Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

Mō zhe shítou guò hé - Deng Xiaoping | Ordinary Stories, Structural Echoes

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[HORORKOPLAK] Cinta Buta, Jailangkung Bekerja

9 Januari 2017   09:47 Diperbarui: 9 Januari 2017   11:32 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kamu adalah jiwa muda sedang bersekolah yang jauh dari rumah, jauh dari hidup normal, atau akrab dengan rasa sepi, sendiri, sunyi terlebih di malam-malam tanggal tua ketika emak atau bapak lupa punya anak seperti kamu, maka bisa diasumsikan secara positif, kamu perantau yang butuh kekasih. Terserah kekasih itu buat sayang-sayangan atau sekedar strategi numpang makan di musim yang tak pernah stabil, itu urusanmu! 

Yang menjadi perkara kedua--sesudah jelas bahwa perkara pertama kamu adalah perantau yang butuh kekasih--adalah kamu jatuh cinta sebegitu tiba-tiba, lalu lesu tanpa daya, mati segan hidup tak jelas. Setiap merekam wajahnya yang tersenyum kepada teller bank di penghujung bulan ketika ngantri di depan kamu, kamu bahagiia sementara pada saat giliranmu, "Belum ada perubahan saldo, Mas,"  kamu tetap bisa mengabaikan fakta itu. Yang penting dia bahagia, kamu juga, demikian ketidakseimbangan yang terpelihara di dadamu.  

Perkara ketiga, sampai kapan kamu akan bertahan sedungu itu: hidup dalam kerinduan yang sendiri, bahagia yang ganjil itu?

Hanya satu bukan? Segera ungkap! Segera katakan. Kebahagiaan tidak hidup dalam sekedar ingatan, sekedar mengagumi diam-diam, sebatas lagu-lagu yang mengusik malam-malam tanpa makna. Harus ada tindakan nyata penuh keberanian. 

Ceritanya dimulai dari sini: ketika jatuh cinta telah menjadi kutukan rasa sesak. 

Tersebutlah lima orang bersahabat. Semua perantau dan menyisakan satu orang yang belum berkekasih. Maka ketika yang berempat sedang berkasih mesra di tempat dan jam yang salah, hanya satu yang duduk meratapi takdirnya sendiri. Tuhan bahkan tak setega itu, ratapnya dalam hati. 

"Kamu harus berani mengungkapnya,"  kata temannya. 

"Tidak penting rasamu ditolak, mengungkapkan dengan berani adalah perlambang lelaki sejati," kata temannya yang satu lagi, "Sudah terlalu banyak puisi cengeng yang kau pajang di kamar ini, sudah terlalu mengenaskan suara-suara yang kau dendangkan setiap menjelang dini hari," mengingatkan bahwa hidup CIDAHA selalu berakhir mengenaskan: gila enggan, waras pun tak jelas.   

"Keberanian, itu yang belum ada."

"Kau takut ditolak?" tanya temannya yang ketiga.

"Lah, memangnya ada yang lain?"

"Okeh, saya punya solusi. Besok malam saja, kita mulai ritualnya." kata temannya yang terakhir. Ia tampak sebagai kawan yang tidak sekedar menganjurkan. 

***

Malam baru merangkak ke dini hari. Di kamar kecil, lingkaran lima pemuda duduk menghadap selembar kertas. Di tangan mereka, sejenis boneka dengan kaki berjumlah empat dengan bagian hidung dipasang ballpoint berdiri di atas tangan mereka berempat. Sebatang kemenyan dibakar, bau harum yang mencekam menimbulkan kabut yang menutup seluruh ruang kecil. Ruang kecil yang sehari-hari menjadi lokasi pacaran berganti-ganti pasangan sekejap bermutasi sebagai kamar dukun. Salah satu dari mereka membaca mantra yang diulang-ulang.

"Jailangkung, Jailangkung.......(isi mantra tidak disebut dengan jelas demi menghindari peniruan)

Sedang di lembar kertas itu, sebuah nama perempuan ditulis lengkap, tebal dan merah dalam sebuah lingkaran yang disilang oleh garis-garis sehingga menyerupai pizza (pizza lho ya, bukan fitsa!). Jelas saja tak ada nama lain, jatuh cinta pada satu hati tidak bisa menimpa dua target berbeda, kecuali drama Korea. Boneka berkaki empat yang kerasukan jailangkung diharapkan akan mejawab pertanyaan dengan menulis jawaban atau sekedar berhenti di lingkaran.

Singkat mantra, boneka kayu itu sudah mulai bergerak sendiri manakala bau kemenyan makin sesak mencekam.

"Siapakah yang dinaksir Peb?" tanya si pembaca mantra.

 Boneka kayu menunjuk nama dengan warna merah itu. Pertanyaan tak meyakinkan, kan cuma satu nama. 

"Benarkah nama itu yang dinaksirnya?"

Boneka kayu itu menulis Iya. 

"Lantas apa yang harus dilakukan Peb?"

"HARUS MENGUNGKAPKAN PERASAANNYA DENGAN BERANI. JANGAN MEMIKIRKAN RESIKO. PIKIRKAN HATIMU YANG TELAH SEPERTI KUBURAN TANPA JASAD: MENYEBAR BAU BANGKAI TANPA SEBAB!"

Gilaa! Jailangkung menulis instruksi selengkap itu. Kayaknya yang masuk kali ini ruh yang sempat kuliah dan mungkin bunuh diri karena ditolak cintanya, batin mereka. Semuanya.

Sesudahnya, boneka berkaki empat itu terus jatuh dari pegangan. 

"Gimana?" bertanya si pembaca mantra.

"Haruskah?" sangsi jiwa yang disiksa jatuh cinta.

"Oke, diulang lagi."

Sepuluh kali diulang, jawabnya tetap sama: HARUS MENGUNGKAPAN DENGAN BERANI! (Emang ada yang lebih berani dari ini?)

***

Pada Sabtu yang seolah terkena PMS: sensitif dan mudah meledak, tokoh kita yang menderita ini akhirnya menemukan juga keberanian untuk mengeluarkan batu dari dasar hatinya. Jailangkung telah memerintahkan begitu. Itu artinya suara langit dari roh--yang dicurigai sebagai arwah manusia terdidik--harus ditangkap sebagai akhir dari penderitaan panjang yang telah tak tertampungkan lagu-lagu dan suara serak mengenaskan.

Tiba di halaman rumah target, hanya jendela yang terbuka. Suasana lengang di depan namun terdengar sedang ramai di dalam. Sepertinya dari dapur. Suara emak-emak sedang gembira dan masak bersama-sama.

"Assalamualaikum..."

Tak ada balas. Cemas mulai bergeliat, jangan-jangan saya ditolak bertamu, batin tokoh kita ini.

"Assalamualaikuum..Selamat sore..."

"Waalaikumsalam. Siapa ya?"

Dag, dig, dug. Detak jantung makin kencang, seluruh penjuru tubuh rasanya panas, wajah mendadak tebal memerah, seperti besi dibakar. 

"Eh...Peb, ada apa? Tumben kesini? Gak tersesat kan?" 

Oh Tuhan, perempuan pujaan, sumber segala rasa itu sedang berdiri di depan pintu. Waktu tetiba berhenti, kesaksian gugur segala ke tanah. Hening menyergap ke segala suara. Hanya ada degup jantung yang berjuang melawan rasa takut. 

"Hmm, nganu...."

Ada urusan apa ya, tumben kesini. Tahu alamat rumahku dari siapa, batin si target.

Oh Tuhan, aku bahkan tahu dia menggunakan baju apa di hari Senin, jeans merek apa di hari Selasa. Hanya alamat rumah? Ratap tokoh kita ini.

"Kamu kok diam aja Peb? Ada apa? Kamu sudah makan kan?"

Aku bahkan bisa menempuh seribu tahun kelaparan demi menanti jawabmu!

"Peb.....? Kamu?"

"Aku...."

"Kenapa?"

"Eh, lagi mo acara apa sih di dapur kok ramai?"

"Oooh, ibu-ibu lagi pada ngumpul, masak-masak, biasa. Oh iya..aku sekalian ngundang kamu ya, ajak juga teman-teman. Besok lusa, mau ada pengajian sekalian acara lamaran. Kamu datang ya."

"Lamaran?"

Tanya yang dilontar dengan suara pelan, lemas, dan setengah mampus. Seperti tikus tua di tengah rombongan kucing yang sedang birahi.

"Aku."

Oh Jailangkung, adakah yang lebih dungu dari ini?

[Sungguh-sungguh cerita ini pernah terjadi. Bahwa ada kemiripan nama pelaku, itu mah bisa-bisa saya saja]

***

Koplak Yo Band
Koplak Yo Band

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun