua kesaksian anak muda menjelang tua. Saya tidak ingin menceritakan detil dari percakapan di sisa perjalanan sebelum tiba di tujuan. Keinginan untuk segera sampai menyeruak lagi. Lebih mendesak-desak ketika jarak tempuh justru semakin dekat. 

Waktu sudah mendekati pukul 16.00 WIB. Saya melawan ingin itu dengan mengenang ulang pertanyaan-pertanyaan kepada hidup sepasang suami istri yang kini memutuskan berhenti bekerja di perkebunan.

Walhasil, saya kini punya satu rekaman cerita yang menyentuh. Bukan saja bahwa di balik pemandangan monokultur perkebunan sawit, ada dunia manusia yang sedang bertarung hidup. Tetapi juga, hidup bermigrasi dalam satu daratan nasional demi harapan agar bisa sekolahkan anak. Ada riwayat yang kelam dan hidup berjuang yang mungkin sepi dari percakapan publik. Mungkin karena media massa lebih suka berkabar berita politik, kriminal, dan kehidupan para pesohor. Mungkiin.

Apalagi jika cerita yang menyentuh ini saya kerjakan dengan penerapan "sejenis Jurnalisme Sastrawi cum Sosiologikal". Yang dalam, tervalidasi datanya, mampu melukiskan tegangan antara "struktur dan tindakan" dalam sejarah kemiskinan dan migrasi suku-suku, lalu dikemas layaknya cerita pendek, maka...WOW! Saya mungkin akan diajak Andreas Harsono, he hu he hu huuu.

Pertanyaan saya bagi dikau yang sudi membaca kesaksian ini sampai paragraf penutup, kapan terakhir kali berada di wilayah pinggiran, sebagian besar masih asing, dalam perjalanan darat dengan sebuah mobil, dengan penumpang-penumpang yang asing, lantas diajak menyimak percakapan-percakapan yang "membuka dirinya"? Singkat pelukisan, Anda dibawa ke dalam situasi percakapan yang membuat pikiran tersengat berkali-kali?


Tapi maksud utama yang hendak disampaikan adalah kebutuhan akan cerita tentang hidup sehari-hari manusia pinggiran yang seringkali sepi dari percakapan "ruang publik politis". Hidup sehari-hari yang ketika kita selami, ia merupakan rekaman dari banyak potongan narasi anak-anak suku dalam perjalanan sejarah sebuah bangsa di era kekinian. 

Ini bisa jadi sejenis usaha menghadirkan narasi Indonesia yang terlalu kerdil jika hanya disibuki oleh berita politik dan kabar pesohor oleh media arus utama. Dan kita berjibaku mengomentarinya dalam kubu-kubuan yang entah kapan berhentinya. Menyediakan diri sebagai catatan kaki berita politik. Ups.

Tidakkah digitalisme politik yang berisik ini membutuhkan kerja-kerja menulis narasi tandingan dari pinggiran?

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun